SEWA MENYEWA

SEWA MENYEWA

Pengertian Sewa Menyewa

Menurut bahasa kata sewa-menyewa berasal dari kata “Sewa” dan “Menyewa”, kata “sewa” berarti pemakaian sesuatu dengan membayar uang sewa. Sedangkan kata “menyewa” berarti memakai dengan membayar uang sewa. Sewa-menyewa dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-ijarah, yang artinya upah, sewa, jasa atau imbalan.

Menurut Moh. Anwar ijarah adalah suatu perakadan (perikatan) pemberian kemanfa’atan (jasa) kepada orang lain dengan syarat memakai „iwadh (penggantian/balas jasa) dengan uang atau barang yang ditentukan. Jadi ijarah membutuhkan adanya orang yang memberi jasa dan yang memberi upah.

Abdur Rahman al-Jaziry dalam kitabnya al-Fiqh ala madzahib al arba‟ah menyebutkan bahwa Ijarah menurut bahasa dengan dikasrohkan hamzahnya, didhomahkan hamzahnya, dan difathahkan hamzahnya. Adapun dikasrohkan hamzahnya adalah lebih tersohor dan dengan dikasroh jim didhomah jimnya, artinya adalah bahasan suatu pekerjaan atau amal perbuatan.

Dalam pemahaman lain, pandangan Abu Syuja’ menyebutkan bahwa lafadz ijarah dengan dibaca kasrah hamzahnya, menurut qaul (perkataan, pemahaman) yang masyhur secara bahasa bermakna upah. Hendi Suhendi, menyatakan bahwa al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang menurut bahasanya ialah al-iwadi yang secara bahasa berarti ganti dan upah.

Sewa menyewa sesungguhnya merupakan suatu transaksi yang memperjual-belikan manfaat suatu harta benda. Transaksi ini banyak sekali dilakukan oleh manusia, baik manusia jaman dahulu maupun manusia jaman sekarang, atau dapat diartikan bahwa semua barang yang mungkin diambil manfaatnya dengan tetap zatnya, sah untuk disewakan, apabila kemanfaatannya itu dapat ditentukan dengan salah satu dari dua perkara, yaitu dengan masa dan perbuatan. Sewa menyewa dengan mutlak (tidak memakai syarat) itu menetapkan pembayaran sewa dengan tunai, kecuali apabila dijanjikan pembayaran dengan ditangguhkan.

Pengertian sewa menyewa dalam KUH Perdata adalah perjanjian, dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan denga pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.

Berikut ini, untuk lebih jelasnya akan dijelaskan beberapa pengertian tentang sewa menyewa menurut istilah, dari beberapa pandangan para ulama fiqh:
  1. Syafi‟i dan Imam Taqiyyuddin, sewa menyewa atau ijarah ialah: Artinya : “Transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu bersifat bisa dimanfaatkan dengan suatu imbalan tertentu”.
  2. Malikiyah, sewa menyewa atau ijarah ialah: Artinya : “Nama bagi akad-aَkad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan”.
  3. Hambaliah, sewa menyewa atau ijarah ialah: Artinya : “Ijarah yaitu akad transaksi atau suatu kemanfaatan yang diperoleh dan telah diketahui yang diambil sedikit demi sedikit pada tempo waktu tertentu serta dengan ganti rugi tertentu”.
  4. Syaikh Syihab ad-Din dan Syaikh Umairah, sewa menyewa atau ijarah ialah: Artinya : “Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu”.
  5. Syeikh al-Islam Abi Yahya Zakaria al-Anshori dalam kitab Fath Al Wahab, sewa menyewa atau ijarah ialah: Artinya : “Ijarah (sewa-menyewa) secara bahasa adalah nama untuk pengupahan sedang sewa-menyewa secara syara‟ adalah memiliki atau mengambil manfaat suatu barang dengan pengambilan (imbalan) dengan syarat-syarat yang sudah ditentuka.”
  6. Muhamad Syafi’ Antonio, sewa menyewa atau ijarah adalah pemindahan hak bangunan atas barang atau jasa melalui upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
  7. Taqyuddin an-Nabhani juga menyebutkan dalam bukunya, bahwa sewa menyewa atau ijarah adalah pemilikan jasa dari seorang ajiir (orang yang dikontrak tenaganya) oleh musta‟jir (orang yang mengontrak tenaga), serta pemilikan harta dari pihak musta‟jir oleh seorang ajiir.
Pemilik barang atau benda yang menyewakan manfaat biasa disebut Mu‟ajir (orang yang menyewakan), sedangkan pihak lain yang memanfaatkan benda atau barang yang disewakan disebut Musta‟jir (orang yang menyewa atau penyewa), dan sesuatu yang diakadkan untuk diambil manfaatnya disebut ma‟jur (sewaan), sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat disebut ujrah (upah).

Dari beberapa pendapat tentang sewa-menyewa tersebut dapat peneliti rumuskan bahwa ijarah adalah suatu akad untuk mengambil manfaat suatu benda baik itu benda bergerak maupun tidak bergerak yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar upah sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan dan dengan syarat-syarat tertentu. Apabila akad sewa menyewa telah berlangsung, penyewa sudah berhak mengambil manfaat dari benda yang ia sewa, dan orang yang menyewakan berhak pula mengambil upah sesuai dengan kesepakatan awal yang telah disepakati, karena akad ini adalah mu‟awadhah (penggantian).

Dasar Hukum Sewa Menyewa

Sebenarnya dalam Islam sendiri, khususnya al-Qur’an hanya membahas secara umum tentang ijarah. Hal ini bukan berarti konsep ijarah tidak diatur dalam konsep Syariah, akan tetapi pembahasan tersebut dalam al- Qur’an hanya membahas perihal sewa menyewa. Karena itu segala peraturan yang ada dalam hukum Islam mempunyai landasan dasar hukum masing- masing. Yang menjadi dasar hukum ijarah adalah sebagai berikut :
  1. Al-Qur’an. Firman Allah SWT Surat al Baqarah 233 : Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”. (QS. Al Baqarah 2 : 233). Firman Allah SWT surat al-Qashas ayat 26-27: Artinya : “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata:"Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Berkatalah dia (Syu'aib):"Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu.Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik". (QS. Al-Qashas 28:26-27). Dalam surat At Thalaq ayat 6 menerangkan bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada bekas suami untuk mengeluarkan biaya-biaya yang diperlukan bekas istrinya, untuk memungkinkan melakukan susunan yang baik bagi anak yang diperoleh dari bekas suaminya itu. Biaya-biaya yang diterima bekas istri itu dinamakan upah, karena hubungan perkawinan keduanya terputus, kapasitas mereka adalah orang lain. Dari beberapa nash al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa ijarah disyari’atkan dalam Islam. Oleh karena itu, manusia antara satu dengan yang lain selalu terlibat dan saling membutuhkan. Sewa-menyewa merupakan salah satu aplikasi keterbatasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, boleh dikatakan bahwa pada dasarnya ijarah itu adalah salah satu bentuk aktivitas antara dua pihak yang saling meringankan, serta termasuk salah satu bentuk tolong menolong yang diajarkan agama. Ijarah merupakan jalan untuk memenuhi hajat manusia. Oleh sebab itu, para ulama menilai bahwa ijarah merupakan suatu hal yang diperbolehkan.
  2. Hadits. Selain dasar hukum dari al Qur’an, dalam hadits Rosulullah juga menerangkan dasar hukum sewa-menyewa antara lain: Hadits riwayat Bukhari dari Aisyah ra, ia berkata: Artinya : "Diriwayatkan dari Ibrahim bin Musa, mengabarkan kepada kita Hisyam dari Ma‟marin dari Zuhri dari „Urwah bin Zubair dari „Aisyah, ra. berkata : “Rasulullah SAW. Dan Abu Bakar mengupah seorang laki-laki yang pintar sebagai petunjuk jalan. Laki-laki itu berasal dari bani ad-Dil, termasuk kafir Quraisy. Beliau berdua menyerahkan kendaraannya kepada laki-laki itu (sebagai upah), dan keduanya berjanji kepadanya akan bermalam di gua Tsaur selama tiga malam Pada pagi yang ketiga, keduanya menerima kendaraannya.” (HR. Bukhari). Dalil di atas dapat dipahami bahwa sewa menyewa itu tidak hanya terhadap manfaat suatu barang/benda, akan tetapi dapat dilakukan terhadap keahlian/profesi seseorang. Ulama berbeda pendapat tentang upah tukang bekam, menurut pendapat Jumhur Ulama bahwa upah tukang bekam itu halal. Menurut Imam Ahmad bahwa bekam itu makruh bagi orang merdeka pekerjaan pembekam itu dan bagi tukang bekam itu membelanjakan upahnya untuk dirinya sendiri, tetapi boleh membelanjakannya untuk hamba sahaya dan hewan. Argumentasi mereka ialah hadits yang diriwayatkan oleh Malik, Ahmad dan para ulama penyusun kitab sunan dengan sanad yang terdiri dari orang-orang yang terpercaya dari mahishah: Bahwa dia pernah menanyakan Rasulullah SAW. tentang usaha pembekaman itu, lalu beliau melarangnya. Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka Jumhur Ulama pada prinsipnya telah sepakat tentang kebolehan sewa menyewa. Para ahli fiqih yang melarang sewa-menyewa beralasan, bahwa dalam urusan tukar- menukar harus terjadi penyerahan harga dengan penyerahan barang, seperti halnya pada barang-barang nyata, sedang manfaat sewa-menyewa pada saat terjadinya akad tidak ada.
  3. Ijma‟. Mengenai disyari’atkan ijarah, semua ulama’ bersepakat, tidak seorang ulama’ pun yang membantah kesepakatan (ijma‟) ini sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak dianggap. Para ulama’ berpendapat bahwasannya ijarah itu disyari’atkan dalam Islam, karena pada dasarnya manusia senantiasa terbentur pada keterbatasan dan kekurangan, oleh karena itu manusia antara yang satu dengan yang lainnya selalu terikat dan saling membutuhkan, dan ijarah (sewa-menyewa) adalah salah satu aplikasi keterbatasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Melihat uraian tersebut di atas, sangat mustahil apabila manusia dapat mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa berinteraksi (berijarah) dengan manusia lainnya, karena itu bisa dikatakan bahwa pada dasarnya ijarah adalah salah satu bentuk aktivitas antara dua pihak yang saling meringankan, serta salah satu bentuk aktivitas manusia yang berlandaskan asas tolong-menolong yang telah dianjurkan oleh agama. Selain itu juga merupakan salah satu jalan untuk memenuhi hajat manusia. Oleh sebab itu para ulama’ menilai bahwa ijarah merupakan suatu hal yang diperbolehkan.
Syarat dan Rukun Sewa Menyewa

Suatu sewa-menyewa dapat dikatakan syah menurut hukum Islam apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditentukan. Adapun rukun sewa-menyewa ada dua golongan yang berpendapat yaitu: yang pertama golongan Abu Hanifah sewa-menyewa / ijarah menjadi syah hanyalah dengan ijab dan qobul, yang kedua golongan Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambaliyah berpendapat bahwa rukun ijarah itu sendiri dari Mu‟ajir (pihak yang memberi upah), serta musta‟jir (orang yang membayar ijarah), dan al ma‟qud „alaih (barang yang disewakan). Hal yang berbeda yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq bahwa Ijarah Menjadi syah dengan ijab qabul sewa yang berhubungan dengannya, serta lafal apa saja yang menunjukkan hal tersebut.

Menurut K. Masturi, ulama setempat bahwa hukumnya syah, apabila keadaan barangnya telah menetapi syarat-syarat ma'qud alaih yaitu dapat dimiliki, suci, bermanfaat dan dapat diserahterimakan. Dasar hukum yang di gunakan sebagaimana tersebut dalam kitab "Nihayatul Zain" karangan Imam Muhammad bin Umar bin an-Nawawi sebagai berikut : "Dan disyaratkan terhadap ma'qud alaih itu harus di miliki, suci, bisa di ketahui, sudah maklum baik keadaannya, ukurannya, sifatnya terhadap barang yang ada dalam tanggungan".

Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rukun ijarah harus ada ijab ( permulaan penjelasan yang keluar dari salah satu seseorang yang berakad) dan qobul (yang keluar dari pihak yang lain sesudah adanya ijab, buat menerangkan persetujuannya), orang yang berakad, ujrah (sewa) ma‟qud alaih (obyeknya) untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan satu persatu.
  1. Akad. Sewa-menyewa itu terjadi dan syah apabila ada ijab dan qobul, baik dalam bentuk pernyataan lainnya yang menunjukkan adanya persetujuan antara kedua belah pihak dalam melakukan sewa-menyewa. Menurut M. Ali Hasan, akad berasal dari Bahasa Arab adalah (العقد) yang berarti "Perkataan, Perjanjian dan Permufakatan". Pertalian ijab (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada obyek perikatan. Menurut Abdul Aziz Dahlan, Akad adalah (a'qada-„aqd = perikatan, perjanjian dan permufakatan (al-ittifaq), pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada obyek perikatan. Menurut Rachmad Syafi’i, Akad adalah perikatan atau perjanjian. Dari segi etimologi, Akad adalah: Artinya: “Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi dari satu segi maupun dari dua segi”. Menurut Az Zarqo dalam pandangan syara’ suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy akad menurut bahasa (lughah) adalah: Artinya: “Akad adalah al-rabth (ikatan), yaitu menyambungkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sampai bersambung, sehingga keduanya menjadi satu bagian”. Sedangkan definisi akad menurut ulama fiqih, yakni menurut ulama Madzab Hanafi, terdapat dua pendapat. Pertama, didasarkan pada dalil qiyas (analogi). Akad ini tidak sah karena obyek yang dibeli belum ada, oleh sebab itu akad ini termasuk dalam al bay al ma‟dum (jual beli terhadap sesuatu yang tidak ada) yang dilarang Rasulullah. Kedua, madzab Hanafi membolehkan akad ini didasarkan kepada dalil istihsan (berpaling dari kehendak qiyas karena ada indikasi yang kuat yang membuat pemalingan ini) dengan meninggalkan kaidah qiyas. Ulama Madzab Syafi’i juga berpendapat sebagian mereka berpegang dengan kaidah qiyas, sehingga mereka berpendapat bahwa akad ini tidak boleh karena bertentangan dengan akidah umum yang berlaku yaitu obyek yang ditransaksikan itu harus nyata. Sewa-menyewa belum dikatakan syah sebelum ijab qabul dilakukan, sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan, pada dasarnya ijab qabul dilakukan dengan lisan, tapi kalau tidak mungkin seperti bisu atau lainnya, maka boleh ijab qobul dengan surat menyurat yang mengandung arti ijab qobul. Orang yang melakukan akad ada 5 cara :
    • Akad dengan tulisan. Cara ini dilakukan apabila kedua belah pihak berjauhan tempat, atau orang yang melakukan akad itu bisu tidak dapat berbicara. Akad ini tidak dapat dilakukan jika mereka berdua berada di satu majelis dan tidak ada halangan berbicara.
    • Akad dengan perantara. Cara ini dilakukan apabila kedua belah pihak yang berakad dengan syarat bahwa si utusan di satu pihak menghadap pada pihak lainnya. Jika tercapai kesepakatan antara kedua pihak, akad sudah menjadi syah.
    • Akad dengan bahasa isyarat. Akad dengan bahasa isyarat syah bagi orang bisu, karena isyarat bagi orang bisu merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam jiwanya. Namun hal ini tidak ada sumbernya baik dari al Qur’an maupun sunnah.
    • Akad dengan lisan. Cara ini bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari yaitu dengan kata-kata, bahasa apapun, asal dapat dipahami pihak-pihak yang bersangkutan itu dapat digunakan.
    • Akad dengan perbuatan. Misalnya seorang penyewa menyerahkan sejumlah uang tertentu, kemudian orang yang menyewakan menyerahkan barang yang disewakan. Yang penting jangan sampai terjadi semacam penipuan dan kedua belah pihak saling rela. Ijab qobul adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah satu pihak yang melakukan akad, hal ini tidak di tentukan pada salah satu pihak melainkan siapa yang memulainya. Sedangkan qobul adalah yang keluar dari pihak yang lain sesudah adanya ijab yang dimaksudkan untuk menerangkan adanya persetujuan. Perkataan ijab dan qobul itu harus jelas pengertiannya menurut “urf” dan haruslah ijab itu masalah sewa menyewa, maka qobulnya juga masalah sewa menyewa. Demikian juga misalnya jika ijab qobul dalam sewa menyewa dengan harga Rp. 500,- maka Qobulnya juga harus Rp. 500,- tidak boleh yang lain.
  2. Aqid (orang yang berakad). Aqid adalah orang yang melakukan aqad, yaitu orang yang menyewa (musta‟jir) dan orang yang menyewakan (mu‟ajir). Syarat-syarat orang yang berakad adalah :
    • Syarat bagi kedua orang yang berakad, adalah telah baligh dan berakal (menurut madzhab Syafi‟i dan Hambali). Dengan demikian, apabila orang itu belum atau tidak berakal, seperti anak kecil atau orang gila, menyewakan hartanya, atau diri mereka sebagai buruh, maka ijarahnya tidak syah. Berbeda dengan madzhab Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijarah dengan ketentuan, disetujui oleh walinya. Para pihak yang melakukan akad haruslah berbuat atas kemauan sendiri dengan penuh kerelaan tanpa ada unsur paksaan, baik keterpaksaan itu datang dipihak-pihak yang berakad atau dari pihak lain. Kewajiban-kewajiban dan ketentuan bagi orang yang melakukan akad adalah :
      • Kewajiban-kewajiban bagi orang yang menyewakan, yaitu :
        • Mengizinkan pemakaian barang yang disewakan dengan memberikan kuncinya bagi rumah dan sebagainya kepada orang yang menyewanya.
        • Memelihara kebesaran barang yang disewakannya, seperti memperbaiki kerusakan dan sebagainya, kecuali sekedar menyapu halaman, ini kewajiban penyewa.
      • Kewajiban-kewajiban bagi penyewa, yaitu:
        • Membayar sewaan sebagaimana yang telah ditentukan
        • Membersihkan barang sewaannya
        • Mengembalikan barang sewaannya itu bila telah habis temponya atau bila ada sebab-sebab lain yang menyebabkan selesainya / putusnya sewaan.
      • Ketentuan bagi penyewa, yaitu :
        • Barang sewaan itu merupakan amanat pada penyewa, jadi kalau terjadi kerusakan karena kelalaiannya, seperti kebakaran, ia wajib mengganti : kecuali kalau tidak karena kelalaiannya.
        • Bagi penyewa diperbolehkan mengganti pemakai sewaannya oleh orang lain, sekalipun tidak seizin yang menyewanya, kecuali jika di waktu sebelum akad, ditentukan bahwa penggantian itu tidak boleh, adanya penggantian pemakaian.
        • Bagi orang yang menyediakan barang-barang, boleh menggantikan barang sewaannya dengan yang seimbang dengan barang yang semula.
        • Kalau terjadi perselisihan pengakuan antara penyewa dan yang menyewakan pada banyaknya upah atau temponya atau ukuran manfaat sewaan dan sebagainya, sedangkan tak ada saksi atau keterangan-keterangan lain yang dapat dipertanggung jawabkan, maka kedua belah pihak harus bersumpah.
  3. Ujrah (sewa). Disyaratkan, bahwa ujrah itu dimaklumi (diketahui) oleh kedua belah pihak, banyak, jenis dan sifatnya. Jumlah pembayaran uang sewa itu hendaklah dirundingkan terlebih dahulu.
  4. Ma‟qud alaih, Ma‟qud alaih yaitu barang yang dijadikan obyek sewa-menyewa. Syarat-syarat barang yang boleh dan syah dijadikan obyek sewa-menyewa adalah :
    • Obyek ijarah itu dapat diserahkan. Maksudnya, barang yang diperjanjikan dalam sewa-menyewa harus dapat diserahkan sesuai dengan yang diperjanjikan. Oleh karena itu, kendaran yang akan ada (baru rencana untuk dibeli) dan kendaraan yang rusak tidak dapat dijadikan sebagai obyek perjanjian sewa- menyewa.
    • Obyek ijarah itu dapat digunakan sesuai kegunaan. Maksudnya, kegunaan barang yang disewakan harus jelas dan dapat dimanfaatkan oleh penyewa sesuai dengan kegunaan barang tersebut. Seandainya barang itu tidak dapat digunakan sebagaimana yang diperjanjikan, maka perjanjian sewa-menyewa itu dapat dibatalkan.
    • Harus jelas dan terang mengenai obyek yang diperjanjikan. Harus jelas dan terang mengenai obyek sewa-menyewa, yaitu barang yang dipersewakan disaksikan sendiri, termasuk juga masa sewa (lama waktu sewa-menyewa berlangsung) dan besarnya uang sewa yang diperjanjikan.
    • Kemanfaatan obyek yang diperjanjikan adalah yang dibolehkan oleh agama. Perjanjian sewa-menyewa barang yang kemanfaatannya tidak dibolehkan oleh hukum agama tidak syah dan wajib untuk ditinggalkan. Misalnya perjanjian sewa-menyewa rumah yang digunakan untuk kegiatan prostitusi, atau menjual minuman keras serta tempat perjudian, demikian juga memberikan uang kepada tukang ramal. Selain itu, juga tidak syah perjanjian pemberian uang (ijarah) puasa atau shalat, sebab puasa dan shalat termasuk kewajiban individu yang mutlak dikerjakan oleh orang yang terkena kewajiban.
Sifat Akad Sewa Menyewa

Kaidah umum dalam ajaran Islam menentukan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan dalam keadaan sehat dan bebas menentukan pilihan (tidak dipaksa) pasti mempunyai tujuan tertentu yang mendorongnya melakukan perbuatan. Oleh karena itu, maka tujuan akad memperoleh tempat penting untuk menentukan apakah suatu akad dipandang sah atau tidak, dipandang halal atau haram.

Ulama’ fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad Ijarah (sewa menyewa), apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama’ mazhab Hanafi berpendirian bahwa akad Ijarah itu bersifat mengikat, tetapi bisa dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad. Seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Akan tetapi, jumhur ulama’ mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak bisa dimanfaatkan. Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabila salah seorang meninggal dunia. Menurut ulama’ mazhab Hanafi, apabila salah seorang yang berakat meninggal dunia, maka akad Ijarah batal, karena manfaat tidak bisa diwariskan, itu merupakan harta (al- Mal). Oleh sebab itu kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad Ijarah.

Macam-Macam Sewa Menyewa

Menurut sebagian ulama’, ijarah dibagi menjadi 2 (dua) macam :
  1. Ijarah „ain, yaitu menyewa dengan memanfaatkan benda yang kelihatan dan dapat dirasa. Seperti menyewa sebagian tanah, atau sebuah rumah yang sudah jelas untuk ditempati dan lain-lain.
  2. Ijarah atas pengakuan, yaitu mengupahkan benda untuk dikerjakan, menurut pengakuan si pekerja, bahwa barang itu akan diselesaikan dalam jangka waktu tertentu dan menurut upah yang ditentukan.
Disamping itu Abdurrohman al Jaziri juga membagi ijarah menjadi dua bagian yaitu :
  1. Bahwasanya akad itu berlaku karena kegunaan (memanfaatkan) benda yang juga diketahui dan tertentu. Sebagaimana seorang berkata pada orang lain, “saya menyewakan unta ini atau rumah ini”.
  2. Atau berlaku atas kegunaan (memanfaatkan) benda dengan sifat-sifat tertentu, seperti “saya menyewakan padamu unta yang sifatnya demikian”. Bahwasanya akad itu berlaku atas suatu pekerjaan yang telah diketahui, seperti seseorang telah berkata kepada orang lain “saya memburuhkan kepadamu agar kamu membangun tempat ini”.
Dari pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat serta pembagian sewa- menyewa (ijarah) yang telah diuraikan di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa ijarah ini adalah membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan sewa-menyewa barang yang bergerak, sewa-menyewa barang yang tidak bergerak dan sewa-menyewa tenaga (perburuhan).

Tentang persewaan tanah para fuqoha banyak sekali terjadi perselisihan pendapat. Segolongan fuqoha’ tidak membenarkan sewa- menyewa tanah dalam bentuk apapun karena dalam perbuatan tersebut terdapat kesamaran dimana pihak pemilik tanah memperoleh keuntungan pasti, sementara itu pihak penyewa berada dalam keadaan untung-untungan boleh jadi berhasil dan boleh jadi gagal, karena tertimpa bencana.

Hal-Hal yang Membatalkan Sewa Menyewa

Sewa menyewa adalah jenis akad lazim yang salah satu pihak yang berakad itu tidak mempunyai hak untuk membatalkan perjanjian. Bahkan jika salah satu pihak yang menyewakan / yang menyewa meninggal, perjanjian sewa-menyewa tidak akan menjadi batal, asalkan saja yang menjadi obyek sewa-menyewa masih tetap ada. Sebab dalam hal salah satu pihak meninggal maka kedudukannya digantikan oleh ahli warisnya apakah dia sebagai pihak yang menyewakan / sebagai pihak penyewa.

Menurut Chairuman Pasaribu dalam bukunya hukum perjanjian dalam Islam bahwa hal yang menyebabkan berakhirnya sewa-menyewa disebabkan karena:
  1. Terjadi aib pada barang sewaan. Maksudnya bahwa barang yang menjadi obyek sewa ada kerusakan ketika sedang berada ditangan pihak penyewa, yang mana kerusakan itu di akibatkan kelalaian penyewa sendiri. Misalnya karena penggunaan barang tidak sesuai dengan petunjuk penggunaan barang tersebut, dalam hal ini pihak yang menyewakan dapat memintakan pembatalan. Segolongan fuqoha’, Imam Malik, Syafi’i, Abu Sufyan, Abu Tsaur dan lainnya mengatakan bahwa sewa-menyewa tersebut tidak bisa batal, kecuali dengan hal-hal yang membatalkan aqad-aqad yang tetap, seperti akadnya cacat/hilangnya tempat mengambil manfaat itu. Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa cacatnya barang yang tidak diketahui pada waktu akad berlangsung, akan dapat membatalkan perjanjian sewa-menyewa.
  2. Rusaknya barang yang disewakan. Apalagi kalau yang menjadi obyek sewa-menyewa mengalami kerusakan / musnah sama sekali, sehingga tidak dapat dipergunakan lagi sesuai dengan apa yang diperjanjikan, misal yang menjadi obyek sewa- menyewa adalah rumah, kemudian rumah tersebut terbakar, maka perjanjian tersebut batal. Menurut madzhab Hanafi bahwa boleh memfasakh ijarah karena ada udzur, sekalipun disalah satu pihak. Seperti orang yang menyewa toko untuk berdagang, kemudian hartanya terbakar, dicuri/bangkrut, maka ia berhak memfasakh ijarah.
  3. Sudah terpenuhinya manfaat yang diperjanjikan / sudah selesainya pekerjaan. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah tujuan perjanjian sewa-menyewa telah tercapai. Misalnya, perjanjian sewa-menyewa rumah selama satu tahun, penyewa telah memanfaatkan rumah selama satu tahun, maka perjanjian sewa-menyewa batal dengan sendirinya. Hal senada juga diungkapkan oleh Muhammad Anwar dalam bukunya Fiqh Islam, bahwa hak untuk mengembalikan barang sewaan itu bila telah habis tempatnya atau ada sebab-sebab lain yang menyebabkan selesainya perjanjian.
SUMBER :
  • Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta : RjaGrafindo Persada, 2002)
  • Mhd. Rasidin, Fikih Mu’amalah: Akad dalam Ekonomi Islam. (Stain Kerinci Press, 2011)
  • Heri Sudarsono, Konsep EKonomi Islam (Suatu Pengatar), (Yogyakarta : Ekonisia, 2007)
  • Fathurahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, (Sinar Grafika: Jakarta, 2013)
  • Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995), Cet. ke-27
  • Ibnu Hajar al Asqalani,(Penerjemah Khalifaturrahman dan Haer Haeruddin) Bulugh al Maram min Adillat al Ahkam, (Semarang: Taha Putera, T. Th) Ibrahim, Pendidikan Agama Islam, (Surakarta : PT Intan Pariwara, 1990)
  • Ismail Nawawi, Ekonomi Kelembagaan Syariah, ( Surabaya: CV. Putra MediaNusantara, 2009)
  • Hendi Sehendi, Fiqih Muamalah (Membahas Ekonomi Islam Kedudukan Harta, Hak Milik,Jual Beli, Bunga Bank dan Riba, Musyawarah, Ijarah, Mudayanah, koperasi, asuransi, etika bisnis dan lain-lain, (Jakarta :raja Grafindo Persada, 2002)
  • Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah, (Pustaka Setia : Bandung: 2009)
  • Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah ,Juz III, Bairut : Daar al-Kitab, 1996 Abdul Aziz Dahlan, Norma dan Etika Ekonomi islam, (Jakarta : Jakarta, Gema insane Press, 1997)
  • Rachmad Syafi’i, Fiqih Muamlah, (Bandung: Gema Insani, 2000)
  • Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarata: Fustaka firdaus,1995), Cet. Ke-6, Jilid 3
  • Muhammad, Lembaga Ekonomi Syariah, ( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), Cet. Ke-1, Jilid 1
  • Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, Cet. XX, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987
  • Al-Ustadz Idris Ahmad, Fiqh Syafi‟iyyah, (Jakarta: Widjaya, t.th)
  • H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo Bandung: 2011), Cet. 52

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »


EmoticonEmoticon