Pengertian Ila’

Pengertian Ila’

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan salah satu ibadah yang pasti akan dilewati oleh setiap orang Islam, dan tujuan utama didalam perkawinan selain sebagai pelengkap keislaman seseorang didalm ibadah ialah juga agar agar dapat membangun keluarga yang sakinah, sehingga membuahkan mawadah wa rahmah serta dapat mewariskan keindahan islam kepada keturunannya yang tak lain agar Islam tetap eksis dan berjaya.

Namun disamping itu yang sudah tak asing lagi bagi kita khususnya kaum muslim bahwa kerap kali didalam membangun rumah tangga seperti yang dicitacitakan oleh rasulullah sering kali menghadapi problematika-problematika hidup, baik itu dari segi bathiniyah maupun dhohiriyah yang dewasa ini sering kita kenal dengan faktor intern dan faktro ekstern.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat di uraikan sebagai berikut :

  1. Apa pengertian Ila ?
  2. Apa dasar hukumf?
  3. Apa peranan syariat islam terhapa ilat?
  4. Apa rukun dan syarat ila?
  5. Apa status perkawinan setelah lewat 4 bulan?

C.Tujuan Masalah

  1. Untuk mengetahui pengertian ila
  2. Untuk mengetahui dasar hukum
  3. Untuk mengetahui peranan syariat islam terhadap ila
  4. Untuk mengetahui status perkawinan setelah leawt 4 bulan
  5. Untuk mengetahui syarat dan rukun ila. 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ila

Ila’ adalah sumpah suami bahwa ia tidak akan mencapuri istrinya dalam masa lebih empat bulan atau dengan tidak menyebut masanya. Ila’ merupakan tradisi orang-orang jahiliyah Arab dengan maksud untuk menyakiti istrinya dengan cara tidak menggauli dan membiarkan istrinya menderita berkepanjangan tanpa ada kepastian apakah dicerai atau tidak.

Setelah Islam datang, tradisi tersebut dihapus dengan cara membatasi waktu Ila’ paling lama empat bulan. Dengan demikian, apabila masa empat bulan itu sudah lewat, suami harus memilih rujuk atau talak. Apabila yang dipilih rujuk, suami harus membayar kafarat sumpah. Namun, jika yang dipilih talak, akan jatuh talak sugra.

Menurut Rijal ( 1997 : 250 ) ila’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu selama empat bulan atau tanpa ditentukan.

Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam ( 2000 : 180) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.

Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ila artinya sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.

B. Dasar hukum Ila

Firman Allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227

 لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُور رَّحِيمُُ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ 

Artinya :“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan( lamanya) kemudian jika mereka kembali ( kepada istrinya ), maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka berazam ( bertetap hari untuk) talak, maka sesungguhnya Allah SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.

C. Peranan syariat islam terhadap Ila

Setiap ketentuan agama mempunyai tujuan dan hikmah yang bermuara pada kemaslahatan umat diantara tujuan dalam hal ini adalah supaya suami tidak menyalahgunakan kekuasaan didepanistrinya dengan cara tidak melaksanakan perintah agama untuk menggauliistrinya secara baik. &engan adanya ketentuan ini diharapkan suami tidak mempermainkan kehidupan rumah tangga dengan seenaknya.

Jikalau seorang suami ingin kembali lagi kepada istri nya setelah sumpah yang ia ucapkan kepada istrinya berkaitan dengan tanggung jawab suami karena tidak maum mengauli dan memberi nafkah sang istri maka ila harus membayar kafarah ila yang terdapat dalam surat al maidah ayat 89 yakni: 

Dalam surat Al-Maidah ayat 89

 لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغۡوِ فِيٓ أَيۡمَٰنِكُمۡ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلۡأَيۡمَٰنَۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيۡمَٰنِكُمۡ إِذَا حَلَفۡتُمۡۚ وَٱحۡفَظُوٓاْ أَيۡمَٰنَكُمۡۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ 

Artinya :Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

Kafarat Ila' adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan biologis dengan istrinya dalam masa tertentu.Semisal perkataan suami kepada istirnya, "Demi Allah aku tidak akan menggaulimu".Konsekuensi yang muncul karena ila' adalah suami membayar kafarat ila' yang jenisnya sama dengan kafarat yamin (kafarat melanggar sumpah.

Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya, sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah ( kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.

D. Rukun dan syarat ila

Menurut jumhur fuqaha, ila’ memiliki empat rukun

a. Al-haalif (orang yang bersumpah atau al-mauli)

Menurut madzhab Hanafi orang yang melakukan ilaa’ adalah setiap suami yang memiliki kemampuan untuk menjatuhkan talak. Yaitu semua orang yang aqil baligh yang memiliki pernikahan dan disandarkannya kepada kepemilikian pernikahan. Atau orang yang tidak dapat mendekati isterinya kecuali dengan ssuatu yang berat yang harus dia penuhi.

Menurut madzhab Syafii, orang yang melakukan ila’ adalah suami yang sah talaknya atau semua suami yang aqil baligh yang mampu untuk melakukan persetubuhan. tidak sah ilaa’ yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang yang dipaksa dan orang yang lumpuh.

Menurut madzhab Hambali orang yang melakukan ila’ adalah setiap suami yang dapat melakukan persetubuhan, yang bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu sifatnya untuk tidak menyetubuhi isterinya yang dapatdisetubuhi dalam masa yang melebihi empat bulan.

b. Al-mahluuf bihi (yang dijadikan sebagai sumpah).

Yang dijadikan sebagai sumpah adalah dengan menyebut nama Allah atau juga dengan menyebut sifat-sifatnya menurut kesepakatan para fuqaha. Menurut madzhab Hambali dan Maliki orang yang tidak melakukan persetubuhan dengan tanpa sumpah dilazimkan hukum ila’ jika dia bertujuan untuk menciptakan kemudharatan. Oleh sebab itu ditetapkan masa selama empat bulan.

c. Al-mahluuf’alaih (objek sumpah)

Objek sumpah adalah persetubuhan, dengan semua lafal yang mengandung pengertian persetubuhan. Misalnya: aku tidak setubuhi kamu dan aku tidak junub darimu, aku tidak dekati kamu.

d. Masa

Menurut pendapat jumhur fuqaha selain madzhab Hanafi yaitu si suami bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya selama lebih dari empat bulan. Sedangkan menurut madzhab Hanafi masa yang paling minimal adalah lebih dari empat bulan, oleh karena itu, jika si suami bersumpah selama tiga bulan atau empat bulan maka menurut jumhur fuqaha dia tidak melakukan ilaa’.

Sebab perselisihan pendapat diantara mereka adalah kembali kepada mereka mengenai al-fay yang merupakan tindakan kembali mendekati isteri. Apakah dilakukan sebelum lewat masaempat bulan ataukah setelah masa empat bulan.

Syarat perbuatan ila.

Menurut madzhab Hambali dan madzhab-madzhab yang lain menyebutkan empat syarat bagi ila’ yakni:

  1. Si suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu sifatnya, seperti yang maha kasih, dan tuhan sekalian alam, bahwa dia tidak menyetubuhi isterinya lebih dari empat bulan. 
  2. Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan selama lebih dari empat bulan karena Allah SWT menjadikan orang yang mengucapkan sumpah menunggu selama empat bulan.
  3. Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan di bagian vagina.
  4. Yang dijadikan sebagai obyek sumpah adalah isteri, karena orang yang selain isteri tidak memiliki hak untuk disetubuhi oleh si suami, maka si suami tidak dapat melakukan ilaa’ kepada perempuan yang selain isteri.

E. Lafal Ila’

Para ulama berbeda pendapat tentang sumpah apakah yang dapat dijadikan ila, menurut imam Malik megatakan ila, bisa terjadi dengan setiap sumpah. Imam Syafii megatakan ila’ tidak bisa terjadi kecuali dengan sumpah yang dibolehkan di dalam syariat yaitu sumpah atas nama Allah atau dengan salah satu namanya. Imam Malik berpegang dengan keumuman maksudnya keumuman firman Allah SWT “kepada orang-orang yang mengila’ isterinya diberi tangguh selama empat bulan lamanya” QS. Albaqarah ayat 226.

Ilaa’ dapat dilakukan dengan lafal yang bersifat terang-terangan atau dengan lafadz sindiran yang menunjukkan ketidakmauan suami untuk melakukan persetubuhan. Termasuk diantara lafal ilaa yang yang bersifat terang-terangan menurut madzhab Hanafi dan menurut madzhab Maliki adalah ucapan suami kepada isterinya seperti ”demi Allah aku tidak akan mendekatimu atau tidak akan menyutubuhimu, tidak menggaulimu, mandi junub darimu, atau ucapan suami”demi Allah aku tidak akan mendekatimu selama empat bulan” atau ucapan suami menurut para fuqaha yang selain madzhab hambali, “jika aku mendekatimu maka aku akan melakukan ibadah haji” atau perkara lain yang sulit untuk dilakukan.

Menurut madzhab Syafii ila’’ yang bersifat terang-terangan adalah sumpah untuk meninggalkan persetubuhan atau merobek keperawanan, dan kalimat lain sejenisnya.

Ilaa’ sah dilakukan dengan semua bahasa Arab dan asing, apakah orang yang mengucapkan ilaa’ adalah orang yang mampu berbahasa Arab ataupun orang yang tidak mampu berbahasa arab.

F. Status perkawinan setelah 4 bulan

Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali ( tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada istri itu jatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.

Talak bain ia lah,Menalak Istri Sebelum Digauli Adalah Talak Ba’in Menalak istri sebelum digauli adalah talak ba’in, meskipun sudah berkhalwat (berdua-duaan) dan terjadi apa yang terjadi (selain senggama).

Hukum perceraiannya adalah bainunah sughra’ (perpisahan kecil). Artinya, tidak halal baginya untuk merujuknya melainkan dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk hanya ada pada masa ‘iddah, sedangkan ini tidak ada masa ‘iddahnya.

Dasarnya terdapat dalam surat Al-ahzab :49

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا 

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, tidak wajib atas mereka ‘iddah (penantian) bagimu yang kalian minta menyempurnakannya.Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskan mereka dengan cara yang baik.”

Jika seorang bersumpah tidak mencampuri isterinya dalam waktu tertentu baik kurang atau lebih dari empat bulan maka ia mesti menunggu sampai berakhirnya masa yang telah ditentukan. Setelah itu ia dibolehkan mencampuri isterinya kembali. Bagi si isteri juga agar bersabar dan ia tidak berhak meminta rujuk pada suami.

Menurut imam Malik, Syafi’i, Ahmad Abu Tsaur, Daud Al-Laits berpendapat bahwa sesudah lewat masa empat bulan, keputusan tentang diri isteri bergantung pada keadaan, apakah suami kembali kepada si isteri ataukah menceraikannya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh ali ra dan ibnu umar.

