Tujuan dan Hikmah Pernikahan

Pengertian Pernikahan

Kata pernikahan (perkawinan) berasal dari bahasa Arab “al-jam’u” dan “al-dhamu” yang berarti “Pengumpulan”. Pernikahan dalam bahasa arab disebut al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammuwa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u atau ‘ibarat’an al-wath’wa al’aqd yang bernakna bersetubuh, berkumpul dan akad.

Pernikahan adalah sendi keluarga, sedangkan keluarga adalah sendi di masyarakat, bangsa dan umat manusia. Nikah adalah akad yang menghalalkan pasangan suami istri untuk saling menikmati satu sama lainnya.

Menurut Hukum Islam Pernikahan adalah suatu akad antara seorang mempelai pria dengan mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan syara’ untuk menghalalkan percampuran antara keduannya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 dikatakan pernikahan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pernikahan disebut juga dengan perkawinan, yakni akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dan perempuan dan menghalalkannya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab 2 pasal 2 menjelaskan bahwa “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqan Ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Tanpa perkawinan manusia tidak dapat melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan manusia disebabkan oleh adanya perkawinan. Akan tetapi, jika perkawinan manusia tidak didasarkan pada hukum Allah, sejarah dan peradaban manusia akan hancur oleh bentuk-bentuk perzinaan sehingga manusia tidak ada bedanya dengan binatang yang tidak berakal dan hanya mementingkan hawa nafsunya.

Dalam kata kawin terkesan seolah-olah perkawinan hanya melulu mencerminkan hubungan biologis (seksual) yakni hubungan kelamin yang lazim dikenal dengan persetubuhan antara seorang pria (suami) dengan wanita (istri).

Sedangkan dalam kata nikah, tidak semata-mata tercermin konotasi makna biologis dari pernikahan itu sendiri, tetapi juga sekaligus tersirat dengan jelas hubungan psikis kejiwaan (kerohanian) dan tingkah laku pasangan suami istri di balik hubungan biologis itu. Dalam kata nikah, hubungan suami istri dan bahkan kemudian hubungan orang tua dengan anak, akan mencerminkan hubungan kemanusiaan yang lebih terhormat, sejajar dengan martabat manusia itu sendiri.

Pernikahan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya pernikahan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama atau tata kehidupan masyarakat. Karena dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling berhubungan agar dapat keturunan sebagai penerus generasi.

Dalam pandangan masyarakat tertentu, perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang demikian suci dan karenanya banyak yang menghormati pernikahan itu sendiri. Islam telah menetapkan tata aturan pernikahan berikut hal-hal yang terkait dengannya sedemikian rupa, dan lebih dari itu, agama Islam telah meletakkan dasar-dasar pergaulan hidup dan hubungan suatu keluarga yang terbentuk akibat dari pernikahan itu sendiri.

Perkawinan akan semakin menjadi jelas dan sangat penting eksistensinya ketika dilihat dari aspek hukum, termasuk di dalamnya hukum Islam. Dari segi hukum, perkawinan dipandang sebagai suatu perbuatan (peristiwa) hukum (rechtfeit) yakni: “perbuatan dan tingkah laku subjek hukum yang membawa akibat hukum, karena hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi subjek hukum atau karena subjek hukum itu terkait oleh kekuatan hukum”.

Bahwa perkawinan merupakan perbuatan (peristiwa) hukum, antara lain dapat dilihat dari kenyataan bahwa nikah itu adalah suatu akad (perjanjian) dang mengharuskan ada ijab kabul antara dua pihak (mempelai laki-laki dan mempelai perempuan) yang melangsungkan pernikahan.

Dasar Hukum Pernikahan

Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut.

Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Allah, baik pada manusia hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Semua yang diciptakan oleh Allah adalah berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan, sebagaimana berlaku pada makhluk yang paling sempurna, yakni manusia.

Sebagai mana dijelaskan dalam surat Adl-Dzariyat ayat 49 :

وَمِن كُلِّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَا زَوۡجَيۡنِ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٤٩

Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S Al-Dzariyat: 49).

Allah menjadikan makhluknya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan betina, begitu pula tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya.

سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡأَزۡوَٰجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلۡأَرۡضُ وَمِنۡ أَنفُسِهِمۡ وَمِمَّا لَا يَعۡلَمُونَ ٣٦

Artinya: Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Q.S Yasiin: 36).

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Q.S Ar-Rum :21).

وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ …..

Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempua.....(Q.S An-Nur: 32).

Hadis utama sebagai dasar pernikahan adalah sabda Nabi saw :

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata “ (suatu ketika) Rasulullah SAW. Pernah menyeru kami: “Hai para pemuda! Siapa saja diantara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih memejamkan pandangan (mata) dan lebih (dapat) memelihara kemaluan, dan barang siapa yang belum (tidak) mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu adalah obat (pengekang) baginya” (H.R Muttafaq’alaih).

Sabda Rasulullah saw :

تنا كحوا فاني مكا ثر بكم الامم

Artinya: Saling menikahlah kalian, sesungguhnya aku bangga dengan jumlah kalian yang banyak dihadapan umat-umat lain.”

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَمِدَ اَللَّهَ , وَأَثْنَى عَلَيْهِ , وَقَالَ : لَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَّجُ اَلنِّسَاءَ , فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Artinya: Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: “Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku.” (Muttafaq Alaihi).

Penulis juga menjabarkan tentang hukum menikah di antaranya :

1. Wajib

Bagi orang yang sudah siap untuk melangsungkan pernikahan dan dia khawatir manakala tidak menikah, dia terjebak pada perzinaan, maka pernikahan baginya adalah wajib. Sebab, menjaga diri dari sesuatu yang di haramkan hukumnya adalah wajib, sementara untuk mencegah perbuatan tersebut hanya bisa dilakukan dengan jalan menikah, karena itu hukum menikah adalah wajib.

Imam Qurthubi berkata, “ tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama atas kewajiban menikah bagi orang yang mampu dan dia takut jika hidup membujang (tidak menikah), hal itu membahayakan pada dirinya dan agamanya. Tapi, jika dia tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya, Allah SWT. Memberi keluasan kepadanya. Allah SWT. Berfirman :

وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ

Artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.(Q.S An-Nur: 33).

2. Sunnah

Bagi seseorang yang memungkinkan dan mampu untuk melangsungkan pernikahan, tapi dia masih mampu untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan juka tidak menikah, maka nikah baginya hukumnya sunnah. Meskipun demikian, menikah tetap dianjurkan dan mungkin lebih utama dari pada melakukan berbagai macam ibadah.

3. Haram

Bagi seseorang yang dipastikan dia tidak akan mampu memberi nafkah kepada istri (dan keluarganya) baik secara lahir maupun batin, maka menikah baginya hukumnya adalah haram.

...وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ ...

Artinya: ... Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan...(Q.S Al-Baqaroh: 195).

4. Makruh

Seseorang yang tidak bisa memberi nafkah lahir dan batin, tetapi perempuan yang akan dinikahinya mau menerima kondisinya, karena dia tergolong orang yang kaya dan syahwatnya tidak begitu besar, maka menikah baginya hukumnya makruh. Jika dia (suami) tidak mampu memberi nafkah lahir maupun batin karena melakukan ketaatan atau adanya halangan, seperti sedang menuntut ilmu pengetahuan, maka hukum makruh bertambah kuat.

5. Mubah

Hukum menikah menjadi mubah jika faktor-faktor yang mengharuskan maupun menghalangai terlaksananya pernikahan tidak ada pada diri seseorang.

Rukun dan Syarat Pernikahan

Di antara unsur hakiki bagi sebuah perkawinan adalah kerelaan dua belah pihak (mempelai pria dan mempelai wanita) yang hendak melangsungkan akad nikah dan persesuaian kesepakatan antara kesuanya dalam melakukan tali ikatan perkawinan itu.

Rukun dan syarat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam setiap akad (transaksi) apa pun, termasuk untuk tidak mengatakan terutama akad nikah, bedanya rukun berada di dalam sesuatu (akad nikah) itu sendiri, sedangkan syarat berada diluarnya.

Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk sholat, atau adanya calon pengantin laki-laki/ perempuan dalam perkawinan.

Syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat dalam sholat atau menurut Islam calon pengantin laki-laki/ perempuan itu harus beragama Islam.

