Pernikahan Menurut Adat
Perkataan hukum adat adalah istilah untuk menunjukkan hukum yang tidak dikodifikasi dikalangan bangsa Indonesia dan Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan sebagainya). hukum adat dan hukum negara tidak terpisah oleh garis hitam. Kedua jenis itu, adat dan hukum adat, bergandengan tangan dan tak dapat dipisah-pisahkan.
Selain dari pengertian di atas, ada pula beberapa jenis pada hukum adat adalah sebagai berikut :
- Hukum adat mengandung sifat yang sangat tradisionil. Di mata rmasyarakat Indonesia hukum berpangkal pada ktingkah laku atau tradisi nenek-moyang.
- Hukum adat dapat berubah. Perubahan dilakukan bukan dengan meng- hapuskan dan mengganti peraturan-peraturan itu dengan yang lain secara tiba-tiba, karena tindakan demikian itu akan bertentangan dengan sifat adat istiadat yang luhur. Akan tetapi perubahan terjadi oleh pengaruh kejadian-kejadian hidup yang bersilih ganti.
Perkawinan merupakan urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi. Hal ini berarti bahwa perihal perkawinan merupakan urusan yang memiliki ikatan atau hubungan dengan masyarakat, martabat serta urusan pribadi, bukan hanya sebatas urusan antar pribadi yang saling mengikatkan diri dalam hubungan yang sah yaitu perkawinan.
Perkawinan dalam arti perikatan adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku bagi masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasan sanak” (hubungan anak anak, bujang-muli) dan “rasan tuha” (hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami, istri). Dengan demikian, menurut hukum adat perkawinan bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata-susunan masyarakat yang bersangkutan.
Proses pelaksanaan perkawinan harus sesuai dengan rukun dan syarat yang telah diatur menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Akan tetapi dalam hukum adat terdapat asas-asas atau prinsip-prinsip dalam perkawinan yang merupakan hukum dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.
Adapun asas perkawinan adat yaitu :
- Tujuan perkawinan. Tujuan perkawinan menurut hukum adat bukan hanya sekedar pemenuhan nafsu biologis tetapi perkawanian mempunyai tujuan yang penting yakni memlihara gen manusia. Pernikahan sebagai sarana untuk memelihara keberlangsungan gen manusia, alat reproduksi dan regenerasi dari masa ke masa, dengan perkawinan inilah manusia akan dapat memakmurkan hidup dan melaksanakan tugas sebagai khalifah dari Allah SWT. Oleh karena itu, tujuan perkawinan itu kompleks untuk mempertahankan hukum adat dalam keluarga.
- Sahnya perkawinan. Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Hanya saja meskipun sudah sah menurut agama yang dianut masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat dari masyarakat adat bersangkutan. Hal ini sesuai dengan ketentuan UUD yang memberikan kebebasan untuk melanjutkan keluarga yang sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing serta sesuai dengan ketentuan UUP yang mengaskan bahwa perkawinan dinyatakan sah apabila sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaan. Dengan demikian sahnya perkawinan menurut agama atau kepercayaan tetap menjadi tolok ukur yang utama.
- Persetujuan. Menurut hukum adat, setiap pribadi sudah dewasa tidak bebas menyatakan kehendaknya untuk melakukan perkawinan, tanpa persetujuan orang tua atau kerabatnya. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan UUP yang mengatur bahwa setiap perkawinan yang dilakukan harus berdasarkan atas persetujuan calon mempelai. Di lingkungan masyarakat adat perkawinan yang akan dilangsungkan dapat terjadi berdasarkan peminangan dan persetujuan orang tua/wali/kerabat kedua pihak (Kerinci, Duduk Taganai). Dengan demikian, dalam pelaksanaan perkawinan menurut hukum adat harus mendapatkan persetujuan dari orangtua serta keluarga besar. Karena pada dasarnya perkawinan bukan hanya perikatan antara laki-laki dan perempuan melainkan perikatan dua keluarga.
- Batas Usia. Hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas usia untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini berarti hukum adat membolehkan perkawinan semua umur. Akan tetapi, hal tersebut tidak menutup kemungkinan menimbulkan perbedaan antara masyarakat adat patrilinial, matrilinial, dan parental. Hal tersebut terjadi dikarenakan laki-laki dan perempuan yang memiliki status sebagai seorang anak tidak memiliki wewenang untuk menentukan jodoh atau pendamping hidupnya. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan hukum adat bahwa batas usia bukanlah menjadi asas mutlak sebagai syarat melangsungkan perkawinan. Adapun yang menjadi tolok ukur melangsungkan perkawinan adalah baligh secara biologis. Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang aneh apabila zaman dahulu banyak masyarakat adat yang menikah ada usia yang terbilang sangat dini. Hal tersebut berbeda dengan ketentuan UUP yang menentukan batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan yaitu bagi pria yang telah mencapai usia 19 tahun dan wanita berusia 16 tahun.