Menurut Imam Abu Hanifah beserta pengikutnya dan atsauri berpendapat bahwa talak jatuh dengan sendirinya sesudah lewat masa empat bulan, kecuali jika suami kembali lagi kepada isteri. Pendapat ini juga dikemukakan oleh oleh ibnu mas’ud ra dan para pengikutnya.

Hikmah diberlakukan masa empat bulan adalah :

  1. Dalam masa empat memungkinkan jiwa untuk mengembalikan diri dari menggauli istri. Begitu juga sang isteri dia tidak mampu lagi untuk bertahan lebih dari masa itu dalam menggauli suami. 
  2. Dalam masa ila’ itu ada kesempatan untuk menjaga kehormatan diri. Lebih dari itu maungkin saja keduanya tidak lagi mampu menjaga kehormatannya inilah hikmah yang tegas.

Apabila telah lewat selama empat bulan, maka Seorang suami yang mengila’ istrinya jika diberi tawaran dan diminta fai’ah dan ia mampu untuk melakukannya tetapi ia tidak mau melakukannya maka ia diperintahkan untuk menceraikan isterinya. Demikianlah pendapat setiap orang yang menyatakan keharusan memberikan tawaran kepada laki-laki yang mengila yang sudah batas waktu. Karena Allah telah berfirman “setelah itu suami boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik” (al-baqarah ayat 229).

Dengan demikian jika suami menolak melaksanakan kewajiban kepada isterinya berarti telah menolak untuk rujuk dengan cara yang baik pula. Sehingga ia diperintah untuk menceraikan dengan cara yang baik pula. Jika ia berhalangan, maka ia harus menyatakan bersedia kembali secara lisan. Dan jika sudah mampu bercampur maka ia diperintahkan untuk segera bercampur dan jika tidak maka ia diperintahkan untuk menceraikan isterinya tersebut. Demikianlah yang dikemukakan oleh Syafii dan Ahmad.

 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ila’ adalah bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya lagi dalam waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.

Ila’ ini disyaratkan untuk menyebut nama Allah, tidak mencampuri isterinya selama empat bulan, bersumpah tidak melakukan hubungan badan dan yang menjadi objek sumpah itu adalah si isteri. Dan juga mempunyai rukun yakni almauli, yang dijadikan sumpah adalah nama Allah, almaf’ul ‘alaih dan masa.

Pada masa ila’ isteri tidak boleh meminta untuk berjima’ dan mesti bersabar sampai waktu yang dietntukan. Dan apabila waktu ila’ itu telah tiba dalam artian ila’ masa ila’ sudah habis maka isteri boleh untuk meminta kembali kepada suaminya dan apabila suami menolak hal demikian maka si isteri boleh mengajukan kepada qadhi dan qadhi berhak untuk menjatuhkan talak.

Kemudian jika suami menyetubuhi isterinya maka ia diwajibkan membayar kifarat sebagai penembus sumpahnya.yakni memberikan makan 10 orang miskin, memberikan pakaian bagi mereka dan memardekakan budak akan tetapi biaya tidak mencukupi ma ia diwajibkan berpuasa.

B. Sara

Pemakalah sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,kritik dan saran pembaca sangat di harapkan penulis demi kebaikan hasil makalah ini.Penulis berharap dengan makalah ini para pembaca bisa lebih paham terhadap pemaparan makalah ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Az-Zuhaili, Wahbah, 2011, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani
  • Uwaidah, Muhammad Kamil, 1998, Fiqih Wanita, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar
  • Ayyub, Hasan, 2008, Fiqih Keluarga, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar
  • Rusyid, Ibnu, 2007, Bidayatul Mujtahid Jilid Dua, Jakarta: Pustaka Azzam
  • Ayyub, Hasan, 2005, Fiqih Keluarga, Jakarta, Alkautsar
Ila’ dalam Perkawinan

Ila’ dalam Perkawinan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan salah satu ibadah yang pasti akan dilewati oleh setiap orang Islam, dan tujuan utama didalam perkawinan selain sebagai pelengkap keislaman seseorang didalm ibadah ialah juga agar agar dapat membangun keluarga yang sakinah, sehingga membuahkan mawadah wa rahmah serta dapat mewariskan keindahan islam kepada keturunannya yang tak lain agar Islam tetap eksis dan berjaya.

Namun disamping itu yang sudah tak asing lagi bagi kita khususnya kaum muslim bahwa kerap kali didalam membangun rumah tangga seperti yang dicitacitakan oleh rasulullah sering kali menghadapi problematika-problematika hidup, baik itu dari segi bathiniyah maupun dhohiriyah yang dewasa ini sering kita kenal dengan faktor intern dan faktro ekstern.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat di uraikan sebagai berikut :

  1. Apa pengertian Ila ?
  2. Apa dasar hukumf?
  3. Apa peranan syariat islam terhapa ilat?
  4. Apa rukun dan syarat ila?
  5. Apa status perkawinan setelah lewat 4 bulan?

C.Tujuan Masalah

  1. Untuk mengetahui pengertian ila
  2. Untuk mengetahui dasar hukum
  3. Untuk mengetahui peranan syariat islam terhadap ila
  4. Untuk mengetahui status perkawinan setelah leawt 4 bulan
  5. Untuk mengetahui syarat dan rukun ila. 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ila

Ila’ adalah sumpah suami bahwa ia tidak akan mencapuri istrinya dalam masa lebih empat bulan atau dengan tidak menyebut masanya. Ila’ merupakan tradisi orang-orang jahiliyah Arab dengan maksud untuk menyakiti istrinya dengan cara tidak menggauli dan membiarkan istrinya menderita berkepanjangan tanpa ada kepastian apakah dicerai atau tidak.

Setelah Islam datang, tradisi tersebut dihapus dengan cara membatasi waktu Ila’ paling lama empat bulan. Dengan demikian, apabila masa empat bulan itu sudah lewat, suami harus memilih rujuk atau talak. Apabila yang dipilih rujuk, suami harus membayar kafarat sumpah. Namun, jika yang dipilih talak, akan jatuh talak sugra.

Menurut Rijal ( 1997 : 250 ) ila’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu selama empat bulan atau tanpa ditentukan.

Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam ( 2000 : 180) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.

Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ila artinya sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.

B. Dasar hukum Ila

Firman Allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227

 لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُور رَّحِيمُُ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ 

Artinya :“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan( lamanya) kemudian jika mereka kembali ( kepada istrinya ), maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka berazam ( bertetap hari untuk) talak, maka sesungguhnya Allah SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.

C. Peranan syariat islam terhadap Ila

Setiap ketentuan agama mempunyai tujuan dan hikmah yang bermuara pada kemaslahatan umat diantara tujuan dalam hal ini adalah supaya suami tidak menyalahgunakan kekuasaan didepanistrinya dengan cara tidak melaksanakan perintah agama untuk menggauliistrinya secara baik. &engan adanya ketentuan ini diharapkan suami tidak mempermainkan kehidupan rumah tangga dengan seenaknya.

Jikalau seorang suami ingin kembali lagi kepada istri nya setelah sumpah yang ia ucapkan kepada istrinya berkaitan dengan tanggung jawab suami karena tidak maum mengauli dan memberi nafkah sang istri maka ila harus membayar kafarah ila yang terdapat dalam surat al maidah ayat 89 yakni: 

Dalam surat Al-Maidah ayat 89

 لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغۡوِ فِيٓ أَيۡمَٰنِكُمۡ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلۡأَيۡمَٰنَۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيۡمَٰنِكُمۡ إِذَا حَلَفۡتُمۡۚ وَٱحۡفَظُوٓاْ أَيۡمَٰنَكُمۡۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ 

Artinya :Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

Kafarat Ila' adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan biologis dengan istrinya dalam masa tertentu.Semisal perkataan suami kepada istirnya, "Demi Allah aku tidak akan menggaulimu".Konsekuensi yang muncul karena ila' adalah suami membayar kafarat ila' yang jenisnya sama dengan kafarat yamin (kafarat melanggar sumpah.

Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya, sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah ( kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.

D. Rukun dan syarat ila

Menurut jumhur fuqaha, ila’ memiliki empat rukun

a. Al-haalif (orang yang bersumpah atau al-mauli)

Menurut madzhab Hanafi orang yang melakukan ilaa’ adalah setiap suami yang memiliki kemampuan untuk menjatuhkan talak. Yaitu semua orang yang aqil baligh yang memiliki pernikahan dan disandarkannya kepada kepemilikian pernikahan. Atau orang yang tidak dapat mendekati isterinya kecuali dengan ssuatu yang berat yang harus dia penuhi.

Menurut madzhab Syafii, orang yang melakukan ila’ adalah suami yang sah talaknya atau semua suami yang aqil baligh yang mampu untuk melakukan persetubuhan. tidak sah ilaa’ yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang yang dipaksa dan orang yang lumpuh.

Menurut madzhab Hambali orang yang melakukan ila’ adalah setiap suami yang dapat melakukan persetubuhan, yang bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu sifatnya untuk tidak menyetubuhi isterinya yang dapatdisetubuhi dalam masa yang melebihi empat bulan.

b. Al-mahluuf bihi (yang dijadikan sebagai sumpah).

Yang dijadikan sebagai sumpah adalah dengan menyebut nama Allah atau juga dengan menyebut sifat-sifatnya menurut kesepakatan para fuqaha. Menurut madzhab Hambali dan Maliki orang yang tidak melakukan persetubuhan dengan tanpa sumpah dilazimkan hukum ila’ jika dia bertujuan untuk menciptakan kemudharatan. Oleh sebab itu ditetapkan masa selama empat bulan.

c. Al-mahluuf’alaih (objek sumpah)

Objek sumpah adalah persetubuhan, dengan semua lafal yang mengandung pengertian persetubuhan. Misalnya: aku tidak setubuhi kamu dan aku tidak junub darimu, aku tidak dekati kamu.

d. Masa

Menurut pendapat jumhur fuqaha selain madzhab Hanafi yaitu si suami bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya selama lebih dari empat bulan. Sedangkan menurut madzhab Hanafi masa yang paling minimal adalah lebih dari empat bulan, oleh karena itu, jika si suami bersumpah selama tiga bulan atau empat bulan maka menurut jumhur fuqaha dia tidak melakukan ilaa’.

Sebab perselisihan pendapat diantara mereka adalah kembali kepada mereka mengenai al-fay yang merupakan tindakan kembali mendekati isteri. Apakah dilakukan sebelum lewat masaempat bulan ataukah setelah masa empat bulan.

Syarat perbuatan ila.

Menurut madzhab Hambali dan madzhab-madzhab yang lain menyebutkan empat syarat bagi ila’ yakni:

  1. Si suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu sifatnya, seperti yang maha kasih, dan tuhan sekalian alam, bahwa dia tidak menyetubuhi isterinya lebih dari empat bulan. 
  2. Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan selama lebih dari empat bulan karena Allah SWT menjadikan orang yang mengucapkan sumpah menunggu selama empat bulan.
  3. Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan di bagian vagina.
  4. Yang dijadikan sebagai obyek sumpah adalah isteri, karena orang yang selain isteri tidak memiliki hak untuk disetubuhi oleh si suami, maka si suami tidak dapat melakukan ilaa’ kepada perempuan yang selain isteri.

