Dampak Workplace Spirituality

Dampak Workplace Spirituality

Pengertian Workplace Spirituality

Suatu perusahaan yang menerapkan workplace spirituality, akan menjadikan karyawannya merasa terhubung dan bermakna di tempat kerja, karyawan akan tampil lebih baik, muncul lebih sering, dan memberikan kontribusi yang lebih terhadap suasana yang lebih baik di tempat kerja. Selanjutnya, karyawan ingin lebih mengontrol pekerjaan mereka, lebih menyeimbangkan kehidupan kerja, dan karyawan akan lebih meningkatkan makna dalam pekerjaan mereka (Gull dan Doh dalam Khasawneh, 2011). Martin, et al (dalam Regu dan Chunha, 2008) menyatakan bahwa penerapan workplace spirituality akan merangsang karyawan untuk membentuk persepsi yang lebih positif terhadap organisasi sehingga karyawan akan mendapatkan perubahaan dan mencapai penyesuaian yang lebih baik melalui pekerjaan dengan kepuasaan yang lebih tinggi, berkomitmen terhadap organisasi, kesejahteraan organisasi, dan rendahnnya keingginan untuk melakukan turnover serta ketidak hadiran.

Menurut (Jalil, 2013) spiritualitas di tempat kerja adalah kesadaran manusia akan adanya relasi manusia dengan tuhan, mencangkup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan pengharapannya kepada yang mutlak, serta bagaimana individu mengekspresikan hubungan tersebut dalam kehidupan sehari- hari. Spiritualitas di tempat kerja tidak lagi terkungkung oleh aturan-aturan formal yang malah memberi peluang untuk berbuat curang, namun bermain dengan aturan-aturan moral, etika, dan kemanusiaan yang bermuara pada keadilan dan kejujuran. Dengan naungan spiritualitas di tempat kerja, bisnis dipahami sebagai ekosistem bukan medan perang, perusahaan adalah komonitas bukan mesin, manajemen adalah pelayanan bukan kontrol, manajer adalah coach bukan mandor, karyawan adalah sejawat bukan pembantu, motivasi datang dari visi bukan rasa takut, perubahan adalah pertumbuhan bukan penderitaan. Namun secara teoritis spiritualitas bukanlah agama, agama dikarakteristikkan dengan sebuah kepercayaan, praktik dan instuisi. Sementara spiritualitas hanyalah keterhubungan perasaan seseorang tuhan.

Workplace spirituality adalah kesadaran bahwa orang memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang bermakna dan berlangsung dalam konteks komunitas (Robbins & Judge, 2008). Menurut Giacalone & Jurkiewicz (dalam Miller & Ewest, 2011) workplace spirituality adalah kerangka dari nilai organisasi yang dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman transenden karyawan melalui proses pekerjaan dan perasaan terhubung dengan orang lain yang menghasilkan perasaan lengkap dan bahagia.

Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa workplace spirituality adalah kesadaran yang ada di dalam diri karyawan, merasa terhubung dan bermakna di tempat kerja membentuk persepsi yang lebih positif terhadap organisasi sehingga karyawan akan mendapatkan perubahaan dan mencapai penyesuaian yang lebih baik.

Dimensi Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) menyatakan tiga dimensi workplace spirituality, yaitu :
  1. Adanya makna dan tujuan mendalam dari pekerjaan yaitu menggambarkan bagaimana karyawan berinteraksi dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di level individu. Spiritualitas melihat pekerjaan tidak hanya sebagai suatu hal yang menarik dan menantang, namun juga mencari makna dan tujuan yang mendalam, menghidupkan mimpi seseorang dan menggambarkan kebutuhan hidup seseorang dengan mencari makna kerja dan berkontribusi terhadap orang lain. karyawan menikmati pekerjaan, merasa hidup karena pekerjaan, serta mendapat makna dan tujuan personal.
  2. Memiliki hubungan yang dalam dengan orang lain yaitu berfokus pada perilaku individu tingkat kelompok dan fokus pada interaksi pekerja dengan rekan kerjanya, melibatkan hubungan mental, emosi dan spiritual antara karyawan dalam organisasi. Hal ini membentuk dalamnya perasaan terhubung antar individu, adanya dukungan, kebebasan berekspresi, adanya perasaan terhubung dengan rekan kerja, karyawan mendukung satu sama lain, dan terhubung dengan tujuan bersama.
  3. Adanya perasaan terhubung dengan tujuan organisasi yaitu mengidentifikasi diri dengan misi dan nilai organisasi, dengan adanya perhatian organisasi terhadap karyawan, karyawan berkeinginan untuk bekerja di organisasi dengan tujuan yang tidak hanya menjadi perusahaan yang baik, namun menjadi organisasi yang memiliki etika atau integritas dan berkontribusi lebih besar daripada perusahaan biasa, yaitu kesejahteraan karyawan, pelanggan dan masyarakat.
Definisi dan Karakteristik Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) karakteristik kultur yang ada dalam workplace spirituality, yaitu :
  1. Kesadaran akan tujuan yang kuat. Organisasi spiritual akan mendasarkan budaya organisasi pada tujuan yang bermakna. Keuntungan organisasi bukanlah nilai utama, namun terilhami oleh tujuan yang diyakini penting dan bermakna.
  2. Fokus terhadap pengembangan individu. Organisasi spiritual menyadari makna dan nilai pada setiap manusia. Hal ini menjadikan organisasi tidak hanya sekedar menyediakan pekerjaan, namun mencoba menciptakan budaya dimana karyawan dapat belajar dan bertumbuh.
  3. Kepercayaan dan respek. Ciri organisasi spiritual adalah adanya sikap saling percaya, jujur, dan terbuka. Hal ini dapat menjadikan karyawan tidak takut untuk mengakui kesalahan mereka.
  4. Praktik kerja yang manusiawi. Organisasi spiritual menerapkan jadwal kerja fleksibel, imbalan berbasis kelompok dan organisasi, penyempitan kesenjangan gaji dan status, jaminan hak pekerja, pemberdayaan karyawan, dan keamanan kerja.
  5. Toleransi bagi ekspresi karyawan. Organisasi berbasis spiritual tidak akan menekan sisi emosional karyawan. Organisasi memberi ruang bagi karyawan untuk menjadi diri sendiri dalam mengutarakan suasana hati dan perasaan.
Dampak Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) menyatakan bahwa penerapan workplace spirituality memberi dampak positif pada kreativitas, kejujuran dan kepercayaan, pemenuhan personal, dan komitmen. Lebih lanjut, hal ini juga akan berpengaruh terhadap meningkatnya performansi organisasi.
  1. Kreativitas. Spiritualitas dapat menimbulkan kesadaran, kesadaran menimbulkan intuisi, dan intiuisi menimbulkan kreativitas. Spiritualitas juga menimbulkan kegembiraan dan kepuasaan sehingga karyawan dapat lebih kreatif sehingga dapat meningkatkan performansi organisasi dan kesuksesan finansial.
  2. Kejujuran dan kepercayaan . Kejujuran dan kepercayaan tidak dapat diragukan ada di seluruh transaksi bisnis. Kepercayaan antara organisasi dan karyawan memegang peran vital dalam performansi perusahaan. Ketidakpercayaan dapat menimbulkan masalah dan berdampak serius pada organisasi. Sementara itu, kepercayaan dapat menimbulkan performansi organisasi yang lebih baik, memperlancar pengambilan keputusan, komunikasi yag lebih baik, fokus pada pelanggan dan inovasi yang lebih baik.
  3. Pemenuhan personal. Penerapan spiritualitas akan menuntun karyawan merasa lengkap saat mereka datang ke tempat kerja. Hal ini akan menghasilkan derajat pemenuhan personal yang tinggi dan meningkatkan moral sehingga dapat meningkatkan performansi organisasi dan kesuksesan finansial. 
  4. Komitmen. Spiritualitas meningkatkan komitmen dengan menciptakan iklim penuh kepercayaan di tempat kerja. Komitmen ini tampak dalam bentuk komitmen afektif, yaitu karyawan mampu mengidentifikasi diri dengan tujuan organisasi dan karyawan mau membantu organisasi mencapai tujuan. 
  5. Performansi organisasi. Performansi organisasi dan kesuksesan finansial dapat meningkat seiring penerapan workplace spirituality. Hal ini disebabkan organisasi yang menerapkan spiritualitas secara nyata mendorong karyawan untuk membawa diri secara keseluruhan ke pekerjaan.
Definisi dan Karakteristik Workplace Spirituality

Definisi dan Karakteristik Workplace Spirituality

Pengertian Workplace Spirituality

Suatu perusahaan yang menerapkan workplace spirituality, akan menjadikan karyawannya merasa terhubung dan bermakna di tempat kerja, karyawan akan tampil lebih baik, muncul lebih sering, dan memberikan kontribusi yang lebih terhadap suasana yang lebih baik di tempat kerja. Selanjutnya, karyawan ingin lebih mengontrol pekerjaan mereka, lebih menyeimbangkan kehidupan kerja, dan karyawan akan lebih meningkatkan makna dalam pekerjaan mereka (Gull dan Doh dalam Khasawneh, 2011). Martin, et al (dalam Regu dan Chunha, 2008) menyatakan bahwa penerapan workplace spirituality akan merangsang karyawan untuk membentuk persepsi yang lebih positif terhadap organisasi sehingga karyawan akan mendapatkan perubahaan dan mencapai penyesuaian yang lebih baik melalui pekerjaan dengan kepuasaan yang lebih tinggi, berkomitmen terhadap organisasi, kesejahteraan organisasi, dan rendahnnya keingginan untuk melakukan turnover serta ketidak hadiran.

Menurut (Jalil, 2013) spiritualitas di tempat kerja adalah kesadaran manusia akan adanya relasi manusia dengan tuhan, mencangkup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan pengharapannya kepada yang mutlak, serta bagaimana individu mengekspresikan hubungan tersebut dalam kehidupan sehari- hari. Spiritualitas di tempat kerja tidak lagi terkungkung oleh aturan-aturan formal yang malah memberi peluang untuk berbuat curang, namun bermain dengan aturan-aturan moral, etika, dan kemanusiaan yang bermuara pada keadilan dan kejujuran. Dengan naungan spiritualitas di tempat kerja, bisnis dipahami sebagai ekosistem bukan medan perang, perusahaan adalah komonitas bukan mesin, manajemen adalah pelayanan bukan kontrol, manajer adalah coach bukan mandor, karyawan adalah sejawat bukan pembantu, motivasi datang dari visi bukan rasa takut, perubahan adalah pertumbuhan bukan penderitaan. Namun secara teoritis spiritualitas bukanlah agama, agama dikarakteristikkan dengan sebuah kepercayaan, praktik dan instuisi. Sementara spiritualitas hanyalah keterhubungan perasaan seseorang tuhan.

Workplace spirituality adalah kesadaran bahwa orang memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang bermakna dan berlangsung dalam konteks komunitas (Robbins & Judge, 2008). Menurut Giacalone & Jurkiewicz (dalam Miller & Ewest, 2011) workplace spirituality adalah kerangka dari nilai organisasi yang dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman transenden karyawan melalui proses pekerjaan dan perasaan terhubung dengan orang lain yang menghasilkan perasaan lengkap dan bahagia.

Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa workplace spirituality adalah kesadaran yang ada di dalam diri karyawan, merasa terhubung dan bermakna di tempat kerja membentuk persepsi yang lebih positif terhadap organisasi sehingga karyawan akan mendapatkan perubahaan dan mencapai penyesuaian yang lebih baik.

Dimensi Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) menyatakan tiga dimensi workplace spirituality, yaitu :
  1. Adanya makna dan tujuan mendalam dari pekerjaan yaitu menggambarkan bagaimana karyawan berinteraksi dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di level individu. Spiritualitas melihat pekerjaan tidak hanya sebagai suatu hal yang menarik dan menantang, namun juga mencari makna dan tujuan yang mendalam, menghidupkan mimpi seseorang dan menggambarkan kebutuhan hidup seseorang dengan mencari makna kerja dan berkontribusi terhadap orang lain. karyawan menikmati pekerjaan, merasa hidup karena pekerjaan, serta mendapat makna dan tujuan personal.
  2. Memiliki hubungan yang dalam dengan orang lain yaitu berfokus pada perilaku individu tingkat kelompok dan fokus pada interaksi pekerja dengan rekan kerjanya, melibatkan hubungan mental, emosi dan spiritual antara karyawan dalam organisasi. Hal ini membentuk dalamnya perasaan terhubung antar individu, adanya dukungan, kebebasan berekspresi, adanya perasaan terhubung dengan rekan kerja, karyawan mendukung satu sama lain, dan terhubung dengan tujuan bersama.
  3. Adanya perasaan terhubung dengan tujuan organisasi yaitu mengidentifikasi diri dengan misi dan nilai organisasi, dengan adanya perhatian organisasi terhadap karyawan, karyawan berkeinginan untuk bekerja di organisasi dengan tujuan yang tidak hanya menjadi perusahaan yang baik, namun menjadi organisasi yang memiliki etika atau integritas dan berkontribusi lebih besar daripada perusahaan biasa, yaitu kesejahteraan karyawan, pelanggan dan masyarakat.
Definisi dan Karakteristik Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) karakteristik kultur yang ada dalam workplace spirituality, yaitu :
  1. Kesadaran akan tujuan yang kuat. Organisasi spiritual akan mendasarkan budaya organisasi pada tujuan yang bermakna. Keuntungan organisasi bukanlah nilai utama, namun terilhami oleh tujuan yang diyakini penting dan bermakna.
  2. Fokus terhadap pengembangan individu. Organisasi spiritual menyadari makna dan nilai pada setiap manusia. Hal ini menjadikan organisasi tidak hanya sekedar menyediakan pekerjaan, namun mencoba menciptakan budaya dimana karyawan dapat belajar dan bertumbuh.
  3. Kepercayaan dan respek. Ciri organisasi spiritual adalah adanya sikap saling percaya, jujur, dan terbuka. Hal ini dapat menjadikan karyawan tidak takut untuk mengakui kesalahan mereka.
  4. Praktik kerja yang manusiawi. Organisasi spiritual menerapkan jadwal kerja fleksibel, imbalan berbasis kelompok dan organisasi, penyempitan kesenjangan gaji dan status, jaminan hak pekerja, pemberdayaan karyawan, dan keamanan kerja.
  5. Toleransi bagi ekspresi karyawan. Organisasi berbasis spiritual tidak akan menekan sisi emosional karyawan. Organisasi memberi ruang bagi karyawan untuk menjadi diri sendiri dalam mengutarakan suasana hati dan perasaan.
Dampak Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) menyatakan bahwa penerapan workplace spirituality memberi dampak positif pada kreativitas, kejujuran dan kepercayaan, pemenuhan personal, dan komitmen. Lebih lanjut, hal ini juga akan berpengaruh terhadap meningkatnya performansi organisasi.
  1. Kreativitas. Spiritualitas dapat menimbulkan kesadaran, kesadaran menimbulkan intuisi, dan intiuisi menimbulkan kreativitas. Spiritualitas juga menimbulkan kegembiraan dan kepuasaan sehingga karyawan dapat lebih kreatif sehingga dapat meningkatkan performansi organisasi dan kesuksesan finansial.
  2. Kejujuran dan kepercayaan . Kejujuran dan kepercayaan tidak dapat diragukan ada di seluruh transaksi bisnis. Kepercayaan antara organisasi dan karyawan memegang peran vital dalam performansi perusahaan. Ketidakpercayaan dapat menimbulkan masalah dan berdampak serius pada organisasi. Sementara itu, kepercayaan dapat menimbulkan performansi organisasi yang lebih baik, memperlancar pengambilan keputusan, komunikasi yag lebih baik, fokus pada pelanggan dan inovasi yang lebih baik.
  3. Pemenuhan personal. Penerapan spiritualitas akan menuntun karyawan merasa lengkap saat mereka datang ke tempat kerja. Hal ini akan menghasilkan derajat pemenuhan personal yang tinggi dan meningkatkan moral sehingga dapat meningkatkan performansi organisasi dan kesuksesan finansial. 
  4. Komitmen. Spiritualitas meningkatkan komitmen dengan menciptakan iklim penuh kepercayaan di tempat kerja. Komitmen ini tampak dalam bentuk komitmen afektif, yaitu karyawan mampu mengidentifikasi diri dengan tujuan organisasi dan karyawan mau membantu organisasi mencapai tujuan. 
  5. Performansi organisasi. Performansi organisasi dan kesuksesan finansial dapat meningkat seiring penerapan workplace spirituality. Hal ini disebabkan organisasi yang menerapkan spiritualitas secara nyata mendorong karyawan untuk membawa diri secara keseluruhan ke pekerjaan.
Dimensi Workplace Spirituality

Dimensi Workplace Spirituality

Pengertian Workplace Spirituality

Suatu perusahaan yang menerapkan workplace spirituality, akan menjadikan karyawannya merasa terhubung dan bermakna di tempat kerja, karyawan akan tampil lebih baik, muncul lebih sering, dan memberikan kontribusi yang lebih terhadap suasana yang lebih baik di tempat kerja. Selanjutnya, karyawan ingin lebih mengontrol pekerjaan mereka, lebih menyeimbangkan kehidupan kerja, dan karyawan akan lebih meningkatkan makna dalam pekerjaan mereka (Gull dan Doh dalam Khasawneh, 2011). Martin, et al (dalam Regu dan Chunha, 2008) menyatakan bahwa penerapan workplace spirituality akan merangsang karyawan untuk membentuk persepsi yang lebih positif terhadap organisasi sehingga karyawan akan mendapatkan perubahaan dan mencapai penyesuaian yang lebih baik melalui pekerjaan dengan kepuasaan yang lebih tinggi, berkomitmen terhadap organisasi, kesejahteraan organisasi, dan rendahnnya keingginan untuk melakukan turnover serta ketidak hadiran.

Menurut (Jalil, 2013) spiritualitas di tempat kerja adalah kesadaran manusia akan adanya relasi manusia dengan tuhan, mencangkup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan pengharapannya kepada yang mutlak, serta bagaimana individu mengekspresikan hubungan tersebut dalam kehidupan sehari- hari. Spiritualitas di tempat kerja tidak lagi terkungkung oleh aturan-aturan formal yang malah memberi peluang untuk berbuat curang, namun bermain dengan aturan-aturan moral, etika, dan kemanusiaan yang bermuara pada keadilan dan kejujuran. Dengan naungan spiritualitas di tempat kerja, bisnis dipahami sebagai ekosistem bukan medan perang, perusahaan adalah komonitas bukan mesin, manajemen adalah pelayanan bukan kontrol, manajer adalah coach bukan mandor, karyawan adalah sejawat bukan pembantu, motivasi datang dari visi bukan rasa takut, perubahan adalah pertumbuhan bukan penderitaan. Namun secara teoritis spiritualitas bukanlah agama, agama dikarakteristikkan dengan sebuah kepercayaan, praktik dan instuisi. Sementara spiritualitas hanyalah keterhubungan perasaan seseorang tuhan.

Workplace spirituality adalah kesadaran bahwa orang memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang bermakna dan berlangsung dalam konteks komunitas (Robbins & Judge, 2008). Menurut Giacalone & Jurkiewicz (dalam Miller & Ewest, 2011) workplace spirituality adalah kerangka dari nilai organisasi yang dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman transenden karyawan melalui proses pekerjaan dan perasaan terhubung dengan orang lain yang menghasilkan perasaan lengkap dan bahagia.

Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa workplace spirituality adalah kesadaran yang ada di dalam diri karyawan, merasa terhubung dan bermakna di tempat kerja membentuk persepsi yang lebih positif terhadap organisasi sehingga karyawan akan mendapatkan perubahaan dan mencapai penyesuaian yang lebih baik.

Dimensi Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) menyatakan tiga dimensi workplace spirituality, yaitu :
  1. Adanya makna dan tujuan mendalam dari pekerjaan yaitu menggambarkan bagaimana karyawan berinteraksi dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di level individu. Spiritualitas melihat pekerjaan tidak hanya sebagai suatu hal yang menarik dan menantang, namun juga mencari makna dan tujuan yang mendalam, menghidupkan mimpi seseorang dan menggambarkan kebutuhan hidup seseorang dengan mencari makna kerja dan berkontribusi terhadap orang lain. karyawan menikmati pekerjaan, merasa hidup karena pekerjaan, serta mendapat makna dan tujuan personal.
  2. Memiliki hubungan yang dalam dengan orang lain yaitu berfokus pada perilaku individu tingkat kelompok dan fokus pada interaksi pekerja dengan rekan kerjanya, melibatkan hubungan mental, emosi dan spiritual antara karyawan dalam organisasi. Hal ini membentuk dalamnya perasaan terhubung antar individu, adanya dukungan, kebebasan berekspresi, adanya perasaan terhubung dengan rekan kerja, karyawan mendukung satu sama lain, dan terhubung dengan tujuan bersama.
  3. Adanya perasaan terhubung dengan tujuan organisasi yaitu mengidentifikasi diri dengan misi dan nilai organisasi, dengan adanya perhatian organisasi terhadap karyawan, karyawan berkeinginan untuk bekerja di organisasi dengan tujuan yang tidak hanya menjadi perusahaan yang baik, namun menjadi organisasi yang memiliki etika atau integritas dan berkontribusi lebih besar daripada perusahaan biasa, yaitu kesejahteraan karyawan, pelanggan dan masyarakat.
Definisi dan Karakteristik Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) karakteristik kultur yang ada dalam workplace spirituality, yaitu :
  1. Kesadaran akan tujuan yang kuat. Organisasi spiritual akan mendasarkan budaya organisasi pada tujuan yang bermakna. Keuntungan organisasi bukanlah nilai utama, namun terilhami oleh tujuan yang diyakini penting dan bermakna.
  2. Fokus terhadap pengembangan individu. Organisasi spiritual menyadari makna dan nilai pada setiap manusia. Hal ini menjadikan organisasi tidak hanya sekedar menyediakan pekerjaan, namun mencoba menciptakan budaya dimana karyawan dapat belajar dan bertumbuh.
  3. Kepercayaan dan respek. Ciri organisasi spiritual adalah adanya sikap saling percaya, jujur, dan terbuka. Hal ini dapat menjadikan karyawan tidak takut untuk mengakui kesalahan mereka.
  4. Praktik kerja yang manusiawi. Organisasi spiritual menerapkan jadwal kerja fleksibel, imbalan berbasis kelompok dan organisasi, penyempitan kesenjangan gaji dan status, jaminan hak pekerja, pemberdayaan karyawan, dan keamanan kerja.
  5. Toleransi bagi ekspresi karyawan. Organisasi berbasis spiritual tidak akan menekan sisi emosional karyawan. Organisasi memberi ruang bagi karyawan untuk menjadi diri sendiri dalam mengutarakan suasana hati dan perasaan.
Dampak Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) menyatakan bahwa penerapan workplace spirituality memberi dampak positif pada kreativitas, kejujuran dan kepercayaan, pemenuhan personal, dan komitmen. Lebih lanjut, hal ini juga akan berpengaruh terhadap meningkatnya performansi organisasi.
  1. Kreativitas. Spiritualitas dapat menimbulkan kesadaran, kesadaran menimbulkan intuisi, dan intiuisi menimbulkan kreativitas. Spiritualitas juga menimbulkan kegembiraan dan kepuasaan sehingga karyawan dapat lebih kreatif sehingga dapat meningkatkan performansi organisasi dan kesuksesan finansial.
  2. Kejujuran dan kepercayaan . Kejujuran dan kepercayaan tidak dapat diragukan ada di seluruh transaksi bisnis. Kepercayaan antara organisasi dan karyawan memegang peran vital dalam performansi perusahaan. Ketidakpercayaan dapat menimbulkan masalah dan berdampak serius pada organisasi. Sementara itu, kepercayaan dapat menimbulkan performansi organisasi yang lebih baik, memperlancar pengambilan keputusan, komunikasi yag lebih baik, fokus pada pelanggan dan inovasi yang lebih baik.
  3. Pemenuhan personal. Penerapan spiritualitas akan menuntun karyawan merasa lengkap saat mereka datang ke tempat kerja. Hal ini akan menghasilkan derajat pemenuhan personal yang tinggi dan meningkatkan moral sehingga dapat meningkatkan performansi organisasi dan kesuksesan finansial. 
  4. Komitmen. Spiritualitas meningkatkan komitmen dengan menciptakan iklim penuh kepercayaan di tempat kerja. Komitmen ini tampak dalam bentuk komitmen afektif, yaitu karyawan mampu mengidentifikasi diri dengan tujuan organisasi dan karyawan mau membantu organisasi mencapai tujuan. 
  5. Performansi organisasi. Performansi organisasi dan kesuksesan finansial dapat meningkat seiring penerapan workplace spirituality. Hal ini disebabkan organisasi yang menerapkan spiritualitas secara nyata mendorong karyawan untuk membawa diri secara keseluruhan ke pekerjaan.
Pengertian Workplace Spirituality

Pengertian Workplace Spirituality

Pengertian Workplace Spirituality

Suatu perusahaan yang menerapkan workplace spirituality, akan menjadikan karyawannya merasa terhubung dan bermakna di tempat kerja, karyawan akan tampil lebih baik, muncul lebih sering, dan memberikan kontribusi yang lebih terhadap suasana yang lebih baik di tempat kerja. Selanjutnya, karyawan ingin lebih mengontrol pekerjaan mereka, lebih menyeimbangkan kehidupan kerja, dan karyawan akan lebih meningkatkan makna dalam pekerjaan mereka (Gull dan Doh dalam Khasawneh, 2011). Martin, et al (dalam Regu dan Chunha, 2008) menyatakan bahwa penerapan workplace spirituality akan merangsang karyawan untuk membentuk persepsi yang lebih positif terhadap organisasi sehingga karyawan akan mendapatkan perubahaan dan mencapai penyesuaian yang lebih baik melalui pekerjaan dengan kepuasaan yang lebih tinggi, berkomitmen terhadap organisasi, kesejahteraan organisasi, dan rendahnnya keingginan untuk melakukan turnover serta ketidak hadiran.

Menurut (Jalil, 2013) spiritualitas di tempat kerja adalah kesadaran manusia akan adanya relasi manusia dengan tuhan, mencangkup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan pengharapannya kepada yang mutlak, serta bagaimana individu mengekspresikan hubungan tersebut dalam kehidupan sehari- hari. Spiritualitas di tempat kerja tidak lagi terkungkung oleh aturan-aturan formal yang malah memberi peluang untuk berbuat curang, namun bermain dengan aturan-aturan moral, etika, dan kemanusiaan yang bermuara pada keadilan dan kejujuran. Dengan naungan spiritualitas di tempat kerja, bisnis dipahami sebagai ekosistem bukan medan perang, perusahaan adalah komonitas bukan mesin, manajemen adalah pelayanan bukan kontrol, manajer adalah coach bukan mandor, karyawan adalah sejawat bukan pembantu, motivasi datang dari visi bukan rasa takut, perubahan adalah pertumbuhan bukan penderitaan. Namun secara teoritis spiritualitas bukanlah agama, agama dikarakteristikkan dengan sebuah kepercayaan, praktik dan instuisi. Sementara spiritualitas hanyalah keterhubungan perasaan seseorang tuhan.

Workplace spirituality adalah kesadaran bahwa orang memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang bermakna dan berlangsung dalam konteks komunitas (Robbins & Judge, 2008). Menurut Giacalone & Jurkiewicz (dalam Miller & Ewest, 2011) workplace spirituality adalah kerangka dari nilai organisasi yang dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman transenden karyawan melalui proses pekerjaan dan perasaan terhubung dengan orang lain yang menghasilkan perasaan lengkap dan bahagia.

Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa workplace spirituality adalah kesadaran yang ada di dalam diri karyawan, merasa terhubung dan bermakna di tempat kerja membentuk persepsi yang lebih positif terhadap organisasi sehingga karyawan akan mendapatkan perubahaan dan mencapai penyesuaian yang lebih baik.

Dimensi Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) menyatakan tiga dimensi workplace spirituality, yaitu :
  1. Adanya makna dan tujuan mendalam dari pekerjaan yaitu menggambarkan bagaimana karyawan berinteraksi dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di level individu. Spiritualitas melihat pekerjaan tidak hanya sebagai suatu hal yang menarik dan menantang, namun juga mencari makna dan tujuan yang mendalam, menghidupkan mimpi seseorang dan menggambarkan kebutuhan hidup seseorang dengan mencari makna kerja dan berkontribusi terhadap orang lain. karyawan menikmati pekerjaan, merasa hidup karena pekerjaan, serta mendapat makna dan tujuan personal.
  2. Memiliki hubungan yang dalam dengan orang lain yaitu berfokus pada perilaku individu tingkat kelompok dan fokus pada interaksi pekerja dengan rekan kerjanya, melibatkan hubungan mental, emosi dan spiritual antara karyawan dalam organisasi. Hal ini membentuk dalamnya perasaan terhubung antar individu, adanya dukungan, kebebasan berekspresi, adanya perasaan terhubung dengan rekan kerja, karyawan mendukung satu sama lain, dan terhubung dengan tujuan bersama.
  3. Adanya perasaan terhubung dengan tujuan organisasi yaitu mengidentifikasi diri dengan misi dan nilai organisasi, dengan adanya perhatian organisasi terhadap karyawan, karyawan berkeinginan untuk bekerja di organisasi dengan tujuan yang tidak hanya menjadi perusahaan yang baik, namun menjadi organisasi yang memiliki etika atau integritas dan berkontribusi lebih besar daripada perusahaan biasa, yaitu kesejahteraan karyawan, pelanggan dan masyarakat.
Definisi dan Karakteristik Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) karakteristik kultur yang ada dalam workplace spirituality, yaitu :
  1. Kesadaran akan tujuan yang kuat. Organisasi spiritual akan mendasarkan budaya organisasi pada tujuan yang bermakna. Keuntungan organisasi bukanlah nilai utama, namun terilhami oleh tujuan yang diyakini penting dan bermakna.
  2. Fokus terhadap pengembangan individu. Organisasi spiritual menyadari makna dan nilai pada setiap manusia. Hal ini menjadikan organisasi tidak hanya sekedar menyediakan pekerjaan, namun mencoba menciptakan budaya dimana karyawan dapat belajar dan bertumbuh.
  3. Kepercayaan dan respek. Ciri organisasi spiritual adalah adanya sikap saling percaya, jujur, dan terbuka. Hal ini dapat menjadikan karyawan tidak takut untuk mengakui kesalahan mereka.
  4. Praktik kerja yang manusiawi. Organisasi spiritual menerapkan jadwal kerja fleksibel, imbalan berbasis kelompok dan organisasi, penyempitan kesenjangan gaji dan status, jaminan hak pekerja, pemberdayaan karyawan, dan keamanan kerja.
  5. Toleransi bagi ekspresi karyawan. Organisasi berbasis spiritual tidak akan menekan sisi emosional karyawan. Organisasi memberi ruang bagi karyawan untuk menjadi diri sendiri dalam mengutarakan suasana hati dan perasaan.
Dampak Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) menyatakan bahwa penerapan workplace spirituality memberi dampak positif pada kreativitas, kejujuran dan kepercayaan, pemenuhan personal, dan komitmen. Lebih lanjut, hal ini juga akan berpengaruh terhadap meningkatnya performansi organisasi.
  1. Kreativitas. Spiritualitas dapat menimbulkan kesadaran, kesadaran menimbulkan intuisi, dan intiuisi menimbulkan kreativitas. Spiritualitas juga menimbulkan kegembiraan dan kepuasaan sehingga karyawan dapat lebih kreatif sehingga dapat meningkatkan performansi organisasi dan kesuksesan finansial.
  2. Kejujuran dan kepercayaan . Kejujuran dan kepercayaan tidak dapat diragukan ada di seluruh transaksi bisnis. Kepercayaan antara organisasi dan karyawan memegang peran vital dalam performansi perusahaan. Ketidakpercayaan dapat menimbulkan masalah dan berdampak serius pada organisasi. Sementara itu, kepercayaan dapat menimbulkan performansi organisasi yang lebih baik, memperlancar pengambilan keputusan, komunikasi yag lebih baik, fokus pada pelanggan dan inovasi yang lebih baik.
  3. Pemenuhan personal. Penerapan spiritualitas akan menuntun karyawan merasa lengkap saat mereka datang ke tempat kerja. Hal ini akan menghasilkan derajat pemenuhan personal yang tinggi dan meningkatkan moral sehingga dapat meningkatkan performansi organisasi dan kesuksesan finansial. 
  4. Komitmen. Spiritualitas meningkatkan komitmen dengan menciptakan iklim penuh kepercayaan di tempat kerja. Komitmen ini tampak dalam bentuk komitmen afektif, yaitu karyawan mampu mengidentifikasi diri dengan tujuan organisasi dan karyawan mau membantu organisasi mencapai tujuan. 
  5. Performansi organisasi. Performansi organisasi dan kesuksesan finansial dapat meningkat seiring penerapan workplace spirituality. Hal ini disebabkan organisasi yang menerapkan spiritualitas secara nyata mendorong karyawan untuk membawa diri secara keseluruhan ke pekerjaan.
Workplace Spirituality

Workplace Spirituality

Pengertian Workplace Spirituality

Suatu perusahaan yang menerapkan workplace spirituality, akan menjadikan karyawannya merasa terhubung dan bermakna di tempat kerja, karyawan akan tampil lebih baik, muncul lebih sering, dan memberikan kontribusi yang lebih terhadap suasana yang lebih baik di tempat kerja. Selanjutnya, karyawan ingin lebih mengontrol pekerjaan mereka, lebih menyeimbangkan kehidupan kerja, dan karyawan akan lebih meningkatkan makna dalam pekerjaan mereka (Gull dan Doh dalam Khasawneh, 2011). Martin, et al (dalam Regu dan Chunha, 2008) menyatakan bahwa penerapan workplace spirituality akan merangsang karyawan untuk membentuk persepsi yang lebih positif terhadap organisasi sehingga karyawan akan mendapatkan perubahaan dan mencapai penyesuaian yang lebih baik melalui pekerjaan dengan kepuasaan yang lebih tinggi, berkomitmen terhadap organisasi, kesejahteraan organisasi, dan rendahnnya keingginan untuk melakukan turnover serta ketidak hadiran.

Menurut (Jalil, 2013) spiritualitas di tempat kerja adalah kesadaran manusia akan adanya relasi manusia dengan tuhan, mencangkup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan pengharapannya kepada yang mutlak, serta bagaimana individu mengekspresikan hubungan tersebut dalam kehidupan sehari- hari. Spiritualitas di tempat kerja tidak lagi terkungkung oleh aturan-aturan formal yang malah memberi peluang untuk berbuat curang, namun bermain dengan aturan-aturan moral, etika, dan kemanusiaan yang bermuara pada keadilan dan kejujuran. Dengan naungan spiritualitas di tempat kerja, bisnis dipahami sebagai ekosistem bukan medan perang, perusahaan adalah komonitas bukan mesin, manajemen adalah pelayanan bukan kontrol, manajer adalah coach bukan mandor, karyawan adalah sejawat bukan pembantu, motivasi datang dari visi bukan rasa takut, perubahan adalah pertumbuhan bukan penderitaan. Namun secara teoritis spiritualitas bukanlah agama, agama dikarakteristikkan dengan sebuah kepercayaan, praktik dan instuisi. Sementara spiritualitas hanyalah keterhubungan perasaan seseorang tuhan.

Workplace spirituality adalah kesadaran bahwa orang memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang bermakna dan berlangsung dalam konteks komunitas (Robbins & Judge, 2008). Menurut Giacalone & Jurkiewicz (dalam Miller & Ewest, 2011) workplace spirituality adalah kerangka dari nilai organisasi yang dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman transenden karyawan melalui proses pekerjaan dan perasaan terhubung dengan orang lain yang menghasilkan perasaan lengkap dan bahagia.

Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa workplace spirituality adalah kesadaran yang ada di dalam diri karyawan, merasa terhubung dan bermakna di tempat kerja membentuk persepsi yang lebih positif terhadap organisasi sehingga karyawan akan mendapatkan perubahaan dan mencapai penyesuaian yang lebih baik.

Dimensi Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) menyatakan tiga dimensi workplace spirituality, yaitu :
  1. Adanya makna dan tujuan mendalam dari pekerjaan yaitu menggambarkan bagaimana karyawan berinteraksi dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di level individu. Spiritualitas melihat pekerjaan tidak hanya sebagai suatu hal yang menarik dan menantang, namun juga mencari makna dan tujuan yang mendalam, menghidupkan mimpi seseorang dan menggambarkan kebutuhan hidup seseorang dengan mencari makna kerja dan berkontribusi terhadap orang lain. karyawan menikmati pekerjaan, merasa hidup karena pekerjaan, serta mendapat makna dan tujuan personal.
  2. Memiliki hubungan yang dalam dengan orang lain yaitu berfokus pada perilaku individu tingkat kelompok dan fokus pada interaksi pekerja dengan rekan kerjanya, melibatkan hubungan mental, emosi dan spiritual antara karyawan dalam organisasi. Hal ini membentuk dalamnya perasaan terhubung antar individu, adanya dukungan, kebebasan berekspresi, adanya perasaan terhubung dengan rekan kerja, karyawan mendukung satu sama lain, dan terhubung dengan tujuan bersama.
  3. Adanya perasaan terhubung dengan tujuan organisasi yaitu mengidentifikasi diri dengan misi dan nilai organisasi, dengan adanya perhatian organisasi terhadap karyawan, karyawan berkeinginan untuk bekerja di organisasi dengan tujuan yang tidak hanya menjadi perusahaan yang baik, namun menjadi organisasi yang memiliki etika atau integritas dan berkontribusi lebih besar daripada perusahaan biasa, yaitu kesejahteraan karyawan, pelanggan dan masyarakat.
Definisi dan Karakteristik Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) karakteristik kultur yang ada dalam workplace spirituality, yaitu :
  1. Kesadaran akan tujuan yang kuat. Organisasi spiritual akan mendasarkan budaya organisasi pada tujuan yang bermakna. Keuntungan organisasi bukanlah nilai utama, namun terilhami oleh tujuan yang diyakini penting dan bermakna.
  2. Fokus terhadap pengembangan individu. Organisasi spiritual menyadari makna dan nilai pada setiap manusia. Hal ini menjadikan organisasi tidak hanya sekedar menyediakan pekerjaan, namun mencoba menciptakan budaya dimana karyawan dapat belajar dan bertumbuh.
  3. Kepercayaan dan respek. Ciri organisasi spiritual adalah adanya sikap saling percaya, jujur, dan terbuka. Hal ini dapat menjadikan karyawan tidak takut untuk mengakui kesalahan mereka.
  4. Praktik kerja yang manusiawi. Organisasi spiritual menerapkan jadwal kerja fleksibel, imbalan berbasis kelompok dan organisasi, penyempitan kesenjangan gaji dan status, jaminan hak pekerja, pemberdayaan karyawan, dan keamanan kerja.
  5. Toleransi bagi ekspresi karyawan. Organisasi berbasis spiritual tidak akan menekan sisi emosional karyawan. Organisasi memberi ruang bagi karyawan untuk menjadi diri sendiri dalam mengutarakan suasana hati dan perasaan.
Dampak Workplace Spirituality

Menurut (Jalil, 2013) menyatakan bahwa penerapan workplace spirituality memberi dampak positif pada kreativitas, kejujuran dan kepercayaan, pemenuhan personal, dan komitmen. Lebih lanjut, hal ini juga akan berpengaruh terhadap meningkatnya performansi organisasi.
  1. Kreativitas. Spiritualitas dapat menimbulkan kesadaran, kesadaran menimbulkan intuisi, dan intiuisi menimbulkan kreativitas. Spiritualitas juga menimbulkan kegembiraan dan kepuasaan sehingga karyawan dapat lebih kreatif sehingga dapat meningkatkan performansi organisasi dan kesuksesan finansial.
  2. Kejujuran dan kepercayaan . Kejujuran dan kepercayaan tidak dapat diragukan ada di seluruh transaksi bisnis. Kepercayaan antara organisasi dan karyawan memegang peran vital dalam performansi perusahaan. Ketidakpercayaan dapat menimbulkan masalah dan berdampak serius pada organisasi. Sementara itu, kepercayaan dapat menimbulkan performansi organisasi yang lebih baik, memperlancar pengambilan keputusan, komunikasi yag lebih baik, fokus pada pelanggan dan inovasi yang lebih baik.
  3. Pemenuhan personal. Penerapan spiritualitas akan menuntun karyawan merasa lengkap saat mereka datang ke tempat kerja. Hal ini akan menghasilkan derajat pemenuhan personal yang tinggi dan meningkatkan moral sehingga dapat meningkatkan performansi organisasi dan kesuksesan finansial. 
  4. Komitmen. Spiritualitas meningkatkan komitmen dengan menciptakan iklim penuh kepercayaan di tempat kerja. Komitmen ini tampak dalam bentuk komitmen afektif, yaitu karyawan mampu mengidentifikasi diri dengan tujuan organisasi dan karyawan mau membantu organisasi mencapai tujuan. 
  5. Performansi organisasi. Performansi organisasi dan kesuksesan finansial dapat meningkat seiring penerapan workplace spirituality. Hal ini disebabkan organisasi yang menerapkan spiritualitas secara nyata mendorong karyawan untuk membawa diri secara keseluruhan ke pekerjaan.
Ciri ciri Work Engagement

Ciri ciri Work Engagement

Pengertian Work Engagement

Bakker dan Leiter (2010) mendefinisikan work engagement (keterlibatan kerja) sebagai konsep motivasi. Ketika terlibat, karyawan merasa terdoronguntuk berusaha menujutujuan yang menantang, mereka inginberhasilmelampaui dan menanggapisituasi dengan segera, dan karyawan mampu menerimakomitmen pribadi untuk mencapai tujuan tersebut.Work engagement mencerminkan pribadikaryawan yang energik dan antusias menerapkan energi tersebut kedalam pekerjaan mereka. Selain itu, work engagement mencerminkanperhatian yang intens terhadap suatu pekerjaan.

Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (dalam Bakker dan Leiter, 2010) mendefinisikan work engagement sebagai positivitas, pemenuhan kerja dari pusat pikiran yang dikarakteristikkan. Schaufeli, dkk (dalam Man dan Hadi, 2013) menyatakanbahwa work engagementmerupakan keadaan mental seseorang terkait dengan pekerjaan yang bersifat positif dan penuh ditandai denganvigor, dedication, dan absorption.Vigordikarakteristikkan oleh energi yang tinggidan ketahanan mental saat bekerja, keinginan untuk berinvestasi pada suatu pekerjaan dan tetap bertahan walaupun mengalami kesulitan. Dedicationmengacu pada seseorang yang sangat terlibat pada pekerjaannya dan merasakan signifikansi, antusias, terinspirasi, bangga, dan memperoleh tantangan dari pekerjaannya.Absorption dikarakteristikkan dengan berkonsentrasi penuh dan bahagia terlibat dalam pekerjaannya dimana hal ini mengakibatkan waktu terasa berlalu dengan cepat dan sulit memisahkan diri dari pekerjaan.

Schaufeli & Bakker (dalam Indrianti dan Hadi, 2012) menyatakan bahwa keterikatan kerja pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu model JD-R (job demand-resourcesmodel) dan modal psikologis (psychological capital). Model JD-R meliputi beberapa aspekseperti lingkungan fisik, sosial, dan organisasi, gaji, peluang untuk berkarir, dukungan supervisor dan rekan kerja, serta performance feedback.Sedangkan untuk modal psikologis meliputi kepercayaan diri (self efficacy), rasa optimis(optimism), harapan mengenai masa depan (hope), serta resiliensi (resilience).

Brown (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) memberikan definisi work engagement yaitu dimana seorang karyawan dikatakan work engagement dalam pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannyadan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain untuk organisasi. Karyawan dengan work engagement yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis pekerjaan yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu .

Federman(dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) work engagement adalah derajat dimana seorang karyawan mampu berkomitmen pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen tersebut ditentukan pada bagaimana mereka bekerja dan lamanya masa bekerja.

Prasetya dan Kato (dalam Mahendra, 2015) menyatakan bahwa karyawan akan termotivasi untuk bekerja dan dapat menunjukkan kinerja yag baik dengan adanya kompensasi yang akan mereka dapatkan dari perusahaan, seperti gaji yang tinggi dapat mempengaruhi keputusan dalam keterikatan kerja (work engagament), yang membuat karyawandapat bertahan pada pekerjaan mereka karena merasakan lingkungan pekerjaan yang mendukung.Karyawan yang memiliki tingkat keterikatan kerja yang tinggi akan menunjukkan performa terbaik mereka, hal ini karena karyawan tersebut menikmati pekerjaan yang mereka lakukan (Bakker dan Leiter, 2010).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan work engagement merupakankeadaan psikologis individu yang bersifat positif yang ditandai dengan usaha yang kuat secara fisik dan mental dalam bekerja serta perasaan terlibat yang kuat, bangga, dan penuh konsentrasi dalam bekerja.

Dimensi Work Engagement

Secara ringkas Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (dalam Bakker dan Leiter, 2010), menjelaskan mengenai dimensi yang terdapat dalam work engagement, yaitu:
  1. Vigor. Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja. Juga kemauan untuk menginvestasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
  2. Dedication. Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan.
  3. Absorption. Dalam bekerja karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan.
Menurut Macey, Schneider, Barbera & Young (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012), work engagement mencakup dua dimensi penting, yaitu:
  1. Work engagement sebagai energi psikis. Dimana karyawan merasakan pengalaman puncak (peak experience) dengan berada di dalam pekerjaan dan arus yang terdapat di dalam pekerjaan tersebut. Work engagement merupakan tendangan fisik dari perendaman diri dalam pekerjaan (immersion), perjuangan dalam pekerjaan (striving), penyerapan (absorption), fokus (focus) dan juga keterlibatan (involvement).
  2. Work engagement sebagai energi tingkah laku. Bagaimana work engagement terlihat oleh orang lain. Work engagement terlihat oleh orang lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa hasil. Tingkah laku yang terlihat dalam pekerjaan berupa:
    1. Karyawan akan berfikir dan bekerja secara proaktif, akan mengantisipasi kesempatan untuk mengambil tindakan dan akan mengambil tindakan dengan cara yang sesuai dengan tujuan organisasi.
    2. Karyawan yang engaged tidak terikat pada “job description”, mereka fokus pada tujuan dan mencoba untuk mencapai secara konsisten mengenai kesuksesan organisasi.
    3. Karyawan secara aktif mencari jalan untuk dapat memperluas kemampuan yang dimiliki dengan jalan yang sesuai dengan yang penting bagi visi dan misi perusahaan.
    4. Karyawan pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau situasi yang membingungkan.
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement

Menurut Schaufeli (dalam Arta, 2017) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement, diantaranya:
  1. Tuntutan Kerja (Job Demands). Job demands merupakan aspek-aspek fisik, sosial, maupun organisasi dari pekerjaan yang membutuhkan usaha terus menerus baik secara fisik maupun psikologis demi mencapai dan mempertahankannya.
  2. Job Resources. Job Resources merujuk pada aspek fisik, sosial maupun organisasional dari pekerjaan yang memungkinkan individu untuk mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, mencapai target pekerjaan, dan menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan personal.
  3. Salience of Job Resources. Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya pekerjaan yang dimiliki oleh individu.
  4. Personal Resources. Personal resources merujuk kepada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kepribadian, sifat, usia, dan lain-lain. Personal resources merupakan aspek diri dan pada umumnya dihubungkan dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu memanipulasi, mengontrol dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Beberapa tipikal personal resources antara lain: 
    1. Self-efficacy. Self-efficacy merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas/tuntutan dalam berbagai konteks.
    2. Organizational-based self-esteem. Organizational-based self-esteem didefenisikan sebagai tingkat keyakinan anggota organisasi bahwa mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam suatu organisasi.
    3. Optimism. Optimism berkaitan dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa dirinya mempunyai potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam hidupnya.
    4. Personality. Personality (kepribadian)berkaitan erat dengan work engagement dan proses burnout yang juga dapat dikarakteristikkan dengan watak atau perangai, menggunakan dimensi aktivasi dan kesenangan sebagai suatu kerangka kerja.
Ciri ciri Work Engagement

Karyawan yang memilikiwork engagement terhadap organisasi/ perusahaan memiliki karakteristik tertentu. Berbagai pendapat mengenai karakteristik karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi banyak dikemukakan dalam berbagai literatur, diantaranya Federman (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi dicirikan sebagai berikut:
  1. Fokus dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan juga pada pekerjaan yang berikutnya.
  2. Merasakan diri adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang lebih besar dari pada diri mereka sendiri.
  3. Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam membuat sebuah lompatan dalam pekerjaan.
  4. Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan tingkah laku yang dewasa.
Karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi akan bekerja lebih dari kata “cukup baik”, mereka bekerja dengan berkomitmen pada tujuan, menggunakan intelegensi untuk membuat pilihan bagaimana cara terbaik untuk menyelesaikan suatu tugas, memonitor tingkah laku mereka untuk memastikan apa yang mereka lakukan benar dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dan akan mengambil keputusan untuk mengkoreksi jika diperlukan (Thomas, dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012).
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement

Faktor Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement

Pengertian Work Engagement

Bakker dan Leiter (2010) mendefinisikan work engagement (keterlibatan kerja) sebagai konsep motivasi. Ketika terlibat, karyawan merasa terdoronguntuk berusaha menujutujuan yang menantang, mereka inginberhasilmelampaui dan menanggapisituasi dengan segera, dan karyawan mampu menerimakomitmen pribadi untuk mencapai tujuan tersebut.Work engagement mencerminkan pribadikaryawan yang energik dan antusias menerapkan energi tersebut kedalam pekerjaan mereka. Selain itu, work engagement mencerminkanperhatian yang intens terhadap suatu pekerjaan.

Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (dalam Bakker dan Leiter, 2010) mendefinisikan work engagement sebagai positivitas, pemenuhan kerja dari pusat pikiran yang dikarakteristikkan. Schaufeli, dkk (dalam Man dan Hadi, 2013) menyatakanbahwa work engagementmerupakan keadaan mental seseorang terkait dengan pekerjaan yang bersifat positif dan penuh ditandai denganvigor, dedication, dan absorption.Vigordikarakteristikkan oleh energi yang tinggidan ketahanan mental saat bekerja, keinginan untuk berinvestasi pada suatu pekerjaan dan tetap bertahan walaupun mengalami kesulitan. Dedicationmengacu pada seseorang yang sangat terlibat pada pekerjaannya dan merasakan signifikansi, antusias, terinspirasi, bangga, dan memperoleh tantangan dari pekerjaannya.Absorption dikarakteristikkan dengan berkonsentrasi penuh dan bahagia terlibat dalam pekerjaannya dimana hal ini mengakibatkan waktu terasa berlalu dengan cepat dan sulit memisahkan diri dari pekerjaan.

Schaufeli & Bakker (dalam Indrianti dan Hadi, 2012) menyatakan bahwa keterikatan kerja pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu model JD-R (job demand-resourcesmodel) dan modal psikologis (psychological capital). Model JD-R meliputi beberapa aspekseperti lingkungan fisik, sosial, dan organisasi, gaji, peluang untuk berkarir, dukungan supervisor dan rekan kerja, serta performance feedback.Sedangkan untuk modal psikologis meliputi kepercayaan diri (self efficacy), rasa optimis(optimism), harapan mengenai masa depan (hope), serta resiliensi (resilience).

Brown (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) memberikan definisi work engagement yaitu dimana seorang karyawan dikatakan work engagement dalam pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannyadan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain untuk organisasi. Karyawan dengan work engagement yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis pekerjaan yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu .

Federman(dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) work engagement adalah derajat dimana seorang karyawan mampu berkomitmen pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen tersebut ditentukan pada bagaimana mereka bekerja dan lamanya masa bekerja.

Prasetya dan Kato (dalam Mahendra, 2015) menyatakan bahwa karyawan akan termotivasi untuk bekerja dan dapat menunjukkan kinerja yag baik dengan adanya kompensasi yang akan mereka dapatkan dari perusahaan, seperti gaji yang tinggi dapat mempengaruhi keputusan dalam keterikatan kerja (work engagament), yang membuat karyawandapat bertahan pada pekerjaan mereka karena merasakan lingkungan pekerjaan yang mendukung.Karyawan yang memiliki tingkat keterikatan kerja yang tinggi akan menunjukkan performa terbaik mereka, hal ini karena karyawan tersebut menikmati pekerjaan yang mereka lakukan (Bakker dan Leiter, 2010).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan work engagement merupakankeadaan psikologis individu yang bersifat positif yang ditandai dengan usaha yang kuat secara fisik dan mental dalam bekerja serta perasaan terlibat yang kuat, bangga, dan penuh konsentrasi dalam bekerja.

Dimensi Work Engagement

Secara ringkas Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (dalam Bakker dan Leiter, 2010), menjelaskan mengenai dimensi yang terdapat dalam work engagement, yaitu:
  1. Vigor. Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja. Juga kemauan untuk menginvestasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
  2. Dedication. Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan.
  3. Absorption. Dalam bekerja karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan.
Menurut Macey, Schneider, Barbera & Young (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012), work engagement mencakup dua dimensi penting, yaitu:
  1. Work engagement sebagai energi psikis. Dimana karyawan merasakan pengalaman puncak (peak experience) dengan berada di dalam pekerjaan dan arus yang terdapat di dalam pekerjaan tersebut. Work engagement merupakan tendangan fisik dari perendaman diri dalam pekerjaan (immersion), perjuangan dalam pekerjaan (striving), penyerapan (absorption), fokus (focus) dan juga keterlibatan (involvement).
  2. Work engagement sebagai energi tingkah laku. Bagaimana work engagement terlihat oleh orang lain. Work engagement terlihat oleh orang lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa hasil. Tingkah laku yang terlihat dalam pekerjaan berupa:
    1. Karyawan akan berfikir dan bekerja secara proaktif, akan mengantisipasi kesempatan untuk mengambil tindakan dan akan mengambil tindakan dengan cara yang sesuai dengan tujuan organisasi.
    2. Karyawan yang engaged tidak terikat pada “job description”, mereka fokus pada tujuan dan mencoba untuk mencapai secara konsisten mengenai kesuksesan organisasi.
    3. Karyawan secara aktif mencari jalan untuk dapat memperluas kemampuan yang dimiliki dengan jalan yang sesuai dengan yang penting bagi visi dan misi perusahaan.
    4. Karyawan pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau situasi yang membingungkan.
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement

Menurut Schaufeli (dalam Arta, 2017) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement, diantaranya:
  1. Tuntutan Kerja (Job Demands). Job demands merupakan aspek-aspek fisik, sosial, maupun organisasi dari pekerjaan yang membutuhkan usaha terus menerus baik secara fisik maupun psikologis demi mencapai dan mempertahankannya.
  2. Job Resources. Job Resources merujuk pada aspek fisik, sosial maupun organisasional dari pekerjaan yang memungkinkan individu untuk mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, mencapai target pekerjaan, dan menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan personal.
  3. Salience of Job Resources. Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya pekerjaan yang dimiliki oleh individu.
  4. Personal Resources. Personal resources merujuk kepada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kepribadian, sifat, usia, dan lain-lain. Personal resources merupakan aspek diri dan pada umumnya dihubungkan dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu memanipulasi, mengontrol dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Beberapa tipikal personal resources antara lain: 
    1. Self-efficacy. Self-efficacy merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas/tuntutan dalam berbagai konteks.
    2. Organizational-based self-esteem. Organizational-based self-esteem didefenisikan sebagai tingkat keyakinan anggota organisasi bahwa mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam suatu organisasi.
    3. Optimism. Optimism berkaitan dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa dirinya mempunyai potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam hidupnya.
    4. Personality. Personality (kepribadian)berkaitan erat dengan work engagement dan proses burnout yang juga dapat dikarakteristikkan dengan watak atau perangai, menggunakan dimensi aktivasi dan kesenangan sebagai suatu kerangka kerja.
Ciri ciri Work Engagement

Karyawan yang memilikiwork engagement terhadap organisasi/ perusahaan memiliki karakteristik tertentu. Berbagai pendapat mengenai karakteristik karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi banyak dikemukakan dalam berbagai literatur, diantaranya Federman (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi dicirikan sebagai berikut:
  1. Fokus dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan juga pada pekerjaan yang berikutnya.
  2. Merasakan diri adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang lebih besar dari pada diri mereka sendiri.
  3. Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam membuat sebuah lompatan dalam pekerjaan.
  4. Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan tingkah laku yang dewasa.
Karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi akan bekerja lebih dari kata “cukup baik”, mereka bekerja dengan berkomitmen pada tujuan, menggunakan intelegensi untuk membuat pilihan bagaimana cara terbaik untuk menyelesaikan suatu tugas, memonitor tingkah laku mereka untuk memastikan apa yang mereka lakukan benar dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dan akan mengambil keputusan untuk mengkoreksi jika diperlukan (Thomas, dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012).
Dimensi Work Engagement

Dimensi Work Engagement

Pengertian Work Engagement

Bakker dan Leiter (2010) mendefinisikan work engagement (keterlibatan kerja) sebagai konsep motivasi. Ketika terlibat, karyawan merasa terdoronguntuk berusaha menujutujuan yang menantang, mereka inginberhasilmelampaui dan menanggapisituasi dengan segera, dan karyawan mampu menerimakomitmen pribadi untuk mencapai tujuan tersebut.Work engagement mencerminkan pribadikaryawan yang energik dan antusias menerapkan energi tersebut kedalam pekerjaan mereka. Selain itu, work engagement mencerminkanperhatian yang intens terhadap suatu pekerjaan.

Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (dalam Bakker dan Leiter, 2010) mendefinisikan work engagement sebagai positivitas, pemenuhan kerja dari pusat pikiran yang dikarakteristikkan. Schaufeli, dkk (dalam Man dan Hadi, 2013) menyatakanbahwa work engagementmerupakan keadaan mental seseorang terkait dengan pekerjaan yang bersifat positif dan penuh ditandai denganvigor, dedication, dan absorption.Vigordikarakteristikkan oleh energi yang tinggidan ketahanan mental saat bekerja, keinginan untuk berinvestasi pada suatu pekerjaan dan tetap bertahan walaupun mengalami kesulitan. Dedicationmengacu pada seseorang yang sangat terlibat pada pekerjaannya dan merasakan signifikansi, antusias, terinspirasi, bangga, dan memperoleh tantangan dari pekerjaannya.Absorption dikarakteristikkan dengan berkonsentrasi penuh dan bahagia terlibat dalam pekerjaannya dimana hal ini mengakibatkan waktu terasa berlalu dengan cepat dan sulit memisahkan diri dari pekerjaan.

Schaufeli & Bakker (dalam Indrianti dan Hadi, 2012) menyatakan bahwa keterikatan kerja pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu model JD-R (job demand-resourcesmodel) dan modal psikologis (psychological capital). Model JD-R meliputi beberapa aspekseperti lingkungan fisik, sosial, dan organisasi, gaji, peluang untuk berkarir, dukungan supervisor dan rekan kerja, serta performance feedback.Sedangkan untuk modal psikologis meliputi kepercayaan diri (self efficacy), rasa optimis(optimism), harapan mengenai masa depan (hope), serta resiliensi (resilience).

Brown (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) memberikan definisi work engagement yaitu dimana seorang karyawan dikatakan work engagement dalam pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannyadan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain untuk organisasi. Karyawan dengan work engagement yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis pekerjaan yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu .

Federman(dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) work engagement adalah derajat dimana seorang karyawan mampu berkomitmen pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen tersebut ditentukan pada bagaimana mereka bekerja dan lamanya masa bekerja.

Prasetya dan Kato (dalam Mahendra, 2015) menyatakan bahwa karyawan akan termotivasi untuk bekerja dan dapat menunjukkan kinerja yag baik dengan adanya kompensasi yang akan mereka dapatkan dari perusahaan, seperti gaji yang tinggi dapat mempengaruhi keputusan dalam keterikatan kerja (work engagament), yang membuat karyawandapat bertahan pada pekerjaan mereka karena merasakan lingkungan pekerjaan yang mendukung.Karyawan yang memiliki tingkat keterikatan kerja yang tinggi akan menunjukkan performa terbaik mereka, hal ini karena karyawan tersebut menikmati pekerjaan yang mereka lakukan (Bakker dan Leiter, 2010).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan work engagement merupakankeadaan psikologis individu yang bersifat positif yang ditandai dengan usaha yang kuat secara fisik dan mental dalam bekerja serta perasaan terlibat yang kuat, bangga, dan penuh konsentrasi dalam bekerja.

Dimensi Work Engagement

Secara ringkas Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (dalam Bakker dan Leiter, 2010), menjelaskan mengenai dimensi yang terdapat dalam work engagement, yaitu:
  1. Vigor. Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja. Juga kemauan untuk menginvestasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
  2. Dedication. Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan.
  3. Absorption. Dalam bekerja karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan.
Menurut Macey, Schneider, Barbera & Young (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012), work engagement mencakup dua dimensi penting, yaitu:
  1. Work engagement sebagai energi psikis. Dimana karyawan merasakan pengalaman puncak (peak experience) dengan berada di dalam pekerjaan dan arus yang terdapat di dalam pekerjaan tersebut. Work engagement merupakan tendangan fisik dari perendaman diri dalam pekerjaan (immersion), perjuangan dalam pekerjaan (striving), penyerapan (absorption), fokus (focus) dan juga keterlibatan (involvement).
  2. Work engagement sebagai energi tingkah laku. Bagaimana work engagement terlihat oleh orang lain. Work engagement terlihat oleh orang lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa hasil. Tingkah laku yang terlihat dalam pekerjaan berupa:
    1. Karyawan akan berfikir dan bekerja secara proaktif, akan mengantisipasi kesempatan untuk mengambil tindakan dan akan mengambil tindakan dengan cara yang sesuai dengan tujuan organisasi.
    2. Karyawan yang engaged tidak terikat pada “job description”, mereka fokus pada tujuan dan mencoba untuk mencapai secara konsisten mengenai kesuksesan organisasi.
    3. Karyawan secara aktif mencari jalan untuk dapat memperluas kemampuan yang dimiliki dengan jalan yang sesuai dengan yang penting bagi visi dan misi perusahaan.
    4. Karyawan pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau situasi yang membingungkan.
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement

Menurut Schaufeli (dalam Arta, 2017) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement, diantaranya:
  1. Tuntutan Kerja (Job Demands). Job demands merupakan aspek-aspek fisik, sosial, maupun organisasi dari pekerjaan yang membutuhkan usaha terus menerus baik secara fisik maupun psikologis demi mencapai dan mempertahankannya.
  2. Job Resources. Job Resources merujuk pada aspek fisik, sosial maupun organisasional dari pekerjaan yang memungkinkan individu untuk mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, mencapai target pekerjaan, dan menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan personal.
  3. Salience of Job Resources. Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya pekerjaan yang dimiliki oleh individu.
  4. Personal Resources. Personal resources merujuk kepada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kepribadian, sifat, usia, dan lain-lain. Personal resources merupakan aspek diri dan pada umumnya dihubungkan dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu memanipulasi, mengontrol dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Beberapa tipikal personal resources antara lain: 
    1. Self-efficacy. Self-efficacy merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas/tuntutan dalam berbagai konteks.
    2. Organizational-based self-esteem. Organizational-based self-esteem didefenisikan sebagai tingkat keyakinan anggota organisasi bahwa mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam suatu organisasi.
    3. Optimism. Optimism berkaitan dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa dirinya mempunyai potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam hidupnya.
    4. Personality. Personality (kepribadian)berkaitan erat dengan work engagement dan proses burnout yang juga dapat dikarakteristikkan dengan watak atau perangai, menggunakan dimensi aktivasi dan kesenangan sebagai suatu kerangka kerja.
Ciri ciri Work Engagement

Karyawan yang memilikiwork engagement terhadap organisasi/ perusahaan memiliki karakteristik tertentu. Berbagai pendapat mengenai karakteristik karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi banyak dikemukakan dalam berbagai literatur, diantaranya Federman (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi dicirikan sebagai berikut:
  1. Fokus dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan juga pada pekerjaan yang berikutnya.
  2. Merasakan diri adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang lebih besar dari pada diri mereka sendiri.
  3. Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam membuat sebuah lompatan dalam pekerjaan.
  4. Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan tingkah laku yang dewasa.
Karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi akan bekerja lebih dari kata “cukup baik”, mereka bekerja dengan berkomitmen pada tujuan, menggunakan intelegensi untuk membuat pilihan bagaimana cara terbaik untuk menyelesaikan suatu tugas, memonitor tingkah laku mereka untuk memastikan apa yang mereka lakukan benar dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dan akan mengambil keputusan untuk mengkoreksi jika diperlukan (Thomas, dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012).
Pengertian Work Engagement

Pengertian Work Engagement

Pengertian Work Engagement

Bakker dan Leiter (2010) mendefinisikan work engagement (keterlibatan kerja) sebagai konsep motivasi. Ketika terlibat, karyawan merasa terdoronguntuk berusaha menujutujuan yang menantang, mereka inginberhasilmelampaui dan menanggapisituasi dengan segera, dan karyawan mampu menerimakomitmen pribadi untuk mencapai tujuan tersebut.Work engagement mencerminkan pribadikaryawan yang energik dan antusias menerapkan energi tersebut kedalam pekerjaan mereka. Selain itu, work engagement mencerminkanperhatian yang intens terhadap suatu pekerjaan.

Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (dalam Bakker dan Leiter, 2010) mendefinisikan work engagement sebagai positivitas, pemenuhan kerja dari pusat pikiran yang dikarakteristikkan. Schaufeli, dkk (dalam Man dan Hadi, 2013) menyatakanbahwa work engagementmerupakan keadaan mental seseorang terkait dengan pekerjaan yang bersifat positif dan penuh ditandai denganvigor, dedication, dan absorption.Vigordikarakteristikkan oleh energi yang tinggidan ketahanan mental saat bekerja, keinginan untuk berinvestasi pada suatu pekerjaan dan tetap bertahan walaupun mengalami kesulitan. Dedicationmengacu pada seseorang yang sangat terlibat pada pekerjaannya dan merasakan signifikansi, antusias, terinspirasi, bangga, dan memperoleh tantangan dari pekerjaannya.Absorption dikarakteristikkan dengan berkonsentrasi penuh dan bahagia terlibat dalam pekerjaannya dimana hal ini mengakibatkan waktu terasa berlalu dengan cepat dan sulit memisahkan diri dari pekerjaan.

Schaufeli & Bakker (dalam Indrianti dan Hadi, 2012) menyatakan bahwa keterikatan kerja pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu model JD-R (job demand-resourcesmodel) dan modal psikologis (psychological capital). Model JD-R meliputi beberapa aspekseperti lingkungan fisik, sosial, dan organisasi, gaji, peluang untuk berkarir, dukungan supervisor dan rekan kerja, serta performance feedback.Sedangkan untuk modal psikologis meliputi kepercayaan diri (self efficacy), rasa optimis(optimism), harapan mengenai masa depan (hope), serta resiliensi (resilience).

Brown (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) memberikan definisi work engagement yaitu dimana seorang karyawan dikatakan work engagement dalam pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannyadan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain untuk organisasi. Karyawan dengan work engagement yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis pekerjaan yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu .

Federman(dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) work engagement adalah derajat dimana seorang karyawan mampu berkomitmen pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen tersebut ditentukan pada bagaimana mereka bekerja dan lamanya masa bekerja.

Prasetya dan Kato (dalam Mahendra, 2015) menyatakan bahwa karyawan akan termotivasi untuk bekerja dan dapat menunjukkan kinerja yag baik dengan adanya kompensasi yang akan mereka dapatkan dari perusahaan, seperti gaji yang tinggi dapat mempengaruhi keputusan dalam keterikatan kerja (work engagament), yang membuat karyawandapat bertahan pada pekerjaan mereka karena merasakan lingkungan pekerjaan yang mendukung.Karyawan yang memiliki tingkat keterikatan kerja yang tinggi akan menunjukkan performa terbaik mereka, hal ini karena karyawan tersebut menikmati pekerjaan yang mereka lakukan (Bakker dan Leiter, 2010).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan work engagement merupakankeadaan psikologis individu yang bersifat positif yang ditandai dengan usaha yang kuat secara fisik dan mental dalam bekerja serta perasaan terlibat yang kuat, bangga, dan penuh konsentrasi dalam bekerja.

Dimensi Work Engagement

Secara ringkas Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (dalam Bakker dan Leiter, 2010), menjelaskan mengenai dimensi yang terdapat dalam work engagement, yaitu:
  1. Vigor. Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja. Juga kemauan untuk menginvestasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
  2. Dedication. Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan.
  3. Absorption. Dalam bekerja karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan.
Menurut Macey, Schneider, Barbera & Young (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012), work engagement mencakup dua dimensi penting, yaitu:
  1. Work engagement sebagai energi psikis. Dimana karyawan merasakan pengalaman puncak (peak experience) dengan berada di dalam pekerjaan dan arus yang terdapat di dalam pekerjaan tersebut. Work engagement merupakan tendangan fisik dari perendaman diri dalam pekerjaan (immersion), perjuangan dalam pekerjaan (striving), penyerapan (absorption), fokus (focus) dan juga keterlibatan (involvement).
  2. Work engagement sebagai energi tingkah laku. Bagaimana work engagement terlihat oleh orang lain. Work engagement terlihat oleh orang lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa hasil. Tingkah laku yang terlihat dalam pekerjaan berupa:
    1. Karyawan akan berfikir dan bekerja secara proaktif, akan mengantisipasi kesempatan untuk mengambil tindakan dan akan mengambil tindakan dengan cara yang sesuai dengan tujuan organisasi.
    2. Karyawan yang engaged tidak terikat pada “job description”, mereka fokus pada tujuan dan mencoba untuk mencapai secara konsisten mengenai kesuksesan organisasi.
    3. Karyawan secara aktif mencari jalan untuk dapat memperluas kemampuan yang dimiliki dengan jalan yang sesuai dengan yang penting bagi visi dan misi perusahaan.
    4. Karyawan pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau situasi yang membingungkan.
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement

Menurut Schaufeli (dalam Arta, 2017) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement, diantaranya:
  1. Tuntutan Kerja (Job Demands). Job demands merupakan aspek-aspek fisik, sosial, maupun organisasi dari pekerjaan yang membutuhkan usaha terus menerus baik secara fisik maupun psikologis demi mencapai dan mempertahankannya.
  2. Job Resources. Job Resources merujuk pada aspek fisik, sosial maupun organisasional dari pekerjaan yang memungkinkan individu untuk mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, mencapai target pekerjaan, dan menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan personal.
  3. Salience of Job Resources. Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya pekerjaan yang dimiliki oleh individu.
  4. Personal Resources. Personal resources merujuk kepada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kepribadian, sifat, usia, dan lain-lain. Personal resources merupakan aspek diri dan pada umumnya dihubungkan dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu memanipulasi, mengontrol dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Beberapa tipikal personal resources antara lain: 
    1. Self-efficacy. Self-efficacy merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas/tuntutan dalam berbagai konteks.
    2. Organizational-based self-esteem. Organizational-based self-esteem didefenisikan sebagai tingkat keyakinan anggota organisasi bahwa mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam suatu organisasi.
    3. Optimism. Optimism berkaitan dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa dirinya mempunyai potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam hidupnya.
    4. Personality. Personality (kepribadian)berkaitan erat dengan work engagement dan proses burnout yang juga dapat dikarakteristikkan dengan watak atau perangai, menggunakan dimensi aktivasi dan kesenangan sebagai suatu kerangka kerja.
Ciri ciri Work Engagement

Karyawan yang memilikiwork engagement terhadap organisasi/ perusahaan memiliki karakteristik tertentu. Berbagai pendapat mengenai karakteristik karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi banyak dikemukakan dalam berbagai literatur, diantaranya Federman (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi dicirikan sebagai berikut:
  1. Fokus dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan juga pada pekerjaan yang berikutnya.
  2. Merasakan diri adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang lebih besar dari pada diri mereka sendiri.
  3. Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam membuat sebuah lompatan dalam pekerjaan.
  4. Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan tingkah laku yang dewasa.
Karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi akan bekerja lebih dari kata “cukup baik”, mereka bekerja dengan berkomitmen pada tujuan, menggunakan intelegensi untuk membuat pilihan bagaimana cara terbaik untuk menyelesaikan suatu tugas, memonitor tingkah laku mereka untuk memastikan apa yang mereka lakukan benar dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dan akan mengambil keputusan untuk mengkoreksi jika diperlukan (Thomas, dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012).
Work Engagement

Work Engagement

Pengertian Work Engagement

Bakker dan Leiter (2010) mendefinisikan work engagement (keterlibatan kerja) sebagