Harta benda wakaf adalah segala benda, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai atau bernilai menurut ajaran Islam. Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh waqif secara sah.
Tentang perubahan status, penggantian benda dan tujuan wakaf, sangat ketat pengaturannya dalam mazhab Syafi’i. Namun demikian, berdasarkan keadaan darurat dan prinsip maslahat, dikalangan para ahli hukum (fikih) Islam mazhab lain, perubahan itu dapat dilakukan. Ini didasarkan pada agar manfaat wakaf itu tetap berlangsung sebagai shadaqah jariyah, tidak mubazir karena rusak, tidak berfungsi lagi dan sebagainya.
Seperti diketahui bahwa hukum Islam menganjurkan agar setiap orang muslim yang memiliki harta kekayaan supaya tidak hanya menggunakan hartanya untuk keperluan diri sendiri atau keluarga saja, akan tetapi harus diperuntukkan bagi keperluan umum, dengan ancaman bahwa orang-orang yang enggan membelanjakan hartanya akan ditimpa bencana seolah-olah seluruh tubuhnya dengan api, dan mereka akan digantikan oleh orang-orang yang bersedia mempergunakan hartanya untuk keperluan umum.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Imran (3) : 92 yang Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Memanfaatkan benda wakaf berarti menggunakan benda wakaf tersebut. Sedang benda asalnya atau benda pokoknya tetap tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Berdasarkan hadis rasulallah SAW kepada Umar Bin Khatab r.a :
تَصَدَّقَ بِأَصْلِهِ ، وَلَا يُباُعُ وَلاَ يُوْهَبُ وَلَا يُوْرَثُ (رواه البخاري, و مسلم)
Artinya: Bersedekah pokoknya, dan tidak boleh dijual, dihibahkan dan diwariskan. (H.R Bukhari dan Muslim).
Hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim:
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَا لَ: َأَصَا بَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ, فَأَتَي الَّنبِيَّ صَلَي الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَسْتَأْ مِرُهُ فِيْهَا، فَقَالَ: يَا رَ سُوْلَ الله! إِنِّيْ أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَا لًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِيْ مِنْهَ. قَا لَ: إِ نْ شِعْتَ حَبَسْتَ أَصِلَهَا , وَتَصَدَّقْتَ بِهَا. قَا لَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ , غَيْرَ اَنَّهُ لَا يُبَا عُ أَ صْلُهَا وَ لَا ُيوْرَثُ وَلَايُوْهِبُ , فَتَصَدَّقَ بِهَا فِيْ اْلفُقَرَاءِ , وَ فَيْ الْقُرْبَي , َوفِي الرّقَابِ , وَفِي سَّبِيْلِ الله , وَابْنِ السَّبِيلِ , وَ الضَّيْفِ , لَا جُنَا حَ عَلَي مِنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْ كُلَ مِنْهَ بِلْ لمَعْرُوْفِ , وَ يُطْعِمَ صَدِيْقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالًا . (متفق عليه, واللفظ لمسلم)
Artinya: Ibnu Umar berkata, Umar r.a memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu menghadap Nabi SAW. Untuk meminta petunjuk dalam mengurusnya. Ia berkata, “wahai Rasulallah, aku memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang menurutku aku belum pernah memperoleh tanah yang lebih baik dari padanya.” Beliau bersabda, “jika engkau mau, wakafkanlah pohonnya dan sedekahkanlah hasil (buah)nya.” Ibnu Umar berkata, lalu Umar mewakafkannya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, diwariskan, dan diberikan. Hasilnya disedekahkan kepada kaum fakir, kaum kerabat, para hamba sahaya, orang yang berada di jalan Allah, musafir yang kehabisan bekal, dan tamu. Pengelolaannya boleh memakannya dengan sepantasnya dan memberi makan sahabat yang tidak berharta.” (Mutafaq ‘alaih dan lafazhnya menurut riwayat muslim).