Rukun perkawinan adalah :
  1. Mempelai laki-laki / calon suami
  2. Mempelai wanita / calon istri
  3. Wali nikah 
  4. Dua orang saksi
  5. Shigat Ijab qabul
Syarat perkawinan adalah :
  • Calon suami, syaratnya :
    1. Bukan mahram dari calon istri
    2. Tidak terpaksa dan atas kemauan sendiri
    3. Orang tertentu/ jelas orangnya
    4. Tidak sedang ihram
  • Calon istri, syaratnya :
    1. Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah
    2. Merdeka, atas kemauan sendiri
    3. Jelas orangnya
    4. Tidak sedang berihram
  • Wali, syaratnya :
    1. Laki-laki
    2. Baligh
    3. Waras akalnya 
    4. Tidak dipaksa 
    5. Adil, dan 
    6. Tidak sedang ihram
  • Saksi, syatarnya :
    1. Laki-laki
    2. Baligh
    3. Waras akalnya 
    4. Adil
    5. Dapat melihat dan mendengar 
    6. Bebas tidak dipaksa 
    7. Tidak sedang mengerjakan ihram, dan
    8. Memahami bahasa yang digunakan untuk ijab kabul.
  • Ijab qabul, syaratnya :
    1. Adanya pernyataan pengawinan dari wali 
    2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
    3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut
    4. Antara ijab dan qabul bersambungan
    5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
    6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah
    7. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.
Tujuan dan Hikmah Pernikahan

1. Tujuan Pernikahan

Tujuan pernikahan menurut agama Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.

Tujuan pernikahan dikembangkan menjadi lima yaitu:

a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ …

Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak...(Q.S Ali Imran:14).

b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.

أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ

Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. (Q.S Al-Baqarah: 187).

c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan

… إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ …

Artinya: ...Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan...(Q.S Yusuf: 53).

c. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggug jawab menerima hak dan kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.

d. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram dan dasar cinta dan kasih sayang.

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Q.S Ar-Rum: 21).

Didalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 dikatakan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

2. Hikmah Pernikahan

Islam menganjurkan umatnya untuk menikah karena terdapat banyak hikmah yang dapat dirasakan oleh yang bersangkutan, masyarakat luas, dan kehidupan manusia. Di antara hikmah pernikahan adalah :
  1. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Di dalamnya terdapat hak dan kewajiban yang sakraldan religius. Seseorang akan merasa adanya tali ikatan suci yang membuat tinggi sifat kemanusiaannya, yaitu, ikatan rohani dan jiwa yang membuat ketinggian derajat manusia dan menjadi mulia dari pada tingkat kebinatangan yang hanya menjalin cinta syahwat antara jantan dan betina. Bahkan hubungan pasangan suami istri sesungguhnya adalah ketenangan jiwa, kasih sayang dan memandang.
  2. Pernikahan merupakan sarana terbaik untuk mendapatkan keturunan, menjaga keberlangsungan hidup dan dapat menghindari terputusnya nasab yang mendapatkan perhatian tersendiri dalam Islam.
  3. Naluri kebapakan dan keibuan akan terus berkembang dan semakin sempurna setelah lahirnya seorang anak. Kemudian rasa kasih sayang akan semakin nampak, yang itu semua akan menyempurnkan sifat kemanusiaan seorang manusia.
  4. Tanggung jawab untuk menafkahi keluarga dan mengayomi anak-anak dapat menumbuhkan semangat untuk bekerja dan menampakkan kreatifitasnya.semua itu dilakukan sebagai rasa tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
  5. Pembagian tugas kerja, baik yang didalam (istri) maupun yang diluar (suami) dengan tetap mengacu pada tanggung jawab bersama antara suami istri.
  6. Pernikahan dapat menyatukan kekeluargaan, menumbuhkan jalinan kasih sayang diantara dua keluarga, serta memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat yang senantiasa dianjurkan dalam syari’at Islam.
  7. Pernikahan dapat mengatur hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan berdasarkan prinsip pertukaran hak dan bekerja sama yang produktif dalam suasana yang penuh cinta kasih serta perasaan saling menghormati satu sama lainnya.
  8. Menikah dapat melestarikan manusia dengan perkembangbiakan manusia yang dihasilkan melalui nikah.
  9. Pernikahan dapat memperpanjang usia.
Batas Umur Perkawinan

Perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, ternyata batas umur yang rendah bagi wanita untuk menikah dapat mengakibatkan laju kelahiran yang tinggi. Sebagaimana Allah mengisyaratkan dalam Al-Qur’an:

وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا ٩

Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Q.S an-Nissa’ ayat: 9).

