Hakikat Pragmatik

Hakikat Bahasa

Menurut Chaer (2002: 30) bahasa didefinisikan sebagai satu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer, yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dihasilkan dari alat ucap dalam berkomunikasi. Sejalan dengan itu, Chaer dan Agustina (2010 : 11) bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa yang dibicarakan adalah berupa lambang-lambang dalam bentuk bunyi.

Defenisi diatas menyatakan bahwa bahasa itu adalah sebagai satu sistem. Satu sistem disini dimaksudkan bukan merupakan satu sistem tunggal melainkan dibangun oleh sejumlah subsistem (subsistem fonologi, sintaksis, dan leksikon). Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang, sama dengan sistem lambang lalu lintas, atau sistem lambang lainnya. Hanya saja sistem lambang itu berupa bunyi, bukan gambar atau tanda lain, dan bunyi itu adalah bunyi bahasa yang dilahirkan oleh alat ucap manusia. Setiap lambang bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat, maupun wacana memiliki makna tertentu, yang bisa saja berubah dalam waktu tertentu, atau mungkin juga tidak berubah sama sekali.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbiter dandigunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu.

Hakikat Pragmatik

Pragmatik telah dikenal sejak 1902 dalam Ilmu Falsafah (fc. Charles Peirce dan W. James) sebagai suatu aliran atau pendekatan pengkajian “makna” dan “kebenaran” satuan bahasa yang didasarkan pada kenyataan praktis atau wujud sosial dan material. Pragmatik didefinisikan sebagai bidang linguistik yang mengkaji bimbingan (timbal balik) fungsi ujaran dan bentuk (struktur) kalimat yang mengungkapkan ujaran itu (Asim Gunarwan, 1994:38).Sedangkan menurut Dewa Putu Wijana (1996:01) pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi. Crystal (1987:120) menyatakan pragmatik mengkaji faktor-faktor yang mendorong pilihan bahasa dalam interaksi sosial dan pengaruh pilihan bahwa pragmatik adalah kajian bahasa dari perspektif fungsi dalam arti bahwa kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonlinguistik. Sedangkan Asim Gunarwan (1994:38) menjelaskan bahwa pragmatik dapat didefinisikan sebagai bidang linguistik yang mengkaji hubungan (timbal-balik), fungsi ujuran dan bentuk (struktur) kalimat yang mengungkapkan ujaran itu.

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah kajian ilmu bahasa yang membahas tentang struktur, fungsi serta konteks komunikasi kebahasaan.

Hakikat Tindak Tutur

Austin (dalam Jumanto, 2017:67) menyatakan tindak tutur yaitu teori tentang tuturan langsung yang digunakan untuk menunjukkan berbagai tujuan interaksi yang kompleks.George Yule (2007:82),Tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan . Sedangkan menurut Chaer dan Agustina (2010:50), tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Ibrahim (1993:109) tindak tutur didefinisikan menurut fungsi psikologis dan fungsi sosial di luar wacana yang sedang terjadi. Tindak tutur itu mencangkup, misalnya ekspresi situasi psikologis (misalnya berterima kasih, Memohon maaf), dan tindak sosial seperti mempengaruhi perilaku orang lain (misalnya, mengingatkan, memerintah) atau membuat kontrak (misalnya, berjanji atau menamai).Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah suatu kegiatan tuturan yang dilakukan oleh penutur pada situasi tertentu.

Bentuk-Bentuk Tindak Tutur

Austin (dalam Nababan, 1987:18) mengatakan bahwa secara analitis dapat dipisahkan 3 macam tindak bahasa yang terjadi secara serentak, yaitu : tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Sejalan dengan Austin, Searle (dalam Wijana, 1996:17) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilocutionary act) dan tindak perlokusi (perlocutionary act).

1. Tindak Lokusi

Menurut Wijana (1996:17), tindak lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu. Sedangkan menurut Austin (dalam Jumanto, 2017: 67) tindak tutur lokusi adalah tuturan yang bermakna dan dapat dipahami. Sejalan dengan itu,Chaer dan Agustina (2010:53) menjelaskan bahwa tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Sebagai contoh terdapat pada kalimat (1), (2), berikut :
  1. Ikan paus adalah binatang menyusui
  2. Jari tangan jumlahnya lima
Kalimat (1) dan (2) diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Informasi yang diutarakan adalah termasuk jenis binatang apa ikan paus itu, dan berapa jumlah jari tangan.

