Pengertian Sistem Bagi Hasil

Pengertian Sistem Bagi Hasil

Bagi hasil adalah pembagian atas hasil usaha yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian yaitu pihak nasabah dan pihak bank syari’ah. Dalam hal terdapat dua pihak yang melakukan perjanjian usaha, maka hasil atas usaha yang dilakukan oleh kedua pihak atau salah satu pihak, akan dibagi sesuai dengan porsi masing-masing pihak yang melakukan akad perjanjian. Pembagian hasil usaha dalam perbankan syari’ah ditetapkan dengan menggunakan nisbah. Dalam bank syari’ah nisbah bagi hasil merupakan kesepakatan porsi bagi hasil yang akan diperoleh pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola dana (mudharib) yang tertuang dalam akad perjanjian yang telah ditandatangani pada awal dilakukan akad kerja sama. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 282

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ...”

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Ma’idah: 1

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ...”

Prinsip Bagi Hasil Menurut Syari’ah

Secara umum, prinsip bagi hasil dalam perbankan syari’ah dapat dilakukan dalam empat akad utama yaitu musyarakah, mudharabah, muzara’ah dan musaqah. Untuk jelasnya keempat akad itu dapat dilihat berikut ini:
  1. Musyarakah. Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Pada dasarnya musyarakah dibagi menjadi dua macam yaitu:
    1. Musyarakah Pemilikan. Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
    2. Musyarakah Akad. Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk hal-hal berikut, antara lain: 
      1. Pembiayaan Proyek. Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
      2. Modal Ventura. Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
  2. Mudharabah. Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua macam yaitu:
    1. Mudharabah Muthlaqah. Ketentuan prinsip mudharabah muthlaqah ialah shahibul maal tidak dapat memberikan batasan-batasan terhadap dana yang diinvestasikan. Dengan demikian mudharib diberi kewenangan penuh untuk mengelola dana tanpa keterikatan waktu, tempat, bentuk usaha dan jenis pelayanan.
    2. Mudharabah Muqayyadah. Pada akad mudharabah muqayyadah, shahibul maal memberikan batasan terhadap dana yang diinvestasikannya. Mudharib hanya bisa mengelola dana sesuai dengan permintaan atau persyaratan pemilik modal yang dapat berupa jenis usaha, tempat dan waktu tertentu saja.
  3. Muzara’ah. Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen. Muzara’ah sering kali diidentikkan dengan mukhabarah. Di antara keduanya ada sedikit perbedaan sebagai berikut: Muzara’ah: benih dari pemilik lahan. Mukhabarah: benih dari penggarap.
  4. Musaqah. Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah di mana penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Konsep bagi hasil berlandaskan pada beberapa prinsip dasar. Selama prinsip-prinsip dasar ini dipenuhi, detail dari aplikasinya akan bervariasi dari waktu ke waktu. Ciri utama pola bagi hasil adalah bahwa keuntungan dan kerugian ditanggung bersama baik oleh pemilik dana maupun pengusaha. Beberapa prinsip dasar konsep bagi hasil antara lain:
  1. Bagi hasil tidak berarti meminjamkan uang, tetapi merupakan partisipasi dalam usaha.
  2. Investor atau pemilik dana harus ikut menanggung risiko kerugian usaha sebatas proporsi pembiayaannya.
  3. Para mitra usaha bebas menentukan dengan persetujuan bersama rasio keuntungan untuk masing-masing pihak yang dapat berbeda dari rasio pembiayaan yang disertakan.
  4. Kerugian yang ditanggung oleh masing-masing pihak harus sama dengan proporsi investasi mereka. Penentuan bagi hasil yang berlaku dapat ditentukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
    1. Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
    2. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
    3. Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (an-tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
    4. Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan sekiranya itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
    5. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
Faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil di Bank Syari’ah