E. Lafal Ila’

Para ulama berbeda pendapat tentang sumpah apakah yang dapat dijadikan ila, menurut imam Malik megatakan ila, bisa terjadi dengan setiap sumpah. Imam Syafii megatakan ila’ tidak bisa terjadi kecuali dengan sumpah yang dibolehkan di dalam syariat yaitu sumpah atas nama Allah atau dengan salah satu namanya. Imam Malik berpegang dengan keumuman maksudnya keumuman firman Allah SWT “kepada orang-orang yang mengila’ isterinya diberi tangguh selama empat bulan lamanya” QS. Albaqarah ayat 226.

Ilaa’ dapat dilakukan dengan lafal yang bersifat terang-terangan atau dengan lafadz sindiran yang menunjukkan ketidakmauan suami untuk melakukan persetubuhan. Termasuk diantara lafal ilaa yang yang bersifat terang-terangan menurut madzhab Hanafi dan menurut madzhab Maliki adalah ucapan suami kepada isterinya seperti ”demi Allah aku tidak akan mendekatimu atau tidak akan menyutubuhimu, tidak menggaulimu, mandi junub darimu, atau ucapan suami”demi Allah aku tidak akan mendekatimu selama empat bulan” atau ucapan suami menurut para fuqaha yang selain madzhab hambali, “jika aku mendekatimu maka aku akan melakukan ibadah haji” atau perkara lain yang sulit untuk dilakukan.

Menurut madzhab Syafii ila’’ yang bersifat terang-terangan adalah sumpah untuk meninggalkan persetubuhan atau merobek keperawanan, dan kalimat lain sejenisnya.

Ilaa’ sah dilakukan dengan semua bahasa Arab dan asing, apakah orang yang mengucapkan ilaa’ adalah orang yang mampu berbahasa Arab ataupun orang yang tidak mampu berbahasa arab.

F. Status perkawinan setelah 4 bulan

Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali ( tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada istri itu jatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.

Talak bain ia lah,Menalak Istri Sebelum Digauli Adalah Talak Ba’in Menalak istri sebelum digauli adalah talak ba’in, meskipun sudah berkhalwat (berdua-duaan) dan terjadi apa yang terjadi (selain senggama).

Hukum perceraiannya adalah bainunah sughra’ (perpisahan kecil). Artinya, tidak halal baginya untuk merujuknya melainkan dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk hanya ada pada masa ‘iddah, sedangkan ini tidak ada masa ‘iddahnya.

Dasarnya terdapat dalam surat Al-ahzab :49

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا 

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, tidak wajib atas mereka ‘iddah (penantian) bagimu yang kalian minta menyempurnakannya.Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskan mereka dengan cara yang baik.”

Jika seorang bersumpah tidak mencampuri isterinya dalam waktu tertentu baik kurang atau lebih dari empat bulan maka ia mesti menunggu sampai berakhirnya masa yang telah ditentukan. Setelah itu ia dibolehkan mencampuri isterinya kembali. Bagi si isteri juga agar bersabar dan ia tidak berhak meminta rujuk pada suami.

Menurut imam Malik, Syafi’i, Ahmad Abu Tsaur, Daud Al-Laits berpendapat bahwa sesudah lewat masa empat bulan, keputusan tentang diri isteri bergantung pada keadaan, apakah suami kembali kepada si isteri ataukah menceraikannya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh ali ra dan ibnu umar.

Menurut Imam Abu Hanifah beserta pengikutnya dan atsauri berpendapat bahwa talak jatuh dengan sendirinya sesudah lewat masa empat bulan, kecuali jika suami kembali lagi kepada isteri. Pendapat ini juga dikemukakan oleh oleh ibnu mas’ud ra dan para pengikutnya.

Hikmah diberlakukan masa empat bulan adalah :

  1. Dalam masa empat memungkinkan jiwa untuk mengembalikan diri dari menggauli istri. Begitu juga sang isteri dia tidak mampu lagi untuk bertahan lebih dari masa itu dalam menggauli suami. 
  2. Dalam masa ila’ itu ada kesempatan untuk menjaga kehormatan diri. Lebih dari itu maungkin saja keduanya tidak lagi mampu menjaga kehormatannya inilah hikmah yang tegas.

Apabila telah lewat selama empat bulan, maka Seorang suami yang mengila’ istrinya jika diberi tawaran dan diminta fai’ah dan ia mampu untuk melakukannya tetapi ia tidak mau melakukannya maka ia diperintahkan untuk menceraikan isterinya. Demikianlah pendapat setiap orang yang menyatakan keharusan memberikan tawaran kepada laki-laki yang mengila yang sudah batas waktu. Karena Allah telah berfirman “setelah itu suami boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik” (al-baqarah ayat 229).

Dengan demikian jika suami menolak melaksanakan kewajiban kepada isterinya berarti telah menolak untuk rujuk dengan cara yang baik pula. Sehingga ia diperintah untuk menceraikan dengan cara yang baik pula. Jika ia berhalangan, maka ia harus menyatakan bersedia kembali secara lisan. Dan jika sudah mampu bercampur maka ia diperintahkan untuk segera bercampur dan jika tidak maka ia diperintahkan untuk menceraikan isterinya tersebut. Demikianlah yang dikemukakan oleh Syafii dan Ahmad.

 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ila’ adalah bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya lagi dalam waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.

Ila’ ini disyaratkan untuk menyebut nama Allah, tidak mencampuri isterinya selama empat bulan, bersumpah tidak melakukan hubungan badan dan yang menjadi objek sumpah itu adalah si isteri. Dan juga mempunyai rukun yakni almauli, yang dijadikan sumpah adalah nama Allah, almaf’ul ‘alaih dan masa.

Pada masa ila’ isteri tidak boleh meminta untuk berjima’ dan mesti bersabar sampai waktu yang dietntukan. Dan apabila waktu ila’ itu telah tiba dalam artian ila’ masa ila’ sudah habis maka isteri boleh untuk meminta kembali kepada suaminya dan apabila suami menolak hal demikian maka si isteri boleh mengajukan kepada qadhi dan qadhi berhak untuk menjatuhkan talak.

Kemudian jika suami menyetubuhi isterinya maka ia diwajibkan membayar kifarat sebagai penembus sumpahnya.yakni memberikan makan 10 orang miskin, memberikan pakaian bagi mereka dan memardekakan budak akan tetapi biaya tidak mencukupi ma ia diwajibkan berpuasa.

B. Sara

Pemakalah sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,kritik dan saran pembaca sangat di harapkan penulis demi kebaikan hasil makalah ini.Penulis berharap dengan makalah ini para pembaca bisa lebih paham terhadap pemaparan makalah ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Az-Zuhaili, Wahbah, 2011, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani
  • Uwaidah, Muhammad Kamil, 1998, Fiqih Wanita, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar
  • Ayyub, Hasan, 2008, Fiqih Keluarga, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar
  • Rusyid, Ibnu, 2007, Bidayatul Mujtahid Jilid Dua, Jakarta: Pustaka Azzam
  • Ayyub, Hasan, 2005, Fiqih Keluarga, Jakarta, Alkautsar
Makalah Fiqih Munakahat

Makalah Fiqih Munakahat

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan salah satu ibadah yang pasti akan dilewati oleh setiap orang Islam, dan tujuan utama didalam perkawinan selain sebagai pelengkap keislaman seseorang didalm ibadah ialah juga agar agar dapat membangun keluarga yang sakinah, sehingga membuahkan mawadah wa rahmah serta dapat mewariskan keindahan islam kepada keturunannya yang tak lain agar Islam tetap eksis dan berjaya.

Namun disamping itu yang sudah tak asing lagi bagi kita khususnya kaum muslim bahwa kerap kali didalam membangun rumah tangga seperti yang dicitacitakan oleh rasulullah sering kali menghadapi problematika-problematika hidup, baik itu dari segi bathiniyah maupun dhohiriyah yang dewasa ini sering kita kenal dengan faktor intern dan faktro ekstern.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat di uraikan sebagai berikut :

  1. Apa pengertian Ila ?
  2. Apa dasar hukumf?
  3. Apa peranan syariat islam terhapa ilat?
  4. Apa rukun dan syarat ila?
  5. Apa status perkawinan setelah lewat 4 bulan?

C.Tujuan Masalah

  1. Untuk mengetahui pengertian ila
  2. Untuk mengetahui dasar hukum
  3. Untuk mengetahui peranan syariat islam terhadap ila
  4. Untuk mengetahui status perkawinan setelah leawt 4 bulan
  5. Untuk mengetahui syarat dan rukun ila. 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ila

Ila’ adalah sumpah suami bahwa ia tidak akan mencapuri istrinya dalam masa lebih empat bulan atau dengan tidak menyebut masanya. Ila’ merupakan tradisi orang-orang jahiliyah Arab dengan maksud untuk menyakiti istrinya dengan cara tidak menggauli dan membiarkan istrinya menderita berkepanjangan tanpa ada kepastian apakah dicerai atau tidak.

Setelah Islam datang, tradisi tersebut dihapus dengan cara membatasi waktu Ila’ paling lama empat bulan. Dengan demikian, apabila masa empat bulan itu sudah lewat, suami harus memilih rujuk atau talak. Apabila yang dipilih rujuk, suami harus membayar kafarat sumpah. Namun, jika yang dipilih talak, akan jatuh talak sugra.

Menurut Rijal ( 1997 : 250 ) ila’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu selama empat bulan atau tanpa ditentukan.

Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam ( 2000 : 180) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.

Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ila artinya sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.

B. Dasar hukum Ila

Firman Allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227

 لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُور رَّحِيمُُ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ 

Artinya :“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan( lamanya) kemudian jika mereka kembali ( kepada istrinya ), maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka berazam ( bertetap hari untuk) talak, maka sesungguhnya Allah SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.

C. Peranan syariat islam terhadap Ila

Setiap ketentuan agama mempunyai tujuan dan hikmah yang bermuara pada kemaslahatan umat diantara tujuan dalam hal ini adalah supaya suami tidak menyalahgunakan kekuasaan didepanistrinya dengan cara tidak melaksanakan perintah agama untuk menggauliistrinya secara baik. &engan adanya ketentuan ini diharapkan suami tidak mempermainkan kehidupan rumah tangga dengan seenaknya.