Bila diamati secara seksama konsep lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai satu satuan yang terdiri dari dua unsur, yakni subjek/topik dan predikat. Lebih lanjut,tindak lokusi itu adalah tindak tutur yang relatif paling mudah untuk diidentifikasikan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur lokusi adalah tindakan yang menyatakan sesuatu dalam arti yang sebenarnya tanpa disertai efek terhadap mitra tuturnya. Menurut banodari (2015) berdasarkan kategori gramatikal, bentuk lokusi dibedakan menjadi 3 yaitu :
  1. Bentuk pernyataan. Bentuk pernyataan berfungsi hanya untuk memberitahukan sesuatu kepada orang lain sehingga diharapkan pendengar untuk menarik perhatian.
  2. Bentuk pertanyaan. Bentuk pertanyaan berfungsi untuk menanyakan sesuatu sehingga pendengar diharapkan memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
  3. Bentuk perintah. Bentuk perintah memiliki maksud agar pendengar memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.
2. Tindak Ilokusi

Menurut Wijana (1996:17) tindak ilokusi adalah sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan menurut Chaer dan Agustina (2010:53) menjelaskan bahwa tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit, biasanya tindak tutur ilokusi ini berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan dan menjanjikan. Tindak tutur ilokusi ialah tuturan yang digunakan untuk melakukan tindakan atau fungsi bahasa ( Austin dalam Jumanto, 2017:67). Austin (dalam Jumanto, 2017:68) membagi tindak tutur ilokusioner ini menjadi dua: performatif dan konstatif. Performatif adalah tindak tutur yang langsung mengacu ke tindakan yang dilakukan, sementara konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu itu benar atau salah atau memberikan informasi tentang dunia ini. Sebagai contoh adalah kalimat (3) dan (4) berikut : (3) Saya tidak datang (4) Ujian sudah dekat
Kalimat (3) bila diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang baru saja merayakan ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi untuk melakukan sesuatu, yakni meminta maaf. Informasi penutur dalam hal ini kurang begitu penting karena besar kemungkinan lawan tutur. Kalimat (4) bila diucapkan oleh seorang guru kepada muridnya, mungkin berfungsi untuk memberi peringatan agar lawan tutur (murid) mempersiapkan diri.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang selain ingin menyampaikan sesuatu, dapat juga dipergunakn untuk melakukan sesuatu.

Searle (dalam tarigan,42-43) menggolongkan tindak lokusi kedalam lima macam tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut.
  1. Asertif . Yaitu bentuk tindak tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan. Misalnya, menyatakan, memberitahukan, menyarankan, membanggakan, mengeluh, menuntut, melaporkan dan sebagainya.
  2. Direktif. Yaitu bentuk tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, seperti memerintah, meminta, memohon, menasihati dan merekomendasi.
  3. Komisif. Yaitu bentuk tindak tutur yang melibatkan pembicara pada beberapa tindakan yang akan datang. Seperti berjanji, bersumpah, dan menawarkan.
  4. Ekspresif. Yaitu bentuk tuturan yang berfungsi untuk mengekspresikan, menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, seperti berterima kasih, memberi selamat, meminta maaf, memuji, dan berbelasungkawa.
  5. Deklarasi. Yaitu ilokusi yang “bila performasinya berhasil akan menyebabkan korespondensi yang baik antara isi proposisional dengan realitas.” Seperti memecat, menghukum dan lain sebagainya.
3. Tindak Tutur Perlokusi

Tindak tutur perlokusi adalah sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkan (Wijana,1996:19). Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja ataupun tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur ini didalam pengutaraannya dimaksudkan untuk memperngaruhi lawan tutur. Sedangkan menurut Chaer dan Agustina (2010:53) menjelaskan bahwa tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan prilaku nonlinguistik dari orang lain itu. Sejalan dengan hal ini Austin (dalam Jumanto, 2017 : 68) menjelaskan tindak tutur perlokusi adalah efek dari tuturan yang dihasilkan. Sebagai contoh perhatikan kalimat berikut : (5) rumahnya jauh  (6) kemaren saya sangat sibuk.

Kalimat (5) dan (6) tidak hanya mengandung lokusi . Apabila kalimat (5) diutarakan oleh seseorang kepada ketua ketua perkumpulan, maka ilokusinya adalah secara tidak langsung menginformasikan bahwa orang yang dibicarakan tidak dapat terlalu aktif didalam organisasinya. Adapun efek perlokusi yang mungkin diharapkan agar ketua tidak terlalu banyak memberi tugas kepadanya. Bila kalimat (6) diutarakan oleh seseorang yang tidak dapat menghadiri undangan rapat kepada orang yang mengundangnya, kalimat ini merupakantindak ilokusi untuk memohon maaf, dan perlokusi (efek) yang diharapkan adalah orang yang mengundang dapat memakluminya.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur perlokusi adalah sebuah tuturan yang dihasilakn oleh sesorang mempunyai daya pengaruh atau efek bagi pendengar.

Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, didalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer dan Agustina, 2010 : 47). Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan mengunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur, contoh lain yang terjadi interaksi antara guru dan siswa pada saat proses pembelajaran disekolah merupakan salah satu contoh peristiwa tutur.

Aspek-Aspek Situasi Ujar

Leech (dalam Wijana, 1996:10-13) mengemukakan sejumlah aspek yang senatiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek itu adalah :
  1. Penutur dan lawan tutur,
  2. Konteks tuturan,
  3. Tujuan tuturan,
  4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas,dan
  5. Tuturan sebagai produk tindak verbal.
Kegiatan Diskusi Pada Proses Pembelajaran

Menurut Roestiyah (2008:5) teknik diskusi adalah salah satu teknik belajar mengajar yang dilakukan oleh seorang guru di Sekolah. Di dalam diskusi, proses interaksi antara dua atau lebih individu yang terlibat, saling tukar menukar pengalaman, informasi, memecahkan masalah, dapat terjadi juga semuanya aktif tidak ada yang pasif sebagai pendengar saja, melalui diskusi siswa didorong mengunakan pengetahuan dan pengalamannya untuk memecahkan masalah, tanpa selalu bergantung pada pendapat orang lain. Mungkin ada perbedaan segi pandangan, sehingga memberikan jawaban yang berbeda. Hal itu tidak menjadi soal, asalkan pendapat itu logis dan mendekati kebenaran. Jadi siswa dilatih berpikir dan memecahkan masalah sendiri.

Menurut Hamdayam (2016:82) ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam diskusi kelompok :
  1. Keterbukaan. Diskusi kelompok tidak boleh didominasi oleh siswa tertentu saja,semua anggota kelompok harus diberi kesempatan yang sama untuk berkontribusi terhadap kelompoknya.
  2. Perencanaan yang matang. Hal-hal yang perlu dipersiapkan secara matang antara lain : Memilih topik diskusi, Menyiapkan informasi awal;Mempersiapkan diri sebagai pemimpin diskusi, Menetapkan besarnya anggota kelompok; danMenata ruang dan tempat duduk.
  3. Keuntungan diskusi kelompok. Beberapa keuntungan yang dapat diambil dari diskusi kelompok kecil diantaranya:Kelompok menjadi kaya dengan ide dan informasi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, Termotivasi oleh kehadiran teman, Mengurangi sifat pemalu, Anak merasa terikat untuk melaksanakan keputusan kelompok, Meningkatkan pemahaman diri anak.
  4. Kelemahan diskusi kelompok. Ada beberapa kelemahan diskusi kelompok antara lain: Waktu belajar lebih panjang, Dapat terjadi pemborosan waktu, Anak yang pemalu dan pendiam menjadi kurang agresif, Dominasi siswa tertentu dalam diskusi.
Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa ada beberapa komponen keterampilan memimpin diskusi kelompok antara lain:Memusatkan perhatian,Memperjelas masalah,Menganalisis pandangan siswa,Meningkatkan partisipasi siswa terhadap kelompok,Menyebarkan kesempatan berpartisipasi, danMenutup diskusi.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »


EmoticonEmoticon