Pengertian Pertunangan

Pengertian Pertunangan

Pertunangan merupakan suatu perbuatan permulaan sebelum dilangsungkannya suatu perkawinan.Pertunangan timbul setelah ada persetujuan antara kedua belah pihak laki-laki dan perempuan untuk mengadakan perkawinan.persetujuan ini dicapai oleh kedua belah pihak setelah lebih dahulu melakukan lamaran yaitu permintaan atau pertimbangan yang dikemukakan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.

Pertunangan di Indonesia diatur dalam hukum adat masing-masing daerah.Pertunangan dilakukan oleh orang tua kedua belah pihak sendiri atau dengan seorang utusan duta atau orang yang mewakili keluarga pihak laki-laki.

Pertunangan dalam hukum adat merupakan suatu stadium (keadaan) yang bersifat khusus di Indonesia, biasanya mendahului dilangsungkannya suatu perkawinan.Stadium pertunangan timbul setelah adanya persetujuan antara kedua belah pihak (pihak keluarga bakal suami dan keluarga bakal istri) untuk mengadakan perkawinan. Pertunangan akan mengikat apabila dari pihak laki-laki sudah memberikan suatu tanda pengikat kepada pihak perempuan. Pengikat itu bisa disimbolkan dengan barang, uang, perhiasan dan lain-lain dan biasanya diserahkan pada waktu pertunangan dan bukan perkawinan. Pertunangan mengandung arti waktu masa tunggu sejak diterimanya tanda pengikat sampai terjadinya perkawinan.

Istilah pertunangan tidak dikenal dalam hukum Islam, melainkan istilah peminangan atau khitbah yang dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam.Peminangan dalam ilmu fiqh disebut dengan “khitbah” yang mempunyai arti permintaan.Menurut istilah mempunyai arti menunjukkan (menyatakan) permintaan untuk perjodohan dari seorang laki-laki pada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantara seorang yang dipercaya.

Khitbah (peminangan) adalah suatu aktifitas yang menjadi pembuka untuk melangsungkan pernikahan. Allah SWT memberlakukan pinangan sebagai langkah awal untuk menikah agar orang yang akan melangsungkan pernikahan saling mengenal satu sama lain (antara calon istri dan calon suami), sehingga diantara keduanya mantap untuk melangsungkan pernikahan.

Khitbah juga diartikan sebagai permintaan seorang laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup.Atau dapat pula diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikahi seorang wanita yang halal untuk dinikahi secara syara’.

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf a “peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita”.

Meminang termasuk usaha pendahuluan sebelum dilakukan pernikahan, agar kedua pihak saling mengenal sehingga pelaksanaan pernikahan nanti benar-benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas.

Tata Cara Pertunangan

Upacara pinangan atau tunangan dilakukan dengan berbagai variasi.Seringkali, pihak laki-laki yang mengajukan pinangan kepada pihak perempuan.Meskipun demikian, adakalanya pihak perempuan mengajukan pinangan terhadap pihak laki-laki. Pada umumnya, di Indonesia dalam proses peminangan pihak laki-laki yang mendatangi pihak perempuan untuk melakukan peminangan. Tetapi dalam masyarakat tertentu terdapat kebiasaan yang sebaliknya yakni pihak perempuan yang mendatangi pihak laki-laki untuk melakukan peminangan.Dalam acara pertunangan biasanya dilakukan tukar cincin dan penyerahan cincin (panyangcang) untuk pihak wanita. Peminangan tersebut sebagai upacara simbolik tentang akan bersatunya dua calon pasangan suami-istri yang hendak membangun keluarga bahagia dan abadi.

Pertunangan mengandung arti permintaan yang menurut hukum adat berlaku dalam bentuk pernyataan kehendak dari suatu pihak kepada pihak lain dengan tujuan untuk mengadakan ikatan perkawinan. Apabila masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, maka peminangan dilakukan oleh seorang utusan yang mewakili pihak laki-laki, biasanya yang ditugaskan sebagai duta atau utusan untuk mengadakan pembicaraan tentang peminangan dengan keluarga pihak perempuan adalah anggota keluarga yang dekat dan yang sudah berumur. Akan tetapi bagi masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal maka adat meminang dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki.

Pertunangan mempunyai berbagai macam cara, didalam hukum Islam diserahkan pada urf masing-masing masyarakat. Hukum Islam hanya meletakkan aturan-aturan pokok tentang peminangan yang tidak bisa dilanggar.

Untuk kebaikan dalam kehidupan berumah tangga, kesejahteraan dan kesenangannya semestinya laki-laki melihat dulu perempuan yang akan dipinangnya sehingga ia dapat menentukan apakah peminangan itu diteruskan atau dibatalkan. Melihat orang yang akan dijadikan teman hidup sebagai bentuk ibadah harus dilakukan dengan teliti dan melalui berbagai pertimbangan normal.

Sebagaimana yang terdapat didalam hadits :

وَلِمُسْلِمٍ : عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لِرَجُلٍ تَزَوَّجَ اِمْرَأَةً : أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ? قَالَ : لَا . قَالَ : اِذْهَبْ فَانْظُرْإِلَيْهَا.

Artinya :Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a, bahwasanya Nabi SAW bersabda kepada seorang lelaki yang akan menikahi seorang perempuan, Apakah kamu melihatnya ? Dia menjawab, Belum.Nabi bersabda, Pergilah lalu lihatlah dia.

Kadangkala wanita terpinang tidak terlalu cantik, tetapi terkadang karena baik sifat-sifat dan tingkah lakunya, seorang laki-laki dapat terperdaya karena sifat, akhlak dan kecerdasannya. Bila mana seorang laki-laki melihat bahwa pinangannya ternyata tidak menarik, hendaklah dia diam dan jangan mengatakan sesuatu yang bisa menyakiti hatinya, sebab boleh jadi perempuan yang tidak disenangi itu akan disenangi orang lain.

Ulama telah sepakat tentang kebolehan melihat wanita yang dipinang, akan tetapi mereka memberi batasan apa saja yang boleh dilihat.
  1. Mayoritas fuqaha’ seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan mengungkap banyak nilai-nilai kejiwaan, kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua telapak tangan dijadikan indikator kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya. Tidak boleh memandang selain kedua anggota tubuh tersebut jika tidak ada darurat yang mendorongnya.
  2. Ulama Hambali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang anggota tubuh wanita tepinang sebagaimana memandang wanita mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita pada umumnya disaat bekerja dirumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan sesamanya. Tidak boleh memandang anggota tubuh yang pada umumnya tertutup seperti dada, punggung, dan sesamanya.
  3. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya. Menyingkap dan memandang wanita lebih dari anggota tubuh tersebut akan menimbulkan kerusakan dan maksiat yang pada umumnya diduga maslahat. Dalam khitbah wajib dan cukup memandang anggota tubuh tersebut saja sebagaimana wanita boleh terbuka kedua tumit, wajah dan kedua telapak tangannya ketika dalam shalat dan haji.
  4. Daud Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi saw “Lihatlah kepadanya”. Disini Rasulullah tidak mengkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu dalam kebolehan melihat. Pendapat Azh-Zhahiriyah telah ditolak mayoritas ulama, karena pendapat mereka menyalahi ijma’ ulama dan menyalahi prinsip tuntutan kebolehan sesuatu karena darurat diperkirakan sekadarnya. Pendapat yang kuat (rajih), yakni bolehnya memandang wajah, kedua tangan, dan kedua tumit kaki. Baginya boleh berbincang-bincang sehingga mengetahui kelebihan yang ada pada wanita terpinang, baik dari segi fisik, suara, pemikiran dan segala isi hatinya agar tumbuh rasa kecintaannya.
Syarat dalam Pertunangan

Syarat-syarat pertunangan di bagi menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut :

1. Syarat Mustahsinah

Syarat mustahsinah adalah syarat yang merupakan anjuran pada laki-laki yang hendak meminang agar meneliti wanita yang akan dipinangnya sebelum melangsungkan peminangan.

Syarat mustahsinah tidak wajib untuk dipenuhi, karena hanya bersifat anjuran dan baik untuk dilaksanakan sehingga apabila tanpa adanya syarat ini hukum peminangan tetap sah.Syarat-syarat mustahsinah tersebut adalah sebagai berikut :
  • Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau sejajar dengan laki-laki yang meminang. Misalnya sama tingkat keilmuannya, status sosial dan kekayaan.
  • Meminang wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan peranak.
  • Meminang wanita yang jauh hubungan kekerabatannya dengan laki-laki yang meminang.
  • Mengetahui keadaan jasmani, akhlak dan keadaan-keadaan lainnya yang dimiliki oleh wanita yang akan dipinang.
2. Syarat Lazimah

Syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan.Sah tidaknya peminangan tergantung pada adanya syarat-syarat lazimah.Syarat-syarat lazimah tersebut adalah sebagai berikut :
  • Tidak berada dalam ikatan perkawinan sekalipun telah lama ditinggal oleh suaminya.
  • Tidak diharamkan untuk menikah secara syara’. Baik keharaman itu disebabkan oleh mahram mu’abbad, seperti saudari kandung dan bibi. Maupun mahram mu’aqqad (mahram sementara) seperti saudari ipar.
  • Tidak sedang dalam masa iddah. Ulama sepakat atas keharaman meminang atau berjanji untuk menikah secara jelas (sarih) kepada wanita yang sedang dalam masa iddah, baik iddah karena kematian suami maupun iddah karena terjadi talak raj’I maupun ba’in.
Syarat peminangan tidak bisa dipisahkan dari halangannya, karena syarat dan halangan peminangan diuraikan dalam suatu sub pembahasan.

Di dalam Pasal 12 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam mengatur syarat peminangan, bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddah-nya.Selain itu, Pasal 12 ayat (2), (3) dan (4) menyebutkan larangan peminangan terhadap wanita yang mempunyai karakteristik sebagai berikut :
  • Ayat (2) : wanita yang ditalak oleh suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang
  • Ayat (3) : dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita
  • Ayat (4) : putus pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan/atau meninggalkan wanita yang dipinang.
Dari Pasal 12 ayat (2), (3) dan (4) KHI diatas, dapat ditentukan bahwa wanita yang termasuk untuk dipinang adalah sebagai berikut :

1. Wanita yang dipinang bukan istri orang

Diharamkan meminang wanita yang bersuami, karena berarti menganjurkan untuk meminta cerai dari suaminya. Hal itu tentu akan menyebabkan hati si suami sakit, bahkan mungkin akan timbul permusuhan dan perkelahian antara si suami dan laki-laki yang meminang. Padahal Islam sangat mementingkan persatuan dan melarang permusuhan.

2. Wanita yang dipinang tidak dalam keadaan dipinang oleh laki-laki lain

Meminang pinangan orang lain hukumnya haram, sebab berarti menyerang hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketentraman. Berdasarkan hadits Nabi SAW yang berbunyi :

لَا يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَ خِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْيَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ .

Artinya : Janganlah sebagian dari kalian meminang pinangan saudaranya sehingga peminang terdahulu meninggalkan (membatalkan pinangannya) atau memberikan izin kepadanya.

Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana wanita itu telah menerima pinangan pertama dan walinya telah dengan terang-terangan mengizinkannya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi jika pinangan semula ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau karena laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain sesudah meminangnya atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya, maka yang demikian itu diperbolehkan. Jika peminangan laki-laki pertama sudah diterima, namun wanita tersebut menerima pinangan laki-laki kedua kemudian menikah dengannya, maka hukumnya berdosa tetapi pernikahannya sah, sebab yang dilarang adalah meminangnya, sedangkan meminang itu bukan merupakan salah satu syarat sahnya nikah.Karena itu, pernikahannya tidak boleh difasakh walaupun meminangnya itu merupakan tindakan pelanggaran.

3. Wanita yang dipinang tidak menjalani masa iddah raj’i

Para fuqaha sepakat keharaman meminang wanita dalam masa tunggu (iddah) talraj’i suami boleh kembali kepada istri karena talaknya belum mencapai ketiga kalinya baik menggunakan bahasa yang tegas dan jelas (sharih) maupun menggunakan bahasa samara atau bahasa sindiran (kinayah). Sang istri yang tertalak raj’i masih berstatus istri dan hak suami atas istri masih eksis selama dalam masa iddah.Suami boleh ruju’ (kembali) tanpa minta kerelaan daripadanya kapan pun, tidak perlu akad dan mahar baru selama masih berada dalam masa iddah. Diharamkan bagi laki-laki lain melakukan khitbah pada wanita dalam masa iddah karena khitbah dalam kondisi ini berarti melawan hak suami pencerai, menodai perasaannya, dan merampas haknya dalam mengembalikan istri tercerai kepangkuannya karena terkadang wanita itu mempunyai banyak anak yang masih kecil dan kemudian bisa terlantar karenanya.

4. Wanita yang menjalani masa iddah wafat

Wanita yang berada dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya, maka boleh dipinang dengan sindiran di masa iddah-nya, sebab hubungannya dengan si suami yang mati putus. Dengan kematian suaminya, maka hak suami terhadap istrinya sama sekali hilang. Diharamkan meminang dengan terang-terangan untuk menjaga perasaan istri yang sedang berkabung dan untuk menjaga perasaan keluarga ahli warisnya.Hhikmah diperbolehkannya sindiran dalam pinangan disini bahwa hubungan antara wanita dan suaminya telah selesai yang disebabkan kematian sehingga tidak ada jalan untuk menyatukan kembali mereka berdua.Oleh karena itu, tidak ada permusuhan pada hak suami yang meninggal dalam pinangan sindiran.Masa iddah wanita karena kematian tidak dihitung berdasarkan menstruasi atau kesucian, tetapi didasarkan pada kelahiran anak atau empat bulan sepuluh hari.Dalam hal ini tidak ada kesempatan berbohong dalam menghitung selesainya iddah.

5. Wanita yang menjalani masa iddahbain sughra dari bekas suaminya

Wanita yang tertalak bain sughra dimaksud adalah wanita yang telah tercerai dua kali.Wanita yang telah tercerai dua kali seperti ini halal bagi suami rujuk kembali dengan akad nikah dan mahar baru dan tidak dipersyaratkan seperti talak bain kubro (wanita tertalak tiga kali).Mantan suami pencerai tidak boleh menikahi kembali mantan istrinya sebelum dinikahi laki-laki lain sampai telah bercampur benar sebagai pasangan suami istri dan masing-masing telah mencicipi madunya.Mayoritas fuqaha’ berpendapat keharaman melakukan pinangan sindiran terhadap wanita tersebut.

Dikarenakan dengan bolehnya pinangan bagi selain suami pencerai, akan menimbulkan terjadinya permusuhan antara keduanya, sementara suami pencerai berhak kembali dengan akad dan mahar baru dan lebih utama dari pada yang lain. Terlebih jika mantan pasangan suami istri itu mempunyai anak banyak, tentunya mereka berhak hidup bersama bapak ibunya sehingga mereka dapat menikmati kehidupan yang tenang dan tentram.

Jika peminangan itu diperbolehkan, berarti merampas hak suami pencerai tersebut. Demikian itu akan menelantarkan keluarga dan menimbulkan bencana, padahal dalam Islam tidak boleh merugikan diri sendiri dan tidak boleh merugikan orang lain. Pendapat mayoritas ulama ini lebih kuat (rajih) karena pada dasarnya pinangan sindiran terhadap wanita dalam iddah talak bain sughra itu haram.

6. Wanita yang menjalani masa iddah bain kubra

Yaitu dapat dipinang oleh bekas suaminya sesudah kawin dengan laki-laki lain (ba’da dukhul) kemudian diceraikan. Sementara bekas suami dimaksud juga sudah menikah dengan perempuan lain.

Hikmah dalam Pertunangan

Setiap hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib selalu mempunyai tujuan dan hikmah.Adapun hikmah dari dilangsungkannya peminangan sebelum menunju ke pernikahan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal.Pernikahan adalah untuk selamanya dan sepanjang masa bukan untuk sementara. Salah satu dari kedua calon pasangan hendaknya tidak mendahului ikatan pernikahan yang sakral terhadap yang lain kecuali setelah diseleksi benar dan mengetahui secara jelas tradisi calon teman hidupnya, karakter, perilaku, dan akhlaknya sehingga keduanya akan hidup mulia dan tenteram, diliputi suasana cinta, puas, bahagia, dan tenang. Sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam Q.S Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi :

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya :Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung danmerasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.

Ketergesaan dalam ikatan pernikahan tidak mendatangkan akibat kecuali keburukan bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak.Inilah di antara hikmah disyariatkannya peminangan dalam Islam untuk mencapai tujuan yang mulia dan impian yang agung.

Sanksi dalam Pembatalan Pertunangan

1. Hukum Islam

Pada dasarnya, peminangan hanya sebatas janji untuk menikah, bukan akad pernikahan.Pembatalan atas peminangan merupakan hak bagi orang yang melangsungkan peminangan dan tidak ada konsekuensi hukum jika terjadi pembatalan untuk menikah. Meskipun demikian, syariat menganggap bahwa pembatalan atas pernikahan yang sudah dimulai dengan peminangan merupakan perilaku yang tidak terpuji dan bagian dari sifat kemunafikan, kecuali jika dalam pembatalan tersebut disertai alasan dan kepentingan yang amat mendesak yang mengharuskan untuk membatalkannya.

Tujuan pokok peminangan adalah berjanji akan menikah, belum adanya akad nikah. Peminangan tidak mempunyai hak dan pengaruh seperti akad nikah.Dalam akad nikah, memiliki ungkapan khusus (ijab qabul) dan seperangkat persyaratan tertentu.

Sebagaimana penjelasan di atas bahwa pinangan semata sebatas janji nikah, tidak ada keharusan atau kewajiban sesuatu bagi kedua belah pihak.Perjanjian dalam suatu akad tidak mempunyai kekuatan yang bersifat kewajiban atau keharusan. Oleh karena itu, boleh saja bagi masing-masing pihak merusak pinangannya dan meninggalkannya tanpa ada pemilikan pada pihak lain dengan sebenarnya seperti pemilikan pernikahan. Keharusan dalam kondisi ini akan menyebabkan bencana atau kerusakan bagi sepasang suami istri dan masyarakat. Tidak ada keharusan dalam keputusan pada akad yang bahaya ini.Demikian pendapat yang kuat menurut fuqaha’ syariah dan pendapat para tokoh perundang-undangan.

2. Hukum Positif Indonesia

Pelaksanaan peminangan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang wanita tidak mempunyai akibat hukum. Pasal 13 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam mengatur sebagai berikut : 
  • Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
  • Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
Oleh karena peminangan mempunyai prinsip yang belum mengandung akibat hukum sehingga mereka yang sudah melakukan peminangan belum dapat berdua-duaan hingga mereka melangsungkan akad nikah.

3. Hukum Adat

Akibat dari pertunangan adalah kedua belah pihak telah terikat untuk melangsungkan perkawinan.Tetapi, walaupun sudah terikat dalam pertunangan bukan berarti kedua mempelai harus melaksanakan perkawinan, tetap dimungkinkan terjadi pembatalan peminangan.Kemungkinan pembatalan peminangan ada dua, pertama oleh kehendak kedua belah pihak dan kedua oleh salah satu pihak.

Jika pembatalan peminangan dilakukan oleh pihak yang menerima tanda tunangan maka pihak tersebut harus mengembalikan tanda tunangan sejumlah atau berlipat dari yang diterima.Sedangkan jika pembatalan peminangan dilakukan oleh pihak yang memberi tanda tunangan maka tanda tunangan yang telah diberikan tidak dikembalikan.

Hukum adat satu daerah dengan yang lainnya pasti berbeda.Itu disebabkan setiap kelompok masyarakat mempunyai kesepakatan masing-masing.Tapi yang jelas, telah disepakati bersama dan isinya berupa sanksi sosial.

SUMBER :
  • Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,(Jakarta : Gunung Agung, 1987)
  • Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia (Suatu Pengantar), (Bandung : PT Refika Aditama, 2010)
  • Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2010)
  • Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3, Terj. Khairul Amru Harahap dkk, Cet-2 (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2011)
  • Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Amzah, 2009)
  • Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999)
  • Mukhtar Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. (Jakarta : Bulan Bintang, 1993)
  • Beni Ahmad Saebani, Fikih Munakahat 1, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009)
  • Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram : Himpunan Hadits-Hadits Hukum dalam Fikih Islam, Terj. Izzudin Karimi, (Jakarta : Darul Haq, 2015)
  • Kamal Muktar, Hukum Islam tentang Perkawinan, Cet ke-1, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974)
  • Zainuddin Ali, Hukum PerdataIslam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012)
  • Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3, Terj. Khairul Amru Harahap dkk, Cet-2 (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2011)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »


EmoticonEmoticon