Jikalau seorang suami ingin kembali lagi kepada istri nya setelah sumpah yang ia ucapkan kepada istrinya berkaitan dengan tanggung jawab suami karena tidak maum mengauli dan memberi nafkah sang istri maka ila harus membayar kafarah ila yang terdapat dalam surat al maidah ayat 89 yakni: 

Dalam surat Al-Maidah ayat 89

 لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغۡوِ فِيٓ أَيۡمَٰنِكُمۡ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلۡأَيۡمَٰنَۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيۡمَٰنِكُمۡ إِذَا حَلَفۡتُمۡۚ وَٱحۡفَظُوٓاْ أَيۡمَٰنَكُمۡۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ 

Artinya :Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

Kafarat Ila' adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan biologis dengan istrinya dalam masa tertentu.Semisal perkataan suami kepada istirnya, "Demi Allah aku tidak akan menggaulimu".Konsekuensi yang muncul karena ila' adalah suami membayar kafarat ila' yang jenisnya sama dengan kafarat yamin (kafarat melanggar sumpah.

Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya, sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah ( kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.

D. Rukun dan syarat ila

Menurut jumhur fuqaha, ila’ memiliki empat rukun

a. Al-haalif (orang yang bersumpah atau al-mauli)

Menurut madzhab Hanafi orang yang melakukan ilaa’ adalah setiap suami yang memiliki kemampuan untuk menjatuhkan talak. Yaitu semua orang yang aqil baligh yang memiliki pernikahan dan disandarkannya kepada kepemilikian pernikahan. Atau orang yang tidak dapat mendekati isterinya kecuali dengan ssuatu yang berat yang harus dia penuhi.

Menurut madzhab Syafii, orang yang melakukan ila’ adalah suami yang sah talaknya atau semua suami yang aqil baligh yang mampu untuk melakukan persetubuhan. tidak sah ilaa’ yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang yang dipaksa dan orang yang lumpuh.

Menurut madzhab Hambali orang yang melakukan ila’ adalah setiap suami yang dapat melakukan persetubuhan, yang bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu sifatnya untuk tidak menyetubuhi isterinya yang dapatdisetubuhi dalam masa yang melebihi empat bulan.

b. Al-mahluuf bihi (yang dijadikan sebagai sumpah).

Yang dijadikan sebagai sumpah adalah dengan menyebut nama Allah atau juga dengan menyebut sifat-sifatnya menurut kesepakatan para fuqaha. Menurut madzhab Hambali dan Maliki orang yang tidak melakukan persetubuhan dengan tanpa sumpah dilazimkan hukum ila’ jika dia bertujuan untuk menciptakan kemudharatan. Oleh sebab itu ditetapkan masa selama empat bulan.

c. Al-mahluuf’alaih (objek sumpah)

Objek sumpah adalah persetubuhan, dengan semua lafal yang mengandung pengertian persetubuhan. Misalnya: aku tidak setubuhi kamu dan aku tidak junub darimu, aku tidak dekati kamu.

d. Masa

Menurut pendapat jumhur fuqaha selain madzhab Hanafi yaitu si suami bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya selama lebih dari empat bulan. Sedangkan menurut madzhab Hanafi masa yang paling minimal adalah lebih dari empat bulan, oleh karena itu, jika si suami bersumpah selama tiga bulan atau empat bulan maka menurut jumhur fuqaha dia tidak melakukan ilaa’.

Sebab perselisihan pendapat diantara mereka adalah kembali kepada mereka mengenai al-fay yang merupakan tindakan kembali mendekati isteri. Apakah dilakukan sebelum lewat masaempat bulan ataukah setelah masa empat bulan.

Syarat perbuatan ila.

Menurut madzhab Hambali dan madzhab-madzhab yang lain menyebutkan empat syarat bagi ila’ yakni:

  1. Si suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu sifatnya, seperti yang maha kasih, dan tuhan sekalian alam, bahwa dia tidak menyetubuhi isterinya lebih dari empat bulan. 
  2. Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan selama lebih dari empat bulan karena Allah SWT menjadikan orang yang mengucapkan sumpah menunggu selama empat bulan.
  3. Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan di bagian vagina.
  4. Yang dijadikan sebagai obyek sumpah adalah isteri, karena orang yang selain isteri tidak memiliki hak untuk disetubuhi oleh si suami, maka si suami tidak dapat melakukan ilaa’ kepada perempuan yang selain isteri.

E. Lafal Ila’

Para ulama berbeda pendapat tentang sumpah apakah yang dapat dijadikan ila, menurut imam Malik megatakan ila, bisa terjadi dengan setiap sumpah. Imam Syafii megatakan ila’ tidak bisa terjadi kecuali dengan sumpah yang dibolehkan di dalam syariat yaitu sumpah atas nama Allah atau dengan salah satu namanya. Imam Malik berpegang dengan keumuman maksudnya keumuman firman Allah SWT “kepada orang-orang yang mengila’ isterinya diberi tangguh selama empat bulan lamanya” QS. Albaqarah ayat 226.

Ilaa’ dapat dilakukan dengan lafal yang bersifat terang-terangan atau dengan lafadz sindiran yang menunjukkan ketidakmauan suami untuk melakukan persetubuhan. Termasuk diantara lafal ilaa yang yang bersifat terang-terangan menurut madzhab Hanafi dan menurut madzhab Maliki adalah ucapan suami kepada isterinya seperti ”demi Allah aku tidak akan mendekatimu atau tidak akan menyutubuhimu, tidak menggaulimu, mandi junub darimu, atau ucapan suami”demi Allah aku tidak akan mendekatimu selama empat bulan” atau ucapan suami menurut para fuqaha yang selain madzhab hambali, “jika aku mendekatimu maka aku akan melakukan ibadah haji” atau perkara lain yang sulit untuk dilakukan.

Menurut madzhab Syafii ila’’ yang bersifat terang-terangan adalah sumpah untuk meninggalkan persetubuhan atau merobek keperawanan, dan kalimat lain sejenisnya.

Ilaa’ sah dilakukan dengan semua bahasa Arab dan asing, apakah orang yang mengucapkan ilaa’ adalah orang yang mampu berbahasa Arab ataupun orang yang tidak mampu berbahasa arab.

F. Status perkawinan setelah 4 bulan

Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali ( tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada istri itu jatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.

Talak bain ia lah,Menalak Istri Sebelum Digauli Adalah Talak Ba’in Menalak istri sebelum digauli adalah talak ba’in, meskipun sudah berkhalwat (berdua-duaan) dan terjadi apa yang terjadi (selain senggama).

Hukum perceraiannya adalah bainunah sughra’ (perpisahan kecil). Artinya, tidak halal baginya untuk merujuknya melainkan dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk hanya ada pada masa ‘iddah, sedangkan ini tidak ada masa ‘iddahnya.

Dasarnya terdapat dalam surat Al-ahzab :49

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا 

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, tidak wajib atas mereka ‘iddah (penantian) bagimu yang kalian minta menyempurnakannya.Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskan mereka dengan cara yang baik.”

Jika seorang bersumpah tidak mencampuri isterinya dalam waktu tertentu baik kurang atau lebih dari empat bulan maka ia mesti menunggu sampai berakhirnya masa yang telah ditentukan. Setelah itu ia dibolehkan mencampuri isterinya kembali. Bagi si isteri juga agar bersabar dan ia tidak berhak meminta rujuk pada suami.

Menurut imam Malik, Syafi’i, Ahmad Abu Tsaur, Daud Al-Laits berpendapat bahwa sesudah lewat masa empat bulan, keputusan tentang diri isteri bergantung pada keadaan, apakah suami kembali kepada si isteri ataukah menceraikannya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh ali ra dan ibnu umar.

Menurut Imam Abu Hanifah beserta pengikutnya dan atsauri berpendapat bahwa talak jatuh dengan sendirinya sesudah lewat masa empat bulan, kecuali jika suami kembali lagi kepada isteri. Pendapat ini juga dikemukakan oleh oleh ibnu mas’ud ra dan para pengikutnya.

Hikmah diberlakukan masa empat bulan adalah :

  1. Dalam masa empat memungkinkan jiwa untuk mengembalikan diri dari menggauli istri. Begitu juga sang isteri dia tidak mampu lagi untuk bertahan lebih dari masa itu dalam menggauli suami. 
  2. Dalam masa ila’ itu ada kesempatan untuk menjaga kehormatan diri. Lebih dari itu maungkin saja keduanya tidak lagi mampu menjaga kehormatannya inilah hikmah yang tegas.

Apabila telah lewat selama empat bulan, maka Seorang suami yang mengila’ istrinya jika diberi tawaran dan diminta fai’ah dan ia mampu untuk melakukannya tetapi ia tidak mau melakukannya maka ia diperintahkan untuk menceraikan isterinya. Demikianlah pendapat setiap orang yang menyatakan keharusan memberikan tawaran kepada laki-laki yang mengila yang sudah batas waktu. Karena Allah telah berfirman “setelah itu suami boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik” (al-baqarah ayat 229).

Dengan demikian jika suami menolak melaksanakan kewajiban kepada isterinya berarti telah menolak untuk rujuk dengan cara yang baik pula. Sehingga ia diperintah untuk menceraikan dengan cara yang baik pula. Jika ia berhalangan, maka ia harus menyatakan bersedia kembali secara lisan. Dan jika sudah mampu bercampur maka ia diperintahkan untuk segera bercampur dan jika tidak maka ia diperintahkan untuk menceraikan isterinya tersebut. Demikianlah yang dikemukakan oleh Syafii dan Ahmad.

 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ila’ adalah bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya lagi dalam waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.

Ila’ ini disyaratkan untuk menyebut nama Allah, tidak mencampuri isterinya selama empat bulan, bersumpah tidak melakukan hubungan badan dan yang menjadi objek sumpah itu adalah si isteri. Dan juga mempunyai rukun yakni almauli, yang dijadikan sumpah adalah nama Allah, almaf’ul ‘alaih dan masa.

Pada masa ila’ isteri tidak boleh meminta untuk berjima’ dan mesti bersabar sampai waktu yang dietntukan. Dan apabila waktu ila’ itu telah tiba dalam artian ila’ masa ila’ sudah habis maka isteri boleh untuk meminta kembali kepada suaminya dan apabila suami menolak hal demikian maka si isteri boleh mengajukan kepada qadhi dan qadhi berhak untuk menjatuhkan talak.

Kemudian jika suami menyetubuhi isterinya maka ia diwajibkan membayar kifarat sebagai penembus sumpahnya.yakni memberikan makan 10 orang miskin, memberikan pakaian bagi mereka dan memardekakan budak akan tetapi biaya tidak mencukupi ma ia diwajibkan berpuasa.