Masalah kematangan fisik dan jiwa seseorang dalam konsep Islam, tampaknya lebih ditonjolkan pada aspek yang pertama yaitu fisik. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam pembebanan hukum taklif yang disebut dengan mukallaf (dianggap mampu menanggung beban hukum). Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda:

رفع القلم عن ثلا ث عن النا ئم حتى يستيقظ و عن المجنون حتى يفيق وعن الصبى حتى يحتلم ( رواه الابعة)

Artinya: Ali.ra meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda: terangkat pertanggung jawaban seseorang dari tiga hal yaitu anak kecil sampai ia bermimpi, orang tidur sampai ia terbangun, dan orang gila sampai ia tersadar.(HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi).

Menurut isyarat hadis tersebut, kematangan seseorang dilihat pada gejala kematangan seksualitasnya, yaitu air mani atau sperma bagi laki-laki dan menstruasi (haid) bagi perempuan. Dari segi umur kematangan masing-masing orang berbeda saat datangnya. Hal ini disebabkan oleh karena berbedanya dalam memahami nash Al-Qur’an :

وَإِذَا بَلَغَ ٱلۡأَطۡفَٰلُ مِنكُمُ ٱلۡحُلُمَ فَلۡيَسۡتَ‍ٔۡذِنُواْ كَمَا ٱسۡتَ‍ٔۡذَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٥٩

Artinya: Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S An-Nuur ayat: 59)

Pernikahan Dini

Perkawinan dibawah umur (pernikahan dini) adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu calon mempelai atau keduanya belum memenuhi syarat umur yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, sebagai mana kententuan yang ditegaskan pada pasal 7 ayat 1, “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun“.

Anak di bawah umur, yaitu anak yang belum mumayyiz atau anak yang belum bisa dibebani tanggung jawab, karena kurang cakapnya dalam bertindak. Adapun patokan dalam bertindak yaitu akal. Apabila akal seseorang masih kurang maka ia belum bisa dibebani kewajiban. Sebaliknya jika akalnya telah sempurna ia wajib menunaikan beban tugas yang dipikulkan kepadanya.

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat 1 : “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan pada pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”.

Undang-undang Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan usia ideal untuk menikah yaitu diusia 21 tahun, sedangkan pernikahan yang terjadi pada usia 16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk laki–laki menurut Undang-undang perlindungan Anak No 23 tahun 2002, pernikahan tersebut termasuk pada golongan pernikahan dini.

Pasal 26 UU R.I Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, orang tua diwajibkan melindungi anak dari pernikahan dini, tetapi pasal ini, sebagaimana UU Pernikahan, tanpa ketentuan sanksi pidana sehingga ketentuan tersebut nyaris tak ada artinya dalam melindungi anak-anak dari ancaman pernikahan dini.

Faktor Pendorong terjadinya Pernikahan Dini

Faktor adalah suatu hal yang ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya sesuatu. Sehubungan dengan pernikahan dini, faktor penyebab terjadinya pernikahan dini adalah diantaranya :
  1. Faktor Ekonomi. Beban ekonomi pada keluarga sering kali mendorong orang tua untuk cepat-cepat menikahkan anaknya dengan harapan beban ekonomi keluarga yang akan berkurang, karena anak perempuan yang sudah menikah menjadi tanggung jawab suaminya.
  2. Faktor Pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan untuk menikahkan anaknya yang masih dibawah umur dan tidak disertai dengan pemikiran yang panjang tentang akibat dan dampak yang akan dihadapi.
  3. Faktor Orang Tua. Pendidikan orang tua yang rendah sehingga pola pikir orang tua bersifat pasrah dan menerima. Maka orang tua kurang memahami adanya UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menjelaskan tentang perkawinan.
  4. Faktor Pergaulan. Pergaulan juga merupakan faktor terbesar terjadinya pernikahan dini, karena pergaulan merupakan jalinan hubungan sosial antara seseorang dengan seorang yang lain yang berlangsung dalam jangka relatif lama sehingga terjadi saling mempengaruhi satu dengan lainnya.
  5. Faktor Media Massa. Banyak anak yang melakukan pernikahan pada usia dini adalah atas kehendaknya sendiri tanpa ada campur tangan dan dorongan dari orang tua, itu disebabkan karena pengaruh lingkungan yang sangat rendah dengan kejiwaan anak, sehingga anak tidak mampu untuk menghindarinya.
Dampak Pernikahan Dini

Dampak adalah pengaruh yang kuat yang mendatangkan akibat baik positif maupun negatif dari sesuatu hal atau kejadian. Ikatan suami istri dengan sendirinya membawa konsekuensi timbulnya hak dan kewajiban antara mereka, baik itu hubungan dengan mereka sendiri terhadap anak-anaknya yang akan dilahirkannya, serta hubungan mereka dengan masing-masing keluarganya.

Berbagai dampak dari pernikahan dini atau pernikahan dibawah umur diantaranya :
  • Dampak Positif
    1. Mengurangi beban ekonomi orang tua karena dengan menikahkan anaknya maka semua kebutuhan anak akan ditanggung oleh suaminya.
    2. Mencegah terjadinya perzinaan di kalangan remaja, karena dengan menikahkan anak maka anak terhindar perbuatan yang tidak baik, seperti melakukan hubungan suami istri sebelum menikah dapat dicegah, secara tidak langsung juga mencegah terjadinya hamil diluar nikah dikalangan remaja.
  • Dampak Negatif 
    • Dampak Terhadap Kesehatan. Pernikahan yang terlalu muda juga bias menyebabkan neuritis depresi karena mengalami proses kekecewaan yang berlarut-larut dank arena ada perasaan tertekan yang berlebihan. pada perkawinan usia dini rentan terjadi dominasi pleh pasangan yang lebih tua. Sehingga kemungkinan pasangan yang lebih muda tidak berani untuk meminta hubungan seks dengan alat pengendali kehamilan agar tidak hamil di usia muda, padahal hubungan seksual yang dilakukan diusia dini, secara terpaksa dan tanpa pengetahuan dasar kesehatan reproduksi akan memicu kemungkinan kerusakan organ intim. Gangguan mental dan kesehatan ibu hamil ternyata berdampak juga pada anak yang baru lahir. Misalnya rawan terjadi gangguan mental serta beresiko mendapatkan berbagai masalah kesehatan, emosional dan sosial jika dibandingkan dengan mereka yang lahir dari pernikahan di usia matang.
    • Dampak Terhadap Ekonomi. Kematangan sosial ekonomi dalam diperkawinan sangat diperlukan karena merupakan penyangga dalam memutarkan roda keluarga sebagai akibat perkawinan. Pada umumnya umur yang masih muda belum mempunyai pegangan dalam hal sosial ekonomi.
    • Dampak Terhadap Psikologis. Perkawinan yang masih muda juga banyak mengundang masalah yang tidak diharapkan dikarenakan segi psikologinya belum matang khususnya bagi perempuan. Dari segi psikologis remaja masih sangat hijau dan kurang mampu mengendalikan bahtera rumah tangga di samudra kehidupan. Dalam kehidupan berumah tangga pasti tidak luput dengan permasalahan-permasalahan. Salah satu penyebab utama adalah pasangan yang belum dewasa. Faktor kedewasaan ini lebih nyata terdapat pada pasangan pernikahan usia remaja. Perkawinan yang masih terlalu muda banyak mengundang masalah yang tidak diharapkan karena segi psikologisnya belum matang seperti cemas dan stres.
    • Dampak Hukum. Adanya pelanggaran terhadap Undang-unadang, antara lain :
      1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 7 ayat 1 berbunyi “ perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun”. Dan pasal 6 ayat 2 yang berbunyi “untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua” 
      2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Undang-undang tersebut bertujuan melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan.
SUMBER :
  • Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta: Rajawali Pers,2010) Cet ke-2
  • Amiur Naruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,2004) Cet ke-1
  • Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,2006) Cet.ke-1
  • Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam dan Undang-Undang, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), Cet. ke-1
  • Undang-Undang Perkawinan ( Semarang: Aneka Ilmu,1990 ) Cet-1
  • Kompilasi Hukum Islam di Indonesia( Jakarta, Departemen Agama R.I, 2000)
  • Muhammad amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005)
  • Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara 1999) Cet ke-2
  • Syaikh Abu Malik Kamal, Fiqh Sunnah Lin Nisaa’, (Depok: Pustaka Khazanah Fawa’id, 2016) Cet Ke-1
  • Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, (Jakarta: Gema Insani, 2013)
  • Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) Cet Ke-1
  • Kahar Masyhur, Bulugul Mahram, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992)Cet-1
  • Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3 ( Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011)
  • Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana,2008), Cet ke-3
  • Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia,1999)
  • Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1995)
  • Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Khitbah,Nikah, dan Talak, (Jakarta: AMZAH, 2015)
  • http:/ / www.compasiana.com/ faktor-dan-dampak-pernikahan-dini
  • http:/ / www.lifestyle.compas.com/read/ini-akibat-yang-terjadi-dari-pernikahan-dini

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »


EmoticonEmoticon