Pengertian Resiliensi

Pengertian Resiliensi

Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan, bertahan dalam keadaan yang tertekan dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich dkk dalam Setiawan & Pratitis, 2015). Resiliensi yaitu kemampuan seseorang individu untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya untuk membantu kesuksesan proses beradaptasi dengan segala keadaan dan mengembangkan seluruh kemampuannya, walau berada dalam kondisi hidup tertekan baik secara eksternal maupun internal (Niaz dkk dalam Ruswahyuningsih &Afiatin, 2015). Rivich dan Shatte (dalam Nasution, 2011) mengatakan bahwa resiliensi merupakan mind set yang memungkinkan manusia mencari berbagai pengalaman dan memandang hidupnya sebagai suatu kegiatan yang sedang berjalan.

Grotberg (dalam Rahmati & Siregar, 2012) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Perkembangan resiliensi penting untuk dicapai karena pada fase remaja terjadi banyak perubahan fisik, psikis dan sosial, perbuahan-perubahan ini menuntut remaja untuk menjadi dewasa seperti yang diharapkan lingkungan (Santrock dalam Mulia dkk, 2014).

Menurut Schoon (dalam Nasution, 2011) resiliensi merupakan proses dinamis dimana individu menunjukkan fungsi adaptif dalam menghadapi adversity yang berperan penting bagi dirinya. Benard (dalam Nasution, 2011) mendefenisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bangkit dengan sukses walaupun mengalami situasi yang penuh resiko yang tergolong parah. Wolins (dalam Hidayati, 2014) mengatakan resiliensi adalah kemampuan luar biasa yang dimiliki individu dalam menghadapi kesulitan, untuk bangkit dari kesulitan yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis sehat.

Resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat bertahan dalam menghadapi cobaan serta untuk mempertahankan kehidupan yang baik dan seimbang setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat (Tugade & Frederikson dalam Aisha, 2014). Individu yang resilien mampu pulih kembali (bounce back) setelah mengalami kondisi yang sulit, individu akan mengalami peningkatan kualitas dan kemampuan diri, individu yang resilien akan mampu beradaptasi secara positif dari tekanan yang dialaminya (Resnick dalam Aisha, 2014).

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan serta kemampuan seseorang individu untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya untuk membantu kesuksesan proses beradaptasi dengan segala keadaan dan mengembangkan seluruh kemampuannya, walau berada dalam kondisi hidup tertekan baik secara eksternal maupun internal serta kemampuan luar biasa yang dimiliki individu dalam menghadapi kesulitan, untuk bangkit dari kesulitan yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis sehat.

Aspek resiliensi

Reivich & Shatte (dalam Nasution, 2011) memaparkan terdapat tujuh aspek yang membentuk resiliensi, yaitu:
  1. Pengaturan emosi, merupakan kemampuan individu untuk dapat mengatur emosi.
  2. Pengendalian implus, adalah kemampuan individu untuk mengendalikan implus atau dorongan-dorongan di dalam dirinya.
  3. Empati, adalah kemampuan individu untuk mengerti dan memahami perasaan dan psikologis orang lain.
  4. Efikasi diri, adalah keyakinan individu untuk dapat menghadapi dan menyelesaikan masalah.
  5. Optimisme, merupakan kemampuan individu untuk yakin bahwa sesuatu akan berubah menjadi lebih baik.
  6. Analisis penyebab masalah. Hal ini merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasi penyebab permasalahan individu secara akurat.
  7. Reaching out (pencapaian) diartikan sebagai kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek positif dalam dirinya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat tujuh aspek dalam resiliensi yang merupakan kemampuan individu dalam pembentukkan resiliensi.