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bagi hasil di bank syari’ah adalah sebagai berikut:
  1. Investment Rate. Investment rate merupakan persentase dana yang diinvestasikan kembali oleh bank syari’ah baik ke dalam pembiayaan maupun penyaluran dana lainnya. Kebijakan ini diambil karena adanya ketentuan dari Bank Indonesia, bahwa sejumlah persentase tertentu atas dana yang dihimpun dari masyarakat tidak boleh diinvestasikan, akan tetapi harus ditempatkan dalam giro wajib minimum untuk menjaga likuiditas bank syari’ah. Giro wajib minimum (GWM) merupakan dana yang wajib dicadangkan oleh setiap bank untuk mendukung likuiditas bank. Misalnya, giro wajib minimum sebesar 8%, maka total dana yang dapat diinvestasikan oleh bank syari’ah maksimum sebesar 92%. Hal ini akan mempengaruhi terhadap bagi hasil yang diterima oleh nasabah investor.
  2. Total Dana Investasi. Total dana investasi yang diterima oleh bank syari’ah akan mempengaruhi bagi hasil yang diterima oleh nasabah investor. Total dana yang berasal dari investasi mudharabah dapat dihitung dengan menggunakan saldo minimal bulanan atau saldo harian. Saldo minimal bulanan merupakan saldo minimal yang pernah mengendap dalam satu bulan. Saldo minimal akan digunakan sebagai dasar perhitungan bagi hasil. Saldo harian merupakan saldo rata-rata pengendapan yang dihitung secara harian, kemudian nominal saldo harian digunakan sebagai dasar perhitungan bagi hasil.
  3. Jenis Dana. Investasi mudharabah dalam penghimpunan dana dapat ditawarkan dalam beberapa jenis yaitu tabungan mudharabah, deposito mudharabah dan sertifikat investasi mudharabah antar bank syariah (SIMA). Setiap jenis dana investasi memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga akan berpengaruh pada besarnya bagi hasil.
  4. Nisbah. Nisbah merupakan persentase tertentu yang disebutkan dalam akad kerja sama usaha yang telah disepakati antara bank dan nasabah investor. Karakteristik nisbah akan berbeda-beda dilihat dari beberapa segi antara lain:
    1. Persentase nisbah antar bank syari’ah akan berbeda, hal ini tergantung pada kebijakan masing-masing bank syari’ah.
    2. Persentase nisbah akan berbeda sesuai dengan jenis dana yang dihimpun.
    3. Jangka waktu investasi mudharabah akan berpengaruh pada besarnya persentase nisbah bagi hasil.
  5. Metode Perhitungan Bagi Hasil. Bagi hasil akan berbeda tergantung pada dasar perhitungan bagi hasil, yaitu bagi hasil yang dihitung dengan menggunakan konsep revenue sharing dan bagi hasil dengan menggunakan profit and loss sharing. Bagi hasil yang menggunakan revenue sharing dihitung dari pendapatan kotor sebelum dikurangi dengan biaya. Bagi hasil dengan profit and loss sharing dihitung berdasarkan persentase nisbah dikalikan dengan laba usaha sebelum pajak.
  6. Kebijakan Akuntansi. Kebijakan akuntansi akan berpengaruh pada besarnya bagi hasil. Beberapa kebijakan akuntansi yang akan mempengaruhi bagi hasil antara lain penyusutan. Penyusutan akan berpengaruh pada laba usaha bank. Bila bagi hasil menggunakan metode profit and loss sharing, maka penyusutan akan berpengaruh pada bagi hasil, akan tetapi bila menggunakan revenue sharing, maka penyusutan tidak mempengaruhi bagi hasil.
Metode Perhitungan Bagi Hasil

Ada dua metode yang digunakan dalam perhitungan bagi hasil yaitu sebagai berikut:
  1. Revenue Sharing. Dasar perhitungan bagi hasil yang menggunakan revenue sharing adalah perhitungan bagi hasil yang didasarkan atas penjualan dan/atau pendapatan kotor atas usaha sebelum dikurangi dengan biaya. Bagi hasil dalam revenue sharing dihitung dengan mengalikan nisbah yang telah disetujui dengan pendapatan bruto.
  2. Profit and Loss Sharing. Dasar perhitungan bagi hasil dengan menggunakan profit and loss sharing merupakan bagi hasil yang dihitung dari laba/rugi usaha. Kedua pihak, bank syari’ah maupun nasabah akan memperoleh keuntungan atas hasil usaha mudharib dan ikut menanggung kerugian bila usahanya mengalami kerugian.
Fatwa DSN-MUI No. 15/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syari’ah:
  1. Pada dasarnya, lembaga keuangan syari’ah boleh menggunakan prinsip bagi hasil (net revenue sharing) maupun bagi untung (profit sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan mitra (nasabahnya).
  2. Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), saat ini pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil (net revenue sharing).
  3. Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.
Dalam aplikasi perbankan syari’ah pada umumnya bank dapat menggunakan sistem profit and loss sharing maupun revenue sharing tergantung kepada kebijakan masing-masing bank untuk memilih salah satu sistem yang ada. Pembagian hasil usaha dengan prinsip bagi hasil (revenue sharing) semua beban yang dikeluarkan oleh bank syari’ah sebagai mudharib, baik beban yang untuk kepentingan bank syari’ah sendiri maupun untuk kepentingan pengelolaan dana mudharabah, seperti beban tenaga kerja, beban umum dari administrasi, beban operasi lainnya ditanggung oleh bank syari’ah sebagai mudharib. Beban-beban tersebut tidak diperkenankan dipergunakan sebagai faktor pengurang dalam pembagian hasil usaha.

Hal ini sangat berbeda apabila bank syari’ah dalam pembagian hasil usahanya mempergunakan profit and loss sharing maka harus dipisahkan beban yang menjadi tanggungan bank syari’ah sendiri dan beban-beban yang menjadi tanggungan dana mudharabah. Penerapan distribusi hasil usaha dengan menggunakan prinsip profit and loss sharing bukan hal yang mudah karena dalam pelaksanaannya membutuhkan kesiapan semua pihak.

Pihak pemilik dana harus siap menerima bagian kerugian apabila pengelolaan dana mudharabah mengalami kerugian yang bukan akibat dari kelalaian mudharib sehingga uang yang diinvestasikan pada bank syari’ah menjadi berkurang. Di lain pihak bank syari’ah sendiri harus jujur dan transparan menyampaikan beban-beban yang akan ditanggung dalam pengelolaan dana mudharabah, selain itu bank syari’ah juga harus tertib administrasi sehingga tidak ada kesalahan dalam pengadministrasi dan juga dalam perhitungan unsur-unsur distribusi hasil usaha yang dapat berakibat adanya kesalahan perhitungan hasil usaha yang diberikan kepada shahibul maal.

SUMBER :
  • Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011)
  • Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
  • Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syari’ah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2008), cet. ke-1
  • Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012)
  • Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007)
  • Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2016)
  • Abdul Ghofur Anshori, Payung Hukum Perbankan Syari’ah di Indonesia (UU di Bidang Perbankan, Fatwa DSN-MUI, dan Peraturan Bank Indonesia), (Yogyakarta: UII Press, 2007) 
  • Trisadini P. Usanti dan Abd. Shomad, Transaksi Bank Syari’ah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), cet. ke-1

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »


EmoticonEmoticon