Namun kalau suatu ketika benda wakaf itu sudah tidak ada manfaatnya atau kurang memberi manfaat banyak atau demi kepentingan umum kecuali harus melakukan perubahan pada benda wakaf tersebut, seperti menjual, merubah bentuk atau sifat, memindahkan ketempat lain atau menukar dengan benda lain. Dalam pandangan fiqih tentang ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain melarangnya. Sebagian ulama Syafi’iyah (ulama bermazhab Syafi’i) dan Malikiyah (ulama bermazhab Maliki) berpendapat, bahwa benda wakaf yang sudah tidak berfungsi tetap tidak boleh dijual, ditukar, atau diganti dan dipindahkan. Karena dasar wakaf itu sendiri bersifat abadi, sehingga kondisi apapun benda wakaf tersebut harus dibiarkan sedemikian rupa. Dasar yang digunakan oleh mereka adalah hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, dimana dikatakan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.
Namun dilain pihak, benda wakaf yang sudah tidak berfungsi atau kurang berfungsi lagi dimana sudah tidak sesuai lagi dengan peruntukkan yang dimaksud siwakif, maka Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Abu Tsaur, dan Ibnu Thaimiyah berpendapat tentang bolehnya menjual, mengubah, mengganti, atau memindahkan benda wakaf tersebut. Kebolehan itu baik dengan alasan supaya benda wakaf tersebut bisa berfungsi atau mendatangkan maslahat sesuai dengan tujuan wakaf, atau untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar bagi kepentingan umum, khususnya kaum muslimin.
Dalil atau argumentasi yang digunakan Imam Ahmad adalah ketika ‘Umar Bin Khata r.a memindahkan masjid kufah yang lama dijadikan pasar bagi penjual-penjual kurma. Ini adalah penggantian tanah masjid. Adapun penggantian bangunannya dengan bangunan lain, maka ‘Umar dan ‘Utsman pernah membangun masjid nabawi tanpa mengikuti konstruksi pertama dan melakukan tambahan dan perluasan. Demikian yang terjadi pada masjidil haram sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, bahwa Rasulallah SAW bersabda kepada Aisyah r.a: “seandainya kaummu itu bukan masih dekat dengan jahiliyah, tentulah ka’bah itu akan aku runtuhkan dan aku jadikan dalam bentuk rendah serta aku jadikan baginya dua pintu, satu untuk masuk dan satu untuk keluar.”
Seandainya ada alasan yang kuat tentulah Rasulallah SAW akan mengubah bangunan ka’bah. Oleh karena itu diperbolehkan mengubah bangunan wakaf dari satu bentuk ke bentuk lainnya demi kemaslahatan yang mendesak. Adapun mengganti tanah wakaf dengan tanah lain, Imam Ahmad telah menggariskan atas kebolehannya karena mengikuti sahabat-sahabat Rasul. Langkah yang dilakukan Umar r.a dalam hadis yang disebut diatas sangat masyhur dan tidak seorangpun yang mengingkarinya.
Ibnu Taimiyah membolehkan untuk mengubah atau mengalihkan wakaf dengan dua syarat: pertama, penggantian karena kebutuhan mendesak. Bila tidak mungkin lagi dimanfaatkan bisa dijual dan harganya dipergunakan untuk membeli apa-apa yang dapat menggantikannya. Bila masjid rusak dan tidak mungkin lagi digunakan atau diramaikan, maka tanahnya dapat dijual dan harganya dapat dipergunakan untuk membeli apa-apa yang dapat menggantikannya. Semua ini diperbolehkan, karena bila yang pokok tidak mencapai maksud, maka digantikan oleh yang lainnya. Kedua, penggantian karena kepentingan dan maslahat yang lebih kuat. Misalnya ada masjid yang sudah tidak layak guna bagi kaum muslimin setempat, maka boleh dijual dan digunakan untuk membangun masjid yang baru sehingga kaum muslimin dapat menggunakan dan memakmurkannya dengan maksimal.
Akan tetapi diantara sahabat-sahabatnya ada yang melarang menggantikan masjid, hadiah, dan tanah yang diwakafkan. Inilah pendapat Asy’Syafi’i dan lain-lain. Tetapi nash-nash, atsar-atsar dan qiyas menghendaki kebolehan menggantikannya karena suatu maslahat.
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf juga mengatur tentang perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah dianggap tidak atau kurang berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri, secara prinsip harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:
- Dijadikan jaminan
- Disita
- Dihibahkan
- Dijual
- Diwariskan
- Ditukar
- Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Namun ketentuan tersebut dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syari’ah.
Dengan demikian, perubahan dan atau pengalihan benda wakaf pada prinsipnya bisa dilakukan selama memenuhi syarat syarat tertentu dan dengan mengajukan alasan-alasan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-Undang yang berlaku. Ketatnya prosedur pengalihan dan atau perubahan benda wakaf itu bertujuan untuk meminimalisir penyimpangan peruntukan dan menjaga keutuhan harta wakaf agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang dapat merugikan eksistensi wakaf itu sendiri. Sehingga wakaf tetap menjadi alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak. Wakaf dapat dikatakan sah dan terlaksana dengan dua hal berikut ini:
- Perbuatan yang menunjukkannya. Misalnya, seseorang mendirikan sebuah masjid dan mengumandangkan adzan didalamnya. Dalam hal ini tidak dibutuhkan ketetapan hakim.
- Perkataan yang terdiri dari dua macam: perkataan jelas (sharih) dan perkataan dalam hati (kinayah). Perkataan yang jelas misalnya, “aku mewakafkan” atau “aku mendermakannya dijalan Allah” sedangkan perkataan dalam hati, misalnya, “aku menyedekahkan” diiringi niat untuk berwakaf”
Hukum memanfaatkan sebagian harta wakaf: orang yang mengurusi harta wakaf dibolehkan untuk memanfaatkan sebagian darinya. Berdasarkan hadis Ibnu Umar didalamnya disebutkan, “tidak ada dosa bagi orang yang mengurusinya untuk memanfaatkan sebagian darinya dengan cara yang patut”.
Para ulama mengatakan menegakkan wakaf itu sangat dianjurkan (mustahab) tetapi tidak wajib. Penegakan wakaf dalam kata lain menghilangkan hak wakif (orang yang mewakafkan) dan memindahkan kepemilikannya kepada Allah. Ketika wakaf itu dibuat, orang saleh atau sekelompok orang yang ditetapkan sebagai menejer wakaf. Dibeberapa tempat mereka disebut mutawalli, namun harta wakaf tidak diberikan kepada menejer itu. Pada suatu ketika wakaf dibuat akan selalu tetap menyisakan harta kekayaan wakaf dan tidak dapat berubah karateristiknya. Karena wakaf itu dilakukan untuk tujuan kesucian, maka harta kekayaan wakaf tidak diberikan kepada seseorang sebagai harta pusaka atau hibah. Wakaf itu dilakukan untuk kesejahteraan umum ada dua jenis, yaitu:
- Waqf al-ahli (wakaf keluarga), dibuat demi keselamatan dan kesejahteraan sanak kerabat dekat dari wakif (orang yang memberi wakaf) dan keluarganya terjamin pemenuhan kebutuhannya dalam semua keperluan hidupnya, dan lalu kembali kepada kemaslahatan kaum miskin setelah kematian mereka. Wakaf jenis ini dapat dibuat dalam harta yang bisa bergerak dan tidak bergerak.
- Waqf al-khayri (wakaf kebaikan), dibuat untuk memenuhi kebutuhan orang orang yatim, orang terlantar, orang buta, dan orang malang. Begitu pula wakaf dapat diciptakan untuk pemeliharaan mesjid, sekolah-sekolah, rumah sakit, tanah kuburan, dan tempat-tempat lain dalam skup kemaslahatan masyarakat.
SUMBER :
- Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Cet Ke- 1, (Jakarta: Kencana, 2012)
- Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988)
- Abdul Halim, Hukum Perwakafan Di Indonesia, (Pisangan: Ciputat press, 2005)
- Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Mahram dan Dalil-Dalil Hukum, (Jakarta: Gema Insani, 2013)
- Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 4, (Depok: Fathan Media Prima)
- A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)