- Perjanjian Perkawinan. Perjanjian yang dilakukan sebelum atau pada waktu perkawinan berlaku dalam hukum adat, bukan saja antara kedua calon mempelai tetapi juga termasuk keluarga/kerabat mereka. Hal ini menegaskan bahwa dalam hukum adat terdapat kebebasan kepada siapa pun untuk melakukan perjanjian dalam perkawinan. Pada umumnya, perjanjian yang dibuat dalam hukum adat merupakan perjanjian lisan atau tidak tertulis, tetapi diumumkan di hadapan para anggota kerabat tetangga yang hadir dalam upacara perkawinan.Dengan demikian perjanjian dalam hukum adat dibuat berdasarkan asas kepercayaan.
Uang Adat dalam Perkawinan
Salah satu hukum adat adalah menganai adat pernikahan. Di Indonesia pernikahan tergolong unik karena setiap suku memiliki adat yang berbeda. Dalam upacara adat pernikahan ada istilah uang adat. Uang adat pernikahan adalah sebuah pemberian dari pihak laki-laki ke ninik mamak pihak perempuan yang telah ditetapkan harga dan nominal uangnya. Setiap suku dalam suatu daerah mempunyai nominal dan nilai uang adat yang berbeda. Uang adat ini dilambang sebagai bentuk tanggung jawab pihak laki-laki menerima anak perempuan dari pihak perempuan. Uang adat juga biasa disebut sebagai jaminan menikah atau bentuk tanggung jawab pihak laki-laki (tanda sah ingin menikah) dengan perempuan itu.
Pada dasarnya uang adat nikah ini merupakan tradisi masyarakat yang telah dibangun sejak zaman dahulu oleh Nenek Moyang masyarakat setempat. Seperti yang berlaku di Desa Air Panas Sungai Abu Kecamatan Air Hangat Timur Kabupaten Kerinci ini. Masyarakat mengartikan sebagai suatu pemberian yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan pada saat sebelum terjadinya akad nikah atau pernikahan.
Uang adat nikah atau sering disebut Seserahan, tukon (suku Jawa),Uang antaran/belanja (suku Melayu), jujuran (suku Banjar), Mappendre duii / duii balanca (suku Bugis) merupakan simbol persembahan seorang lelaki kepada wanita yang ingin dinikahinya. Besarnya pun beragam, beberapa sesuai ketetapan dari tokoh adat pihak perempuan. Tradisi Uang adat pernikah ini menjadi sebuah keharusan bagi seorang mempelai pria, yang telah ditetapkan oleh tokoh adat pihak perempuan. Sehingga dengan adanya tradisi tersebut, mempelai pria harus berusaha memenuhi uang adat pernikahan, walaupun mempelai pria berasal dari keluarga tidak mampu akan tetapi sanak saudara dari mempelai pria akan tetap membantu menyumbang demi berlangsungnya pernikahan antara mempelai pria dan wanita.
Tidak banyak dari para mempelai pria yang dengan mudahnya melangsungkan pernikahan ini, ada sebagian dari mereka yang harus bekerja terlebih dahulu untuk mengumpulkan uang, sehingga pernikahannya ditunda beberapa tahun sampai dia mampu mengumpulkan uang tersebut.
Perkawinan ialah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat. Perkawinan itu bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai masyarakat yang bersangkutan (perempuan dan laki), akan tetapi juga orang tuanya, saudara-saudaranya dan keluarga-keluarganya. Seringkali didengar dalam masyarakat kita bahwa yang kawin sesungguhnya keluarga dengan keluarga. Lihatlah bagaimana banyaknya aturan-aturan yang harus dijalankan, aturan berhubungan dengan adat istiadat yang mengandung sifat religio-magis.
Pada umumnya di Indonesia suatu perkawinan didahului dengan lamaran. Akibatnya lamaran ini pada umumnya bukan perkawinan, akan tetapi pertunangan dahulu. Pertunangan baru terikat apabila (seringkali) dari pihak laki-laki sudah diberikan Tanda jadi (Tando-Cihai).
Perkawinan pada masyarakat Bundo kanduang merupakan perkawinan yang didasarkan atas pertalian darah menurut garis ibu. Oleh karena itu perkawinan dalam sistem ini akan mengakibatkan si suami tersebut akan menjadi warga masyarakat dari pihak istrinya. Corak utama dari perkawinan pada sistem kekeluargaan Bundo Kandung ini adalah disertai dengan pembayaran tanda jadi perkawinan.
Maksud dari pembayaran tanda jadi oleh pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan ataupun sebaliknya, merupakan pertanda bahwa hubungan kekeluargaan si istri dengan orang tuanya, saudara-saudaranya bahkan masyarakatnya telah diputuskan. Sebagai konsekuensi dari keadaan itu, maka anak-anak yang akan lahir dari perkawinan itu akan menarik garis keturunan pihak Ibunya dan akan menjadi anggota dari masyarakat hukum adat di mana ibunya juga menjadi anggotanya.
Adat Dalam Hukum Islam
Syarak (syariah) dan adat (tradisi) menjadi dua hal yang saling menemukan bentuk dalam dinamika kehidupan masyarakat. Saat kehidupan diatur dengan undang-undang sosial sebagai falsafah tertinggi yang mengatur masyarakat. Ini untuk mengakomodasi diterimanya Islam sebagai pegangan hidup. Sistem yang saling mengukuhkan didirikan atas adat-istiadat, sistem hukum, pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan dan syarak (syariat Islam).
Keempat sistem di atas saling terkait dan tak bisa dilepaskan dalam kehidupan masyarakat yang kental dengan adat. Maka, fragmen sejarah ini kemudian menjadi karakter penting bagi masyarakat. Dalam pandangan tokoh adat dan ulama bahwa ada dua sifat yang senantiasa menjadi saling berkaitan. Bukan bertentangan, tetapi saling melengkapi. Di satu sisi, selalu terbuka terhadap perkembangan dan kemajuan yang ada sekarang dan yang akan datang. Pada saat yang sama, di sisi lain bersemayam kesadaran akan masa lampau untuk selalu menjaga tradisi dan pesan orang tua.
Posisi adat dalam keberagamaan masyarakat memiliki posisi yang khas. Pergulatan pemikiran Islam Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari aspek adat sebagai bagian penting. Sementara pola perjumpaan adat dan Islam menemukan bentuk dalam beberapa gambaran seperti di Minangkabau yang mengalami konflik antara keinginan untuk mempertahankan adat dengan penerimaan Islam sebagai agama dan jalan hidup.
Adapun dalam tradisi Aceh adat berjalan paralel dengan praktik beragama. Ini menunjukkan adanya proses transformasi agama ke dalam adat dengan respon yang berbeda-beda. Pertemuan keduanya berlangsung secara dinamis sehingga bisa mendapatkan tempat dalam kelangsungan budaya. Kelangsungan adat dan agama dalam menemukan persentuhan sehingga terjalin relasi yang sama. Sekaligus menjadi konsepsi hidup yang tetap relevan sampai hari ini.
Masuknya Islam dengan membawa ajaran “baru” bagi kebudayaan di Indonesi kemudian mempengaruhi tradisi yang sudah ada. Namun berubahnya budaya yang sudah ada merupakan penyesuaian atas pandangan atas pengakuan kebenaran agama yang diterima. Maka, budaya masyarakat kemudian hadir dalam bentuk nilai dan standar yang baru pula sesuai dengan hasil pertemuan dua budaya. Keselarasan dan sinkronisasi yang terjadi karena antara agama Islam dan budaya masyarakat dapat digandengkan dengan terbukanya pertimbangan para pelakunya.
Walaupun wujud diferensiasi, tetapi ada identitas kolektif yang bermakna kemudian digunakan untuk memaknai tradisi masa lalu dengan kehadiran Islam sebagai agama yang baru diterima. Temuan menunjukkan adanya kritik yang tidak menempatkan tradisi sebagai bagian beragama. Padahal dalam pembentukan nilai selalu saja masa lalu masih memiliki posisi yang khas dalam setiap kebaruan yang muncul.
Bertolak dari masyarakat Kerinci secara umumnya, adat dan agama adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Agama dan adat merupakan sendi kehidupan masyarakat Kerinci. Semboyan yang tepat tentang hal ini adalah Adat bersandi syarak, syarak bersandikan Kitabullah.