B. Sara

Pemakalah sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,kritik dan saran pembaca sangat di harapkan penulis demi kebaikan hasil makalah ini.Penulis berharap dengan makalah ini para pembaca bisa lebih paham terhadap pemaparan makalah ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Az-Zuhaili, Wahbah, 2011, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani
  • Uwaidah, Muhammad Kamil, 1998, Fiqih Wanita, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar
  • Ayyub, Hasan, 2008, Fiqih Keluarga, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar
  • Rusyid, Ibnu, 2007, Bidayatul Mujtahid Jilid Dua, Jakarta: Pustaka Azzam
  • Ayyub, Hasan, 2005, Fiqih Keluarga, Jakarta, Alkautsar
Bentuk Bentuk Jarimah

Bentuk Bentuk Jarimah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jianayah atau lengkapnya Fiqh Jinayah merupakan satu bagian dari bahsan fiqh. kalau fiqh adalah ketentuan yang berdasarkan wahyu Allah dan bersifat amaliah (operasional) yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah dan sesama manusia, maka fiqh jinayah secara khusus mengatur tentang pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan manusia dan sanksi hukuman yang berkenan dengan kejahatan itu.

Tujuan umum dari ketentuan yang di tetapkan Allah itu adalah mendatangkan kemaslahatan untuk manusia, baik mewujudkan keuntungan dan menfaat bagi manusia, maupun menghindarkan kerusakan dan kemudaratan dari manusia. Dalam hubungan ini Allah menghendaki terlepasnya manusia dari segala bentuk kerusakan.

Fiqh jinayah ini berbicara tentang bentuk-bentuk tindakan kejahatan yang dilarang Allah manusia melakukannya dan oleh karenanya ia berdosa kepada Allah dan akibat dari dosa itu akan dirasakannya azab Allah di akhirat. Dalam rangka mempertakut manusia melakukan kejahatan yang dilarang Allah itu, Allah menetapkan sanksi atau ancaman hukuman atas setiap pelanggaran terhadap larangan Allah itu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat di uraikan sebagai beriku :

  1. Bagaimana yang di maksud dengan jinayah dan jarimah?
  2. Bagaimana hubungan jarimah dengan larangan syara?
  3. Bagaiman bentuk-bentuk jarimah?

C. Tujuan Penulis

  1. Untuk mengetahui penertian jinayah dan jarimah.
  2. Untuk mengetahui hubungan jarimah dengan larangan syara.
  3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk jarimah.

 

BAB II

TINJAWAN PUSTAKA

A. Pengertian jinayah dan jarimah

Secara etimologis (lughah) jinayah, berarti : perbuatan terlarang, dan jarimah, berarti : perbuatan dosa. Secara termologis (ishtilah) “jinayah” atau jarimah, adalah sebagaimananya dikemukakan Imam Al-Mawardi :

Jarimah adalah segala larangan syarak yang diancam hukuman had atau ta’zi.Dengan demikian, jinayah atau jarimah adalah perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa.

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya mengatakan jinayah adalah kata jinayah berasal dari bahasa Arab, yang merupakan jamak dari kata jinayah diambil dari jinaaya yang berarti memetik. Dalam bahasa, (kata janaitus tsamara) bermaksud mengambil buah-buahan.(Jinaa’alaa qawmihii jinaayatan)bermaksud melakukan tindakan kejahatan tehadap kaumnya, dan harta benda.

B. Hubungan jarimah dengan larangan syara.

Suatu perbuatan itu di namakan jarimah apabila,perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik jasad(anggota badan dan jiwa),harta benda,keamanan,tata aturan bermasyarakat,nama baik atau perasaan ataupun hal-hal lain yang harus di pelihara dan di junjung tinggi keberadaannya. Jadi,yang menyebabkan suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai suatu jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain baik dalam betuk material maupun nonmateri atau gangguan nonfisik seperti,ketenangan,ketentraman,harga diri dan sebagainya.

 

BABIII

PEMBAHASAN

A. Pengertian jinyah dan jarimah

1. Jinayah

Secara bahasa kata jinaayaat adalah bentuk jama’ dari kata jinayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak. Menurut istilah syar’i, kata jinaayah berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash atau membayar denda. Hal ini di jelasakan dalam surat Al-baqarah ayat 84 yaitu:

 وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ لَا تَسْفِكُونَ دِمَاءَكُمْ وَلَا تُخْرِجُونَ أَنْفُسَكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ ثُمَّ أَقْرَرْتُمْ وَأَنْتُمْ تَشْهَدُونَ 

yang artinya” . Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu) kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian "kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.

Tujuan disyari’atkannya adalah dalam rangka untuk memelihara akal, jiwa, harta dan keturunan. Ruang lingkupnya meliputi berbagai tindak kejahatan kriminal, seperti : Pencurian, perzinahan, homoseksual, menuduh seseorang berbuat zina, minum khamar, membunuh atau melukai orang lain, merusak harta orang dan melakukan gerakan kekacauan dan lain sebagainya.

2. Jarimah

Pada dasarnya kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk,jelek atau dosa.Jadi pengertian jarimah secara harfiah sama halnya dengan jinayah.Adapun pengertian jarimah sebagai berikut,menurut Abdul Qadir Audha yaitu”yang di maksud dengan mahdhurat(larangan)melakukan suatu perbuatan yang di larang dan meningalkan suatu perbuatan yang di perintahkan.

Dari uraian tersebut dapat kita ambil bahawa kata jarimah identik dengan kata hukum positif sebagai tindakan pidana atau pelanggaran hukum. Contoh jarimah di atas antara lain, pencurian, pembunuhan, kerugian dan lain sebagainya. Adapun pemakaian kata jinayah lebih mempunyai arti umum,yaitu di tujukan bagi suatu perbuatan dosa tertentu. Oleh karna itu pembahasan fiqih yang memuat kejahatan,pelangaran yang di kerjakan manusia dan hukuman yang di ancam dalam pelaku tersebut mengunakan fiqih jinayah.

Kesimpulan yang dapat di ambil dri kedua istilah tersebut adalah kduanay memiliki kesamaan dan perbedaan secara etimologi,kedua istilah tersebut bermakna tunggal,mempunyai arti yang sama seta di tunjukan pada konotasi negatif atau perbuatan dosa. Adapun perbedaan terdapat pada pemakaian dan arah pembicaraan.

B. Hubungan jarimah dengan larangan syara

Suatu perbuatan dinamakan jarimah(tindak pidana,peristiwa atau delik)apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik jasad(anggota badan dan jiwa),harta benda,keamanan,tata aturan bermasyarakat dan nama baik.Jadi yang menyebabkan suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian pada pihak lain baik dalam bentuk materi maupun non materi seperti,ketenangan,ketentraman,harga diri,adat istiadat dan lain sebagainya.

Penyebab perbuatan yang merugikan tersebut di antaraya ialah adalah tabiat manusia yang cendrung pada suatu perbuatan yang menguntungkan diri nya walaupun hal itu akan merugikan banyak orang. Kenyataan tersebut memerlukan kehadiran peraturan dan undang-undang akan tetapi,kehadiran peruran itu tidak akan berarti apabila adanya dukungan paksaan agar orang itu mau mematuhinya dengan harapan yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatan tersebut. Disamping itu agar perbuatannya tidak di ulangi oleh orang lain agar tercipta kedamaian dalam kepentingan umum.

Hukuman,ancaman,saksi meruapakan hal yang baik walaupun akan berakibat buruk bagi pelaku kejahatan.Nmun apabila di bandingkan dengan kepentingan orang banyak kehadiran hukuman dan saksi sangat di butuhkan.agar orang yang berbuat jarimah bisa jera dan menjadi ancaman maupun pelajaran bagi orang yang ingin melakukan tindakan jarimah.

Tolak ukur jarimah(tindakan pidana) bermula dari moral atau akhlak bukan berarti meniadakan unsur kerugian akan tetapi,unsur moral lebih di utamakan di bandingan unsur kerugian. Disamping itu,pada dasarnya kerugian yang di derita korban baik perorangan maupun masyarakat di akibatkan akhlak yang buruk pelaku jarimah.Jadi perbuatan buruk yang merugikan orang lain tersebut bermula dari akhlak yang kurang baik.

Hukum positif tidak demikian.Suatu perbuatan itu digolongkan tindakan pidana atau bukan tergantung pada tindakan kerugian maupun orang yang merasa di rugikan. Oleh karna itu berangkat dari untung rugi,pelangaran terhadap kesusilaan dan kejahatan moral tidak di anggap sebagai tindakan pidana dan merupakan sesuatu yang masuk akal. Itu karna hukum positif merupakan produksi barat,sehingga sangat longar tehadap moral dan sangat tidak mempedulikan akhlak tersebut.

Sebagai ilustrasi,yang di ambil di negri barat.Dalam sebuah perjalana kerta api bawah tanah sepasang muda mudi bercumbuan di dalam kereta api,dalam pandangan islam itu merupakan hal yang sangat bejat dan merusak akhlak seseorang. Tentu saja perbuatan tersebut mengundang perhatian penumpang lainnya,akhirnya petugas mengiring sepasang kekasih muda tersebut dan memberhentikannya di stasiun selanjutnya karna bagi mereka apa yang di buat sepasang kekasih muda tersebut hanya menggangu perjalanan lalu lintas.

Dalam hukum islam contoh kasus di atas bukan dianggap sekedar menggangu ketertiban.perbuatan itu akan di anggap perbuatan pidana atau jarimah walaupun belum masuk kedalam jarimah zina dan pasti akan di hukum,dalam pandangan islam perbuatan ini akan di hukum seberat-beratnya karna di lakukan di tempat umum yang membuktikan bahwa mereka sangat jongka dan sombong akan ketentuaan Allah SWT. Menghalalkan yang haram dan dapat di kategorikan orang-orang yang murtad karna menyimpang dengan ketentuan agama.

Mengapa harus di hukum padahal tidak ada yang merasa di rugikan dalam kasusu tersebut,sebab islam menjunjung tinggi akhlak dan setiap pelanggar akhlak akan di hukum,dengan mengabaikan ada yang rugi atau tidak.Perzinaan dan perbuatan lainnya adalah pelanggaran akhlak sehingga pelaku harus di hukum. Bahkan perbuatan perzinaan tergolong tindakan pidana dalam ketentuan jarimah yang berat hukumannya,kalu hanya di anggap mengangu ketertipan perzinaan akan di lakukan secara tertip,tidak tergangu,tersembunyi bahkan terorganisasi hal itu akan menguntungkan pelaku dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.

C. Bentuk-bentuk jarimah

1. Dilihat dari pelaksanaannya

Aspek yang di tonjolkan dari perbuatan jarimah ini adalah bagaimana si pelaku melaksanakan jarimah tersebut,apakah jarimah itu di laksanakan dengan perbuatan terlarang atau si pelaku tidak melaksanakan perbuatan yang di perintahkna. Kalau si pelakan jarimah mengerjakan perbuatan yang terlarang,ia telah melaku jarimah ijabiyyah(aktif)atau dalam bahasa hukum positif dinamai delict commisions.Si pelaku jarimah jenis ini telah melakukan maksiat,melakukan perbuatan yang di larang di dalam diri nya seperti,mencuri,berzina,mabuk-mabukan,membunuh dan sebagainya. Bentuk kebalikan dari jarimah aktif ia lah jarimah pasif(salabiyyah) tidak termasuk dalam delict commisionis seperti,tidak melakukan sholat,tidak membayar akat,tidak menolong orang. Sebagiam ulama dalam kaitannya dengan aspek ini muncul bentuk ijabiyyah dan salabiyyah hal ini dapat di contoh kan dalam kasus seperti ini,seseorang bermaksud membunuh tawanan namun,tidak di lakukan dengan cara membunuhnya melainkan dengan cara menahan yang bersangkutan di suatu tempat tanpa memberinya makan dan minum samapai si tawanan mati,maka orang yang menawan ini di dakwa telah membunuh dengan tidak memberi makan dan minum.

2. Dilihat dari niatnya

Pembagian jarimah dari sudut pandang ini,terbagi ke dalam dua bagian yaitu jarimah yang di sengaja(jarimah al-makshudah) yang niatnya bahkan di rencanakan. Contohnya adalah seorang masuk ke dalam rumah orang lain dengan maksud mencuri sesuatu dari rumah tersebut.Kebalikan dari jarimah tersebut ia lah jarimah tidak di sengaja(jarimah ghair makshudah) bentuk jarimah ini bisa terjadi antara lain karna kekeliruan maupun kelalaian.Sebagai contoh adalah ada seseorang yang membakar samapah dengan maksud membersihkan sekeliling rumahnya tanpa sepengetahuannya,api membesar dan membakar sesuatu milik orang lain.

3. Dilihat dari objeknya

Aspek yang juga dapat membedakan bentuk jarimah adalah aspek korban. Dalam hal ini dapat di bedakan apakah hasil dari jarimah tersebut mengenai perseoranagn atau kelompok masyarakat.Jjika yang menjadi korban itu perseorangan di sebut jarimah perseoranggan dan jika bentuk jarimah yang menjadi korban itu masyarakat di sebut jarimah masyarakat.Sebagian ulama mengatakan,bila korban tersebut perseorangan,jarimah tersebut menjadi hak perseorangan namun bila korbannya masyarakat,jarimah tersebut menjadi hak Allah.

4. Dilihat dari motifnya

Dalam keseharian,kita sering mendengar kata-kata tindak pidana yang di kaitkan dengan masalah kenegaraan,pemerintahan atau segala sesuatu yang berbauk politis.Jarimah politik adalah jarimah yang dilakukan dengan maksud politis dan biasanya di lakukan di lakukan orang-orang yang memiliki tujuan politik untuk melawan pemerintahan yang sah pada waktu situasi yang tidak normal seperti, pemberontakan senjata, mengacaukan perekonomian dengan maksud politis. Sedangakan yang tidak bermuatan politis di sebut jarimah biasa seperti,mencuri,membunuh,menganiaya dan lain sebagainya.

5. Dilihat dari bobot hukum

Para ulama membagi masalah jinayah menjadi tiga bagian,hal ini di dasarkan tehadap bobot hukuman yang di kenakan terhadap pelaku jarimah.Sedangangkan hukum itu sendiri didasarkan atas Al-Qur’an dan AS-Sunnah.

a. Jarimah Hudud

Suatu jarimah yang bentuknya telah ditentukan syara sehing terbatas jumlahnya,selain ditentukan bentuk jumlahnya juga di tentukakan hukumannya secara jelas,baik secara Al-Qur’an maupun AS-Sunnah.Lebih dari itu jarimah ini termasuk dalam jarimah hak Tuhan. Jarimah yang menjadi hak Tuhan pada prinsipnya untuk memelihara kepentingan,ketentraman di dalam bermasyarakat.

Hukuman jarimah ini sangat jelas di perutukan bagi setiap jarimah,karena hanya ada satu hukuman untuk setiap jarimah. Tidak ada pilihan hukuman bagi jarimah ini dan tentu saja tidak memiliki batas tertinggi maupun terendah seperti layaknya hukuman lain.

Karena beratnya sanksi yang di terima pelaku kalau memang ia bersalah melakukan jarimah ini,maka penetapan asas legalitas bagi pelaku jarimah harus berhati-hati karena,sanksi jarimah hudud menyangkut hilangnya nyawa atau hilangnya anggota badan si pembuatan jarimah.Dengan demikian kesalahan dalam menentukan vonis sangat bedampak buruk bagi pelaku jarimah di masa yang akan datang.

Oleh karna itu para ula membuat kaidah yang termasuk ke dalam kelompok hudud yaitu:”apabila terjadi keraguan,ketidakyakian maka hindarilah penjatuhan hudud tersebut”. Adapun yang termasuk dalam kelompok hudud menurut para ulama yaitu perzinahan,minum-minuma kerasas,pencurian dan lain sebaginya. Hal ini di jelaskan dalam surat maryam ayat 18 yaitu :

 يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا 

Yang artinya” Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.-Dalam surat yang lain juga di jelaskan,surat An-nisa ayat 24 yaitu :

 وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا 

Yang artinya:”dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

b. Jarimah Qishash/diyat

Seperti halnya jarimah hudud,jarimah qishash pun telah di tentukan jenis maupun besar hukumannya, jadi jarimah ini terbatas jumlah dan hukuman tidak mengenal batas tertinggi atau terendah karena hukuman untuk jarimah ini hanay satu untuk setiap jarimah.

Satu-satunya perbedaan jarimah hudud dengan qishash ialah jarimah ini menjadi hak perseorangan yang menyebabkan ada nya pemaafan terhadap pelaku jarimah oleh orang yang menjadi korban,wali atau ahli waris. Jadi dalam kasus jarimah qishash korban atau ahli waris dapat memaafkan si pembuatan jarimah dengan meniadakan hukum qishash.di jelaskan dalam surat Al-isra ayat 33 yaitu :

 وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا 

Yang artinya”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.

Dalam surat Al- baqarah ayat 179 juga di jelaskan :

 وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 

yang artinya”Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.(qishash).

Kekuasan hakim pada halnya jarimah hudud terbatas pada penjatuhan hukuman apabila perbuatan yang di tuduhkan itu dapat di buktikan. Hukuman qishash ini di jatuhkan hakim selama korban tidak mau memberi maaf kepada pelaku jarimah,qishash di tujukan agar pembuatan jarimah di jatuhi hukuman yang setimpal sebagi balasan atas perbuatannya itu. Jadi qishash di pandang lebih menjamin dari pada jenis hukuman lainnya,seseorang akar berpikir dua kali untuk melakukan membunuh karna pelaku jarimah akan mendapatkan hukuman setimpal dengan apa yang ia buat.

Jarimah yang termasuk kedalam qishas/diyat terdiri atas lima macam,dua dalam kelompok jarimah qishash yaitu pembunuhan sengaja dan penganiayaan di sengaja.Adapun tiga jarimah dalam kelompok diyat yaitu,pembunuhan tidak di sengaja,pembunuhan semisengaja dan penganiayaan tidak di sengaja. Di samping itu diyat merupakat hukuman qishash yang di maafkan.

Kesalah-kesalah hukuman bagi jarimah ini seperti halnya,pada jarimah hudud dapat berakibat fatal atau sekurang-kurang nya hilang salah satu anggota badan orang lain,walaupun si korban tidak mau memaafkan pelaku jarimah kehati-hatian penegak hakim sangat berperan penting agar tegaknya hukuman tersebut.

c. Jarimah Ta’zir

Arti katanaya ia lah at-ta’dib yaitu memberi pengajaran. Dalam fiqih jinayah ta’zir merupakan suatu bentuk jarimah,yang macam jarimah serta sanksi di tentukan penguasa.Jadi jarimah ini sangat berbeda dengan jarimah hudud dan qishash yang bentuk hukumannya di tentukan oleh syara karna jarimah ini berkaitan dengan perkembangan masyarakat serta kemasalahannya.seperti yang kita ketahui kemaslahatan selalu berubah sesuai perkembangan dari waktu ke waktu,masa ke masa. Oleh karna itu jarimah ini juga di sebut dengan jarimah kemaslahatan umat mengenai hukuman ini syara berperan sebagai penyebut bentuk hukum dari yang tertinggi hingga terendah,tanpa mengharuskan hukuman tertentu dengan jarimah tertentu. Dalam menangani kasus jarimah ini hakim di beri keluasan,bebas melakukan ijtihad untuk menentukan apa hukuman yang baik untuk pelaku jarimah,sesuai dengan tindak jarimah dan kondisi si pelaku.

Jarimah ta’zir yang di tentukan syara antara lain,khianat,suap-menyua dan lain sebagainya.Tetapi dalam penerapan sanksi diserahkan kepda kebijakan hakim,dapat memilih dari yang seberat-beratnya sampai seringgan-ringgannya.

Dari penjelasan tersebut jarimah ta’zir terbagi atas dua bagian yaitu menurut ke tentuan syara dan penguasa,ta’zir syara di tentukan oleh syara dan bersifat abadi dan mutlak adanaya,sedangan ta’zir penguasa bersifat sementara dan tergantung pada keadaan dan dapat di katakan jarimah kalau di perlukan.

Dalam penerapannya jarimah ini bersifat longar berbeda dengan jarimah hudud dan qishahs yang sangat ketat.Bisa saja jarimah yang sama mendapat hukuman yang berbeda karna sifat jarimah ta’zir yang elastis longgar.

Pemberian kekuasaan dalam penerapan jarimah ta’zir kepada hakim tidak serta merta dapat di lakukan sesuai kehendaknya sendiri karna,pada dasarnya semua jarimah telah memiliki aturan.Sedangkan pemberian kekuasaan kepada hakim sebagai cerminan isi hukum itu sendiri untuk umat manusia. 

 

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara bahasa kata jinaayaat adalah bentuk jama’ dari kata jinaayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak.

Jinayah terdiri atas dua macam, yaitu jinayah terhadap jiwa dan jinayah terhadap badan,Sebab-sebab jinayah yaitu; membunuh, meminum khamar, berzina, qadzaf, mencuri, muharobah dan lain-lain.

B. Saran

Karena keterbatasan pengetahuan kami, hingga hanya inilah yang dapat kami sajikan, dan tentu saja masih sangat kurang dari sisi materinya, maka itu kami mengharapkan masukan baik itu kritik maupun saran dari pembaca demi melengkapi kekurangan tersebut.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Saleh, Hasan, 2008. Fiqh Kontemporer, Cetakan; 1, Jakarta : Rajawali Pers.
  • Sabiq, Sayyid,2005. FIQIH SUNNAH, Cetakan; 1, Jakarta : Pena Pundi Aksara.
  • Djazuli, 2010. ILMU FIQH Pengalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Cetakan; 7, Jakarta : Kencana.
  • Diib, Musthafa Al-Bugha, 2009. Fiqih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Mazhab Syafi’i.(Cetakan; 1, Solo : Media Zikir.
  • Prof. H. A. Djazuli, 2010. ILMU FIQH PENGALIAN, PERKEMBANGAN, DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM. Cetakan; 7, Jakarta : Kencana.
  • Syarifuddin, Amir, 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Cetakan; 1, Bogor : Kencana
Hubungan jarimah dengan larangan syara

Hubungan jarimah dengan larangan syara

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jianayah atau lengkapnya Fiqh Jinayah merupakan satu bagian dari bahsan fiqh. kalau fiqh adalah ketentuan yang berdasarkan wahyu Allah dan bersifat amaliah (operasional) yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah dan sesama manusia, maka fiqh jinayah secara khusus mengatur tentang pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan manusia dan sanksi hukuman yang berkenan dengan kejahatan itu.

Tujuan umum dari ketentuan yang di tetapkan Allah itu adalah mendatangkan kemaslahatan untuk manusia, baik mewujudkan keuntungan dan menfaat bagi manusia, maupun menghindarkan kerusakan dan kemudaratan dari manusia. Dalam hubungan ini Allah menghendaki terlepasnya manusia dari segala bentuk kerusakan.

Fiqh jinayah ini berbicara tentang bentuk-bentuk tindakan kejahatan yang dilarang Allah manusia melakukannya dan oleh karenanya ia berdosa kepada Allah dan akibat dari dosa itu akan dirasakannya azab Allah di akhirat. Dalam rangka mempertakut manusia melakukan kejahatan yang dilarang Allah itu, Allah menetapkan sanksi atau ancaman hukuman atas setiap pelanggaran terhadap larangan Allah itu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat di uraikan sebagai beriku :

  1. Bagaimana yang di maksud dengan jinayah dan jarimah?
  2. Bagaimana hubungan jarimah dengan larangan syara?
  3. Bagaiman bentuk-bentuk jarimah?

C. Tujuan Penulis

  1. Untuk mengetahui penertian jinayah dan jarimah.
  2. Untuk mengetahui hubungan jarimah dengan larangan syara.
  3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk jarimah.

 

BAB II

TINJAWAN PUSTAKA

A. Pengertian jinayah dan jarimah

Secara etimologis (lughah) jinayah, berarti : perbuatan terlarang, dan jarimah, berarti : perbuatan dosa. Secara termologis (ishtilah) “jinayah” atau jarimah, adalah sebagaimananya dikemukakan Imam Al-Mawardi :

Jarimah adalah segala larangan syarak yang diancam hukuman had atau ta’zi.Dengan demikian, jinayah atau jarimah adalah perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa.

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya mengatakan jinayah adalah kata jinayah berasal dari bahasa Arab, yang merupakan jamak dari kata jinayah diambil dari jinaaya yang berarti memetik. Dalam bahasa, (kata janaitus tsamara) bermaksud mengambil buah-buahan.(Jinaa’alaa qawmihii jinaayatan)bermaksud melakukan tindakan kejahatan tehadap kaumnya, dan harta benda.

B. Hubungan jarimah dengan larangan syara.

Suatu perbuatan itu di namakan jarimah apabila,perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik jasad(anggota badan dan jiwa),harta benda,keamanan,tata aturan bermasyarakat,nama baik atau perasaan ataupun hal-hal lain yang harus di pelihara dan di junjung tinggi keberadaannya. Jadi,yang menyebabkan suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai suatu jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain baik dalam betuk material maupun nonmateri atau gangguan nonfisik seperti,ketenangan,ketentraman,harga diri dan sebagainya.

 

BABIII

PEMBAHASAN

A. Pengertian jinyah dan jarimah

1. Jinayah

Secara bahasa kata jinaayaat adalah bentuk jama’ dari kata jinayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak. Menurut istilah syar’i, kata jinaayah berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash atau membayar denda. Hal ini di jelasakan dalam surat Al-baqarah ayat 84 yaitu:

 وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ لَا تَسْفِكُونَ دِمَاءَكُمْ وَلَا تُخْرِجُونَ أَنْفُسَكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ ثُمَّ أَقْرَرْتُمْ وَأَنْتُمْ تَشْهَدُونَ 

yang artinya” . Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu) kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian "kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.

Tujuan disyari’atkannya adalah dalam rangka untuk memelihara akal, jiwa, harta dan keturunan. Ruang lingkupnya meliputi berbagai tindak kejahatan kriminal, seperti : Pencurian, perzinahan, homoseksual, menuduh seseorang berbuat zina, minum khamar, membunuh atau melukai orang lain, merusak harta orang dan melakukan gerakan kekacauan dan lain sebagainya.

2. Jarimah

Pada dasarnya kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk,jelek atau dosa.Jadi pengertian jarimah secara harfiah sama halnya dengan jinayah.Adapun pengertian jarimah sebagai berikut,menurut Abdul Qadir Audha yaitu”yang di maksud dengan mahdhurat(larangan)melakukan suatu perbuatan yang di larang dan meningalkan suatu perbuatan yang di perintahkan.

Dari uraian tersebut dapat kita ambil bahawa kata jarimah identik dengan kata hukum positif sebagai tindakan pidana atau pelanggaran hukum. Contoh jarimah di atas antara lain, pencurian, pembunuhan, kerugian dan lain sebagainya. Adapun pemakaian kata jinayah lebih mempunyai arti umum,yaitu di tujukan bagi suatu perbuatan dosa tertentu. Oleh karna itu pembahasan fiqih yang memuat kejahatan,pelangaran yang di kerjakan manusia dan hukuman yang di ancam dalam pelaku tersebut mengunakan fiqih jinayah.

Kesimpulan yang dapat di ambil dri kedua istilah tersebut adalah kduanay memiliki kesamaan dan perbedaan secara etimologi,kedua istilah tersebut bermakna tunggal,mempunyai arti yang sama seta di tunjukan pada konotasi negatif atau perbuatan dosa. Adapun perbedaan terdapat pada pemakaian dan arah pembicaraan.

B. Hubungan jarimah dengan larangan syara

Suatu perbuatan dinamakan jarimah(tindak pidana,peristiwa atau delik)apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik jasad(anggota badan dan jiwa),harta benda,keamanan,tata aturan bermasyarakat dan nama baik.Jadi yang menyebabkan suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian pada pihak lain baik dalam bentuk materi maupun non materi seperti,ketenangan,ketentraman,harga diri,adat istiadat dan lain sebagainya.

Penyebab perbuatan yang merugikan tersebut di antaraya ialah adalah tabiat manusia yang cendrung pada suatu perbuatan yang menguntungkan diri nya walaupun hal itu akan merugikan banyak orang. Kenyataan tersebut memerlukan kehadiran peraturan dan undang-undang akan tetapi,kehadiran peruran itu tidak akan berarti apabila adanya dukungan paksaan agar orang itu mau mematuhinya dengan harapan yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatan tersebut. Disamping itu agar perbuatannya tidak di ulangi oleh orang lain agar tercipta kedamaian dalam kepentingan umum.

Hukuman,ancaman,saksi meruapakan hal yang baik walaupun akan berakibat buruk bagi pelaku kejahatan.Nmun apabila di bandingkan dengan kepentingan orang banyak kehadiran hukuman dan saksi sangat di butuhkan.agar orang yang berbuat jarimah bisa jera dan menjadi ancaman maupun pelajaran bagi orang yang ingin melakukan tindakan jarimah.

Tolak ukur jarimah(tindakan pidana) bermula dari moral atau akhlak bukan berarti meniadakan unsur kerugian akan tetapi,unsur moral lebih di utamakan di bandingan unsur kerugian. Disamping itu,pada dasarnya kerugian yang di derita korban baik perorangan maupun masyarakat di akibatkan akhlak yang buruk pelaku jarimah.Jadi perbuatan buruk yang merugikan orang lain tersebut bermula dari akhlak yang kurang baik.

Hukum positif tidak demikian.Suatu perbuatan itu digolongkan tindakan pidana atau bukan tergantung pada tindakan kerugian maupun orang yang merasa di rugikan. Oleh karna itu berangkat dari untung rugi,pelangaran terhadap kesusilaan dan kejahatan moral tidak di anggap sebagai tindakan pidana dan merupakan sesuatu yang masuk akal. Itu karna hukum positif merupakan produksi barat,sehingga sangat longar tehadap moral dan sangat tidak mempedulikan akhlak tersebut.

Sebagai ilustrasi,yang di ambil di negri barat.Dalam sebuah perjalana kerta api bawah tanah sepasang muda mudi bercumbuan di dalam kereta api,dalam pandangan islam itu merupakan hal yang sangat bejat dan merusak akhlak seseorang. Tentu saja perbuatan tersebut mengundang perhatian penumpang lainnya,akhirnya petugas mengiring sepasang kekasih muda tersebut dan memberhentikannya di stasiun selanjutnya karna bagi mereka apa yang di buat sepasang kekasih muda tersebut hanya menggangu perjalanan lalu lintas.

Dalam hukum islam contoh kasus di atas bukan dianggap sekedar menggangu ketertiban.perbuatan itu akan di anggap perbuatan pidana atau jarimah walaupun belum masuk kedalam jarimah zina dan pasti akan di hukum,dalam pandangan islam perbuatan ini akan di hukum seberat-beratnya karna di lakukan di tempat umum yang membuktikan bahwa mereka sangat jongka dan sombong akan ketentuaan Allah SWT. Menghalalkan yang haram dan dapat di kategorikan orang-orang yang murtad karna menyimpang dengan ketentuan agama.

Mengapa harus di hukum padahal tidak ada yang merasa di rugikan dalam kasusu tersebut,sebab islam menjunjung tinggi akhlak dan setiap pelanggar akhlak akan di hukum,dengan mengabaikan ada yang rugi atau tidak.Perzinaan dan perbuatan lainnya adalah pelanggaran akhlak sehingga pelaku harus di hukum. Bahkan perbuatan perzinaan tergolong tindakan pidana dalam ketentuan jarimah yang berat hukumannya,kalu hanya di anggap mengangu ketertipan perzinaan akan di lakukan secara tertip,tidak tergangu,tersembunyi bahkan terorganisasi hal itu akan menguntungkan pelaku dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.

C. Bentuk-bentuk jarimah

1. Dilihat dari pelaksanaannya

Aspek yang di tonjolkan dari perbuatan jarimah ini adalah bagaimana si pelaku melaksanakan jarimah tersebut,apakah jarimah itu di laksanakan dengan perbuatan terlarang atau si pelaku tidak melaksanakan perbuatan yang di perintahkna. Kalau si pelakan jarimah mengerjakan perbuatan yang terlarang,ia telah melaku jarimah ijabiyyah(aktif)atau dalam bahasa hukum positif dinamai delict commisions.Si pelaku jarimah jenis ini telah melakukan maksiat,melakukan perbuatan yang di larang di dalam diri nya seperti,mencuri,berzina,mabuk-mabukan,membunuh dan sebagainya. Bentuk kebalikan dari jarimah aktif ia lah jarimah pasif(salabiyyah) tidak termasuk dalam delict commisionis seperti,tidak melakukan sholat,tidak membayar akat,tidak menolong orang. Sebagiam ulama dalam kaitannya dengan aspek ini muncul bentuk ijabiyyah dan salabiyyah hal ini dapat di contoh kan dalam kasus seperti ini,seseorang bermaksud membunuh tawanan namun,tidak di lakukan dengan cara membunuhnya melainkan dengan cara menahan yang bersangkutan di suatu tempat tanpa memberinya makan dan minum samapai si tawanan mati,maka orang yang menawan ini di dakwa telah membunuh dengan tidak memberi makan dan minum.