Faktor yang mempengaruhi resiliensi

Menurut Resnick, Gwyter & Roberto (dalam Iqbal, 2011) terdapat empat faktor yang mempengaruhi resiliensi pada individu, yaitu: self-esteem, dukungan sosial, spritualitas atau keberagamaan dan emosi positif.
  1. Self-esteem. Memiliki self-esteem yang baik pada usia lanjut dapat membantu individu dalam menghadapu kesengsaraan. Dua data dari hasil penelitian yang lebih luas yang dilakukan oleh Collins & Smyer (dalam, Iqbal, 2011 , bertujuan menggali self-esteem sepanjang kehidupan manusia (yang dilakukan selama periode tiga tahun), pada individu yang mengalami stres pada usia lanjut (memiliki beban finansial). Para partisipan menyelesaikan alat ukur self-esteem, nilai dan perasaan kehilangan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi sedikit penurunan self-esteem pada individu meskipun mereka menghadapi kehilangan. Kemudian, ketika mereka mengalami kehilangan yang sangat berarti, seperti “merasa terpukul”, tidak mengurangi self esteem yang dimiliki, meskipun individu terebut teridentifikasi sebagai individu yang sehat, begitu juga yang memiliki penyakit, tidak menghasilkan perubahan yang berarti pada self-esteem.
  2. Dukungan social. Dukungan sosial sering dihubungkan dengan resiliensi (Hildon, dalam Iqbal, 2011). Penelitian lain menunjukkan bahwa resiliensi dan dukungan emosional (bukan dukungan instrumen) menghasilkan kualitas hidup yang lebih tinggi pada individu usia lanjut (Netuveli & Blane dalam Iqbal, 2011). Penelitian pada orang dewasa di New York , Poindexter dan Shippy (dalam Iqbal, 2011) yang dilakukan pada partisipan yang mengalami positif HIV, menunjukkan bahwa jaringan dukungan sosial yang unik berkontribusi pada resiliensi.
  3. Spritualitas (sprituality). Faktor lain yang mempengaruhi resiliensi dalam menghadapi tekanan dan penderitaan adalah ketabahan (hardiness) dan keberagamaan (religiousness) serta spritualitas (sprituality) (Maddi dalam Iqbal, 2011). Spritualitas membutuhkan suatu pencarian di alam semesta, suatu panadangan bahwa dunia lebih luas daripada diri sendiri, spritualitas juga berarti ketaatan pada suatu ajaran (agama) yang spesifik. Penelitian tentang ketabahan, keberagamaan dan spritualitas menunjukkan kualitas-kualitas yang membantu individu dalam mengatasi kondisi stres dalam hidup dan menyediakan perlindungan pada individu dan menghadapi depresi dan stres (Maddi et al dalam Iqbal, 2011). Aspek positif dari spritualitas juga turut membantu individu dalam memulihkan perasaan kontrol diri disaat sakit, dan membantu membantu perkembangan adaptasi saat sakit kronis dan tidak seimbang (Crowther dalam Iqbal,2011). Pada suatu hasil penelitian, spritualitas memiliki hubungan dengan resiliensi pada orang yang selamat dari penyakit kanker, meskipun individu tersebut memiliki resiko lebih dalam mengembangkan depresi dan kecemasan, tetapi tingkat spritualitas dari personal mereka tumbuh lebih baik setelah pemulihan (Costano at al dalam Iqbal, 2011).
  4. Emosi positif (Positif Emotions). Bereaksi dengan emosi yang positif saat mengalami krisis dapat menjadi cara dalam menurunkan dan mengatasi respon stres secara lebih efektif (Davis et al dalam Iqbal, 2011). Kemudian emosi positif juga dapat menjadi pelindung dalam meghadapi ancaman terhadap ego. Perangkat teori ini dibangun dan dikembangkan oleh Fredrickson pada tahun 1998 yang menyatakan bahwa manusia yang berkembang, emosi positif telah membantu dalam beradaptasi terhadap situasi-situasi stres. Secara spesifik, respon negatif terhadap stres (respon melawan atau menghindar) adalah sifat yang terbatas, karena memilih respon positif selama mengalami stres memungkinkan beragam respon yang lebih luas.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi resiliensi pada individu yaitu self-esteem, dukungan sosial, spritualitas atau keberagamaan dan emosi positif.

Karakteristik resiliensi

Grotberg (dalam Iqbal, 2011) menjelaskan karakteristik resiliensi dalam tiga hal, yaitu: I Have, I am, dan I can.
  1. I have (External Supports). I have adalah dimensi resiliensi yang mencakup dukungan dari luar terhadap individu, yaitu individu merasa memiliki keluarga, dan orang-arang yang mendukung dan peduli terhadapnya. Dimensi ini secara spesifik mencakup:
    1. Aku memiliki orang-orang dalam keluargaku yang aku percayadan sayang padaku tanpa syarat.
    2. Aku memiliki orang-orang di luar keluargaku yang aku percaya tanpa syarat.
    3. Aku memiliki batasan dalam berperilaku (norma).
    4. Aku memiliki orang yang mendorongku untuk menjadi mandiri.
    5. Aku memiliki orang yang menjadi teladan yang baik.
    6. Aku memiliki akses terhadap kesehatan, pendidikan, dan sosial, serta pelayanan keamanan yang aku butuhkan.
    7. Aku memiliki keluarga dan komunitas yang stabi.
  2. I am (Inner Strengths). I am adalah dimensi resiliensi yang mencakup kekuatan atau potensi positif dari dalam diri, dimana individu merasa optimis, memiliki harga diri, dan empati terhadap orang lain. Dimensi ini secara spesifik mencakup:
    1. Aku adalah orang yang paling disukai orang.
    2. Aku adalah orang yang secara umum tenang danmemiliki sifa yang baik.
    3. Aku adalah orang yang memiliki cita-cita atau rencana untuk masa depan.
    4. Aku adalah orang yangmenghargai diri dan orang lain.
    5. Aku adalah orang yang bertanggung jawab pada perilaku sendiri dan menerima segala konsekuensi.
    6. Aku adalah orang yang percaya diri, opimis, penuh harapan dan keyakianan.
  3. I can (Interpersonal and problem-Solving Skills). I can adalah dimensi resiliensi yang mencakup hubungan interpersonal dan kemampuan dalam memecahkan masalah. Secara spesifik mencakup hal-hal berikut ini:
    1. Aku dapat menghasilkan ide-ide atau cara baru dalam melakukan sesuatu.
    2. Aku dapat mengerjakan suatu pekerjaan hingga selesai.
    3. Aku dapat melihat sebuah humor dan menggunakan humor tersebut untuk mengurangi tegangan.
    4. Aku dapat mengekspresikan pikiran dan perasaan saat berkomunikasi dengan orang lain. 
    5. Aku dapat memecahkan masalah pada beragam keadaan (akademik, pekerjaan,personal dan sosial)
    6. Aku dapat mengontrol perilaku (perasaan, dorongan, dan tindakan).
    7. Aku dapat memperoleh pertolongan ketika aku butuh.
Jadi dapat disimpulkan karakteristik resiliensi ada tiga yaitu I have, I am, I Can, mencakup dukungan dari luar terhadap individu, kekuatan atau potensi positif dari dalam diri individu, dan hubungan interpersonal dan kemampuan dalam memecahkan masalah.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »


EmoticonEmoticon