Pengertian Subjective well being
Menurut Diener (2009) definisi subjective well-being dapat dibuat menjadi tiga kategori.Pertama, subjective well-being bukanlah sebuah pernyataan subjektif tetapi merupakan beberapa keinginan berkualitas yang ingin dimiliki seseorang.Kedua, subjective well-being merupakan sebuah penilaian secara menyeluruh dari kehidupan seseorang yang menunjuk pada berbagai macam kriteria.Ketiga, subjective well-being jika digunakan dalam percakapan sehari – hari yaitu dimanaperasaan positif lebih besar dari pada perasaan negatif. Veenhoven (dalam Eid & Larsen, 2008) mengatakan bahwa Diener mendifinisikan subjective well-being sebagai penilaian secara positif dan baik terhadap kehidupan. Seseorang dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi apabila mengalami kepuasan hidup dan sering bersuka cita, serta jarang mengalami emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan dan kemarahan (Diener,2009)
Diener & Suh (dalam Dodge dkk, 2012) mengatakan bahwa subjective well-being terdiri dari dua komponen yang saling berhubungan: Kepuasan hidup, dan perasaan menyenangkan. Perasaan menyenangkan ini menunjuk pada mood dan emosi, sedangkan kepuasan hidup menunjuk pada penilaian kognitif pada kepuasan dalam hidup.Veenhouven (Diener, 2009) menjelaskan bahwa subjective well-being merupakan tingkat di mana seseorang menilai kualitas kehidupannya sebagai sesuatu yang diharapkan dan merasakan emosi-emosi yang menyenangkan.
Berdasarkan definisi di atas dapat ditarik pokok pemikiran bahwa subjective well-beingmerupakan evaluasi subyektif seseorang mengenai kehidupannya, yang mencakup kepuasan hidup dan perasaan yang positif terhadap hidup.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subjective well-being adalah penilaian masing-masing individu terhadap kualitas hidup mereka. Seseorang yang indeks subjective well-being tinggi adalah orang yang puas dengan hidupnya dan sering merasa bahagia, serta jarang merasakan emosi yang tidak menyenangkan seperti sedih atau marah. Sebaliknya, seseorang yang indeks subjective well-being rendah adalah orang yang kurang puas dengan hidupnya, jarang merasa bahagia, dan lebih sering merasakan emosi yang tidak menyenangkan, seperti marah atau cemas.
Komponen Subjective Well Being
Menurut Diener (dalam Eid & Larsen, 2008) subjective well-being terbagi dalam dua komponen utama, yaitu :
- Komponen Kognitif (Kepuasan Hidup). Komponen kognitif adalah evaluasi terhadap kepuasan hidup. Kepuasan hidup adalah kondisi subyektif dari keadaan pribadi seseorang sehubungan rasa senang atau tidak senang sebagai akibat dari adanya dorongan atau kebutuhan yang ada dari dalam dirinya dan dihubungkan dengan kenyataan yang dirasakan Caplin (dalam Linsiya, 2015). Seorang individu yang dapat menerima diri dan lingkungan secara positif akan merasa puas dengan hidupnya Hurlock (dalam Wijayanti, 2010). Komponen kognitif subjective well-being ini juga mencakup area kepuasan / domain satisfaction individu di berbagai bidang kehidupannya seperti bidang yang berkaitan dengan diri sendiri, keluarga, kelompok teman sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan waktu luang. Dan hal ini sangat bergantung pada budaya dan bagaimana kehidupan seseorang itu terbentuk.
- Komponen Afektif. Komponen dasar dari subjective well-being adalah afek, di mana di dalamnya termasuk mood dan emosi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Diener (dalam Halim, 2015) menyebutkan Orang bereaksi dengan emosi yang menyenangkan ketika mereka meAnganggap sesuatu yang baik terjadi pada diri mereka, dan bereaksi dengan emosi yang tidak menyenangkanketika menganggap sesuatu yang buruk terjadi pada mereka, karenanya mood dan emosi bukan hanya menyenangkan dan tidak menyenangkan tetapi juga mengindikasikan apakah kejadian itu diharapkan atau tidak Afek negatif merepresentasikan mood dan emosi yang tidak menyenangkan, dan merefleksikan respon negatif yang dialami seseorang sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan, dan peristiwa yang mereka alami.