2. Dilihat dari niatnya

Pembagian jarimah dari sudut pandang ini,terbagi ke dalam dua bagian yaitu jarimah yang di sengaja(jarimah al-makshudah) yang niatnya bahkan di rencanakan. Contohnya adalah seorang masuk ke dalam rumah orang lain dengan maksud mencuri sesuatu dari rumah tersebut.Kebalikan dari jarimah tersebut ia lah jarimah tidak di sengaja(jarimah ghair makshudah) bentuk jarimah ini bisa terjadi antara lain karna kekeliruan maupun kelalaian.Sebagai contoh adalah ada seseorang yang membakar samapah dengan maksud membersihkan sekeliling rumahnya tanpa sepengetahuannya,api membesar dan membakar sesuatu milik orang lain.

3. Dilihat dari objeknya

Aspek yang juga dapat membedakan bentuk jarimah adalah aspek korban. Dalam hal ini dapat di bedakan apakah hasil dari jarimah tersebut mengenai perseoranagn atau kelompok masyarakat.Jjika yang menjadi korban itu perseorangan di sebut jarimah perseoranggan dan jika bentuk jarimah yang menjadi korban itu masyarakat di sebut jarimah masyarakat.Sebagian ulama mengatakan,bila korban tersebut perseorangan,jarimah tersebut menjadi hak perseorangan namun bila korbannya masyarakat,jarimah tersebut menjadi hak Allah.

4. Dilihat dari motifnya

Dalam keseharian,kita sering mendengar kata-kata tindak pidana yang di kaitkan dengan masalah kenegaraan,pemerintahan atau segala sesuatu yang berbauk politis.Jarimah politik adalah jarimah yang dilakukan dengan maksud politis dan biasanya di lakukan di lakukan orang-orang yang memiliki tujuan politik untuk melawan pemerintahan yang sah pada waktu situasi yang tidak normal seperti, pemberontakan senjata, mengacaukan perekonomian dengan maksud politis. Sedangakan yang tidak bermuatan politis di sebut jarimah biasa seperti,mencuri,membunuh,menganiaya dan lain sebagainya.

5. Dilihat dari bobot hukum

Para ulama membagi masalah jinayah menjadi tiga bagian,hal ini di dasarkan tehadap bobot hukuman yang di kenakan terhadap pelaku jarimah.Sedangangkan hukum itu sendiri didasarkan atas Al-Qur’an dan AS-Sunnah.

a. Jarimah Hudud

Suatu jarimah yang bentuknya telah ditentukan syara sehing terbatas jumlahnya,selain ditentukan bentuk jumlahnya juga di tentukakan hukumannya secara jelas,baik secara Al-Qur’an maupun AS-Sunnah.Lebih dari itu jarimah ini termasuk dalam jarimah hak Tuhan. Jarimah yang menjadi hak Tuhan pada prinsipnya untuk memelihara kepentingan,ketentraman di dalam bermasyarakat.

Hukuman jarimah ini sangat jelas di perutukan bagi setiap jarimah,karena hanya ada satu hukuman untuk setiap jarimah. Tidak ada pilihan hukuman bagi jarimah ini dan tentu saja tidak memiliki batas tertinggi maupun terendah seperti layaknya hukuman lain.

Karena beratnya sanksi yang di terima pelaku kalau memang ia bersalah melakukan jarimah ini,maka penetapan asas legalitas bagi pelaku jarimah harus berhati-hati karena,sanksi jarimah hudud menyangkut hilangnya nyawa atau hilangnya anggota badan si pembuatan jarimah.Dengan demikian kesalahan dalam menentukan vonis sangat bedampak buruk bagi pelaku jarimah di masa yang akan datang.

Oleh karna itu para ula membuat kaidah yang termasuk ke dalam kelompok hudud yaitu:”apabila terjadi keraguan,ketidakyakian maka hindarilah penjatuhan hudud tersebut”. Adapun yang termasuk dalam kelompok hudud menurut para ulama yaitu perzinahan,minum-minuma kerasas,pencurian dan lain sebaginya. Hal ini di jelaskan dalam surat maryam ayat 18 yaitu :

 يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا 

Yang artinya” Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.-Dalam surat yang lain juga di jelaskan,surat An-nisa ayat 24 yaitu :

 وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا 

Yang artinya:”dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

b. Jarimah Qishash/diyat

Seperti halnya jarimah hudud,jarimah qishash pun telah di tentukan jenis maupun besar hukumannya, jadi jarimah ini terbatas jumlah dan hukuman tidak mengenal batas tertinggi atau terendah karena hukuman untuk jarimah ini hanay satu untuk setiap jarimah.

Satu-satunya perbedaan jarimah hudud dengan qishash ialah jarimah ini menjadi hak perseorangan yang menyebabkan ada nya pemaafan terhadap pelaku jarimah oleh orang yang menjadi korban,wali atau ahli waris. Jadi dalam kasus jarimah qishash korban atau ahli waris dapat memaafkan si pembuatan jarimah dengan meniadakan hukum qishash.di jelaskan dalam surat Al-isra ayat 33 yaitu :

 وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا 

Yang artinya”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.

Dalam surat Al- baqarah ayat 179 juga di jelaskan :

 وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 

yang artinya”Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.(qishash).

Kekuasan hakim pada halnya jarimah hudud terbatas pada penjatuhan hukuman apabila perbuatan yang di tuduhkan itu dapat di buktikan. Hukuman qishash ini di jatuhkan hakim selama korban tidak mau memberi maaf kepada pelaku jarimah,qishash di tujukan agar pembuatan jarimah di jatuhi hukuman yang setimpal sebagi balasan atas perbuatannya itu. Jadi qishash di pandang lebih menjamin dari pada jenis hukuman lainnya,seseorang akar berpikir dua kali untuk melakukan membunuh karna pelaku jarimah akan mendapatkan hukuman setimpal dengan apa yang ia buat.

Jarimah yang termasuk kedalam qishas/diyat terdiri atas lima macam,dua dalam kelompok jarimah qishash yaitu pembunuhan sengaja dan penganiayaan di sengaja.Adapun tiga jarimah dalam kelompok diyat yaitu,pembunuhan tidak di sengaja,pembunuhan semisengaja dan penganiayaan tidak di sengaja. Di samping itu diyat merupakat hukuman qishash yang di maafkan.

Kesalah-kesalah hukuman bagi jarimah ini seperti halnya,pada jarimah hudud dapat berakibat fatal atau sekurang-kurang nya hilang salah satu anggota badan orang lain,walaupun si korban tidak mau memaafkan pelaku jarimah kehati-hatian penegak hakim sangat berperan penting agar tegaknya hukuman tersebut.

c. Jarimah Ta’zir

Arti katanaya ia lah at-ta’dib yaitu memberi pengajaran. Dalam fiqih jinayah ta’zir merupakan suatu bentuk jarimah,yang macam jarimah serta sanksi di tentukan penguasa.Jadi jarimah ini sangat berbeda dengan jarimah hudud dan qishash yang bentuk hukumannya di tentukan oleh syara karna jarimah ini berkaitan dengan perkembangan masyarakat serta kemasalahannya.seperti yang kita ketahui kemaslahatan selalu berubah sesuai perkembangan dari waktu ke waktu,masa ke masa. Oleh karna itu jarimah ini juga di sebut dengan jarimah kemaslahatan umat mengenai hukuman ini syara berperan sebagai penyebut bentuk hukum dari yang tertinggi hingga terendah,tanpa mengharuskan hukuman tertentu dengan jarimah tertentu. Dalam menangani kasus jarimah ini hakim di beri keluasan,bebas melakukan ijtihad untuk menentukan apa hukuman yang baik untuk pelaku jarimah,sesuai dengan tindak jarimah dan kondisi si pelaku.

Jarimah ta’zir yang di tentukan syara antara lain,khianat,suap-menyua dan lain sebagainya.Tetapi dalam penerapan sanksi diserahkan kepda kebijakan hakim,dapat memilih dari yang seberat-beratnya sampai seringgan-ringgannya.

Dari penjelasan tersebut jarimah ta’zir terbagi atas dua bagian yaitu menurut ke tentuan syara dan penguasa,ta’zir syara di tentukan oleh syara dan bersifat abadi dan mutlak adanaya,sedangan ta’zir penguasa bersifat sementara dan tergantung pada keadaan dan dapat di katakan jarimah kalau di perlukan.

Dalam penerapannya jarimah ini bersifat longar berbeda dengan jarimah hudud dan qishahs yang sangat ketat.Bisa saja jarimah yang sama mendapat hukuman yang berbeda karna sifat jarimah ta’zir yang elastis longgar.

Pemberian kekuasaan dalam penerapan jarimah ta’zir kepada hakim tidak serta merta dapat di lakukan sesuai kehendaknya sendiri karna,pada dasarnya semua jarimah telah memiliki aturan.Sedangkan pemberian kekuasaan kepada hakim sebagai cerminan isi hukum itu sendiri untuk umat manusia. 

 

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara bahasa kata jinaayaat adalah bentuk jama’ dari kata jinaayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak.

Jinayah terdiri atas dua macam, yaitu jinayah terhadap jiwa dan jinayah terhadap badan,Sebab-sebab jinayah yaitu; membunuh, meminum khamar, berzina, qadzaf, mencuri, muharobah dan lain-lain.

B. Saran

Karena keterbatasan pengetahuan kami, hingga hanya inilah yang dapat kami sajikan, dan tentu saja masih sangat kurang dari sisi materinya, maka itu kami mengharapkan masukan baik itu kritik maupun saran dari pembaca demi melengkapi kekurangan tersebut.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Saleh, Hasan, 2008. Fiqh Kontemporer, Cetakan; 1, Jakarta : Rajawali Pers.
  • Sabiq, Sayyid,2005. FIQIH SUNNAH, Cetakan; 1, Jakarta : Pena Pundi Aksara.
  • Djazuli, 2010. ILMU FIQH Pengalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Cetakan; 7, Jakarta : Kencana.
  • Diib, Musthafa Al-Bugha, 2009. Fiqih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Mazhab Syafi’i.(Cetakan; 1, Solo : Media Zikir.
  • Prof. H. A. Djazuli, 2010. ILMU FIQH PENGALIAN, PERKEMBANGAN, DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM. Cetakan; 7, Jakarta : Kencana.
  • Syarifuddin, Amir, 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Cetakan; 1, Bogor : Kencana