Teori Kesantunan Berbahasa

Kesantunan Berbahasa

Pengertian Kesantunan

Kesantunan merupakan istilah umum yang memiliki sejarah panjang, karena telah ada sekitar abad ke-16 (Syahrul, 2008:14). Menurut Jumanto (2017:31-32), kesantunan adalah dua genus, yang memiliki dua spesies. Atau dalam kata lain, kesantunan adalah istilah umum, yang memiliki dua varian, yaitu: kesantunan dan keakraban. Kesantunan dalam penggunaan bahasa mengacu ke adanya jarak sosial antara penutur dan petutur. Sementara keakraban dalam penggunaan bahasa mengacu ke adanya kedekatan antara penutur dan petutur.

Jumanto (2017:31) menyatakan bahwa jika komunikasi mengacu ke konteks persahabatan dengan penutur yang lebih akrab, bahasa informal akan dipandang lebih tepat dan baik, sehingga akan terjadi keakraban. Namun, jika komunikasi mengacu ke konteks adanya jarak sosial, bahasa formal akan dipandang lebih tepat dan baik, sehingga akan terjadi kesantunan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesantunan bersifat relatif. Ujaran tertentu biasa dikatakan santun di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, akan tetapi di kelompok masyarakat lain bisa dikatakan tidak santun. Penggunaan bahasa dalam konteks yang sesuai atau tidak sesuailah yang akan mengarah ke kesantunan dan ketidaksantunan dalam komunikasi. Tujuan kesantunan berbahasa adalah membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak mengancam muka dan efektif.

Teori Kesantunan Berbahasa

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu kajian dari ilmu pragmatik. Jika seseorang membahas mengenai kesantunan berbahasa, berarti pula membicarakan pragmatik. Beberapa pakar yang membahas kesantunan berbahasa diantaranya adalah Lakoff (1973), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), dan Leech (1983). Namun, di dalam penelitian ini menggunakan teori dari Leech. Hal ini dikarenkan teori Leech lebih tepat digunakan untuk meneliti kesantunan dalam tindak tutur direktif.

Skala Kesantunan Berbahasa

Skala kesantunan berarti rentangan tingkatan untuk menentukan kesantunan suatu tuturan. Semakin tinggi tingkatan di dalam skala kesantunan, semakin santunlah suatu tuturan. Sebaliknya, kurang santunlah suatu tuturan yang berada pada tingkatan skala kesantunan yang rendah (Chaer, 2010:63).

Menurut Leech (dalam Chaer, 2010:66-68), terdapat beberapa skala pengukur kesantunan berbahasa yang didasarkan pada setiap maksim interpersonalnya, skala itu adalah:
  1. Skala Kerugian dan Keuntungan (Cost-benefit scale). Skala biaya-keuntungan atau skala untung-rugi berupa rentangan tingkatan untuk menghitung biaya dan keuntungan di dalam melakukan suatu tindakan berkenaan dengan penutur dan mitra tuturnya. Makna skala biaya-keuntungan itu adalah semakin memberikan beban biaya (sosial) kepada mitra tutur semakin kurang santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin memberikan keuntungan kepada mitra tutur, semakin santunlah tuturan itu. Tuturan yang memberikan keuntungan kepada penutur merupakan tuturan yang kurang santun. Sementara itu, tuturan yang membebani biaya (sosial) yang besar kepada penutur merupakan tuturan yang santun.
  2. Skala Keopsionalan (optionally scale). Skala keopsionalan adalah rentangan pilihan untuk menghitung jumlah pilihan tindakan bagi mitra tutur. Makna skala keopsionalan itu adalah semakin memberikan banyak pilihan kepada mitra tutur semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin tidak memberikan pilihan tindakan kepada mitra tutur, semakin kurang santunlah tuturan itu.
  3.  Skala Ketaklangsungan (indirectness scale). Skala ketaklangsungan menyangkut ketaklangsungan tuturan. Skala ini berupa rentangan ketaklangsungan tuturan sebagai indikator kesantunannya. Makna skala ketaklangsungan itu adalah semakin taklangsung, semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin langsung, semakin kurang santunlah tuturan itu.
  4. Skala jarak sosial (social distabce) merujuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan lawan tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan semakin dekat jarak hubungan sosial di antara keduanya (penutur dan lawan tutur) akan menjadi kurang santunlah pertuturan itu. Sebaliknya semakin jauh jarak peringkat hubungan sosial di antara penutur dan lawan tutur, maka akan semakin santunlah tuturan yang digunakan dalam pertuturan itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dan lawan tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.
Faktor Penyebab Terjadinya Kesantunan Berbahasa

Pranowo (dalam Masfufah, 2010) menyatakan bahwa faktor penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat memengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Berdasarkan identifikasi kesantunan dan ketaksantunan bentuk tuturan direktif, ada beberapa faktor yang menyebabkan pemakaian bentuk santun dan tidak santun, dalam hal ini bentuk tuturan direktif.
  1. Faktor Kebahasaan. Faktor kebahasaan adalah segala sesuatu unsur yang berkaitan dengan masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa nonverbal. Faktor kebahasaan verbal yang dapat menentukan kesantunan dapat dipaparkan sebagai berikut.
    • Pemakaian Diksi yang Tepat. Pemakaian diksi atau pilihan kata yang tepat saat bertutur dapat mengakibatkan atau menimbulkan pemakaian bahasa menjadi santun. Pemakaian pilihan kata atau diksi yang berkadar santun tinggi memiliki beberapa argumentasi diantaranya; nilai rasa kata bagi mitra tutur akan terasa lebih halus, persepsi mitra tutur merasa bahwa dirinya diposisikan dalam posisi yang terhormat, penutur memiliki maksud untuk menghormati mitra tutur, dan akan menjaga harkat dan martabat penutur. 
    • Pemakaian Gaya Bahasa yang Santun. Pranowo (dalam Masfufah, 2010) menyatakan bahwa dalam berbahasa juga diperlukan suatu gaya bahasa karena gaya bahasa dapat juga menimbulkan pemakaian bahasa yang santun. Gaya bahasa tersebut merupakan optimalisasi pemakaian bahasa dengan cara-cara tertentu untuk mengefektifkan komunikasi. Pemakaian gaya bahasa untuk mencapai komunikasi yang santun tidaklah mudah. Memang dibutuhkan pemahaman mengenai berbagai gaya bahasa. Jika seseorang mahir menggayakan bahasa dengan berbagai majas, seperti personifikasi, metafora, perumpamaan, litotes, eufemisme, dan sebagainya ternyata dapat meredam tuturan-tuturan yang sebenarnya cukup keras. Gaya bahasa ini juga merupakan salah satu cara untuk memperkecil kesenjangan antara “apa yang dipikirkan” dengan “apa yang dituturkan”, tetapi dengan memanfaatkannya secara baik dan tepat.
    • Aspek Intonasi . Aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa. Ketika penutur menyampaikan maksud kepada mitra tutur dengan menggunakan intonasi keras, padahal mitra tutur berada pada jarak yang sangat dekat dengan penutur, penutur akan dinilai tidak santun. Sebaliknya, jika penutur menyampaikan maksud dengan intonasi lembut, penutur akan dinilai sebagai orang yang santun.
  2. Faktor Nonkebahasaan. Pada saat berkomunikasi, penutur tidak hanya melibatkan faktor kebahasaan. Namun, penutur juga melibatkan faktor-faktor nonkebahasaan yang akan menentukan kesantunan dalam bertutur. Faktor-faktor kebahasaan yang juga ikut menentukan kesantunan tersebut, yaitu topik pembicaraan, konteks situasi komunikasi, dan pranata sosial budaya masyarakat. berikut ini penjelasan secara singkat ketiga hal tersebut.
    • Topik Pembicaraan. Topik pembicaraan adalah pokok masalah yang diungkapkan ketika terjadinya komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Pada dasarnya topik dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu (a) topik yang bersifat formal (misalnya; kedinasan, keilmuan, dan kependidikan) dan (b) topik yang bersifat informal (misalnya; masalah kekeluargaan, persahabatan).
    • Konteks Situasi Komunikasi. Faktor nonkebahasaan yang berupa konteks situasi ini adalah segala keadaan yang melingkupi terjadinya komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, kondisi psikologis penutur, respon lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya. Komunikasi antarpenutur dapat terjadi di berbagai tempat (misalnya; di kelas, di kantin, di kantor, di jalan), dalam berbagai kondisi penutur (misalnya; senang, marah, sedih, serius, santai), dalam berbagai waktu (misalnya; pagi, siang, sore), dan sebagainya. Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Pengguna bahasa atau penutur harus memperhatikan konteks tersebut agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan dapat menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, penutur senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa.
    • Pranata Sosial Budaya Masyarakat. Tujuan lain komunikasi adalah untuk menjalin hubungan sosial (social relationship) antara pembicara dan lawan bicara. Dalam hal menjalin hubungan sosial ini tujuan komunikasi menjadi sangat kompleks. Anam (dalam Masfufah, 2010) menyebutkan bahwa faktor peran dan hubungan (role relationship), usia (age), dan stratifikasi social (social stratification) juga sangat berperan dalam mencapai tujuan komunikasi untuk menjalin hubungan sosial. Hal tersebut berkaitan erat dengan pranata sosial budaya masyarakat. Pranata sosial budaya masyarakat sebagai faktor penentu kesantunan berbahasa dari aspek nonkebahasaan memang perlu diperhatikan bagi penutur. Misalnya, aturan anak kecil atau anak muda yang harus selalu hormat kepada orang yang lebih tua, berbicara tidak boleh sambil makan, perempuan tidak boleh tertawa terbahak-bahak, tidak boleh bercanda ria di tempat orang yang sedang berduka, dan sebagainya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »


EmoticonEmoticon