Diener & Lucas (dalam Halim, 2015) mengatakan dimensi afektif ini merupakan hal yang sentral untuk subjective well-being.Komponen afektif memiliki peranan dalam mengevaluasi well-being karena memberi kontribusi perasaan menyenangkan dan perasaan tidak menyenangkan.Kedua afek berkaitan dengan evaluasi seseorang karena emosi muncul dari evaluasi yang dibuat oleh orang tersebut.Afek positif meliputi simptom-simptom optimisme, kebahagiaan atau keceriaan dan aktif dalam segala bidang kehidupan. Sedangkan afek negatif merupakan kehadiran simptom yang menyatakan bahwa hidup tidak menyenangkan ditandai dengan emosi spesifik seperti sedih, susah, kecewa, gelisah dan khawatir. Komponen afektif ini menekankan pada pengalaman emosi menyenangkan baik yang pada saat ini sering dialami oleh seseorang ataupun hanya berdasarkan penilaiannya.Keseimbangan tingkat afek merujuk kepada banyaknya perasaan positif yang dialami dibandingkan dengan perasaan negatif.
Diener (dalam Halim, 2015) kepuasan hidup dan banyaknya afek positif dapat saling berkaitan, hal ini disebabkan oleh penilaian seseorang terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, masalah, dan kejadian-kejadian dalam hidupnya.Sekalipun keduahal ini berkaitan, namun keduannya berbeda, kepuasan hidup merupakan penilaian mengenai hidup seseorang secara menyeluruh, sedangkan afek positif terdiri dari reaksi-reaksi berkelanjutan terhadap kejadian-kejadian yang dialami.
Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well Being
Menurut Compton (dalam Alhamdu dkk, 2015). terdapat enam variabel yang dihubungkan dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup, yaitu:
- Harga diri positif. Harga diri yang tinggi akan menyebabkan seseorang memiliki kontrol yang baik terhadap rasa marah, mempunyai hubungan yang intim dan baik dengan orang lain, serta kapasitas produktif dalam pekerjaan. Hal ini akan menolong individu untuk mengembangkan kemampuan hubungan interpersonal yang baik dan menciptakan kepribadian yang sehat.
- Kontrol diri. Kontrol diri diartikan sebagai keyakinan individu bahwa ia akan mampu berperilaku dalam cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Kontrol diri ini akan mengaktifkan proses emosi, motivasi, perilaku dan aktifitas fisik. Dengan kata lain, kontrol diri akan melibatkan proses pengambilan keputusan, mampu mengerti, memahami serta mengatasi konsekuensi dari keputusan yang telah diambil serta mencari pemaknaan atas peristiwa tersebut.
- Self-Compassion. Self-compassion diartikan sebagai sikap belas kasih terhadap diri sendiri ketika menghadapi kesulitan.Self-compassion membuat seseorang lebih menyikapi segalakesulitan dan perasaan-perasaan negatif yang dirasakan secara lebih baik tanpa melibatkan reaksi yang berlebihan. Neff (2010) menjelaskan bahwa tingginya self- compassion pada diri seseorang akan berkorelasi positif dengan kepuasan hidup, kecerdasan emosional, interaksi sosial yang baik, kebijaksanaan, inisiatif diri, keingintahuan, kebahagiaan (well-being), optimisme, dan perasaan positif. Individu yang memiliki self-compassion cenderung mengalami lebih banyak kebahagiaan, optimisme, rasa ingin tahu, dan memberikan pengaruh positif daripada mereka yang tidak memiliki self-compassion.Dengan meredam emosi negatif seseorang dalam self-compassion, perasaan positif yang dihasilkan tersebut membantu menyeimbangkan perasaan yang negatif.Hal-hal tersebut menggambarkan bagaimana keadaan seharusnya yang bisa dicapai seseorang untuk mewujudkan subjective well-being.
- Ekstraversi. Individu dengan kepribadian ekstravert akan tertarik pada hal-hal yang terjadi di luar dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya. Penelitian Diener dkk (dalam Ariati, 2010) mendapatkan bahwa kepribadian ekstavert secara signifikan akan memprediksi terjadinya kesejahteraan individual. Orang-orang dengan kepribadian ekstravert biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, merekapun memiliki sensitivitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada orang lain.
- Optimis. Secara umum, orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara yangpositif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiiki impian dan harapan yang positif tentnag masa depan. Scheneider (dalam Ariati, 2010) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis akan tercipta bila sikap optimis yang dimiliki oleh individu bersifat realistis.
- Relasi sosial yang positif. Relasi sosial yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman emosional. Hubungan yang didalamnya ada dukungan dan keintiman akan membuat individu mampu mengembangkan harga diri, meminimalkan masalah- masalah psikologis, kemampuan pemecahan masalah yang adaptif, dan membuat individu menjadi sehat secara fisik.
- Memiliki arti dan tujuan dalam hidup. Dalam beberapa kajian, arti dan tujuan hidup sering dikaitkan dengan konsep religiusitas. Penelitian melaporkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan religi yang besar, memiliki kesejahteraan psikologis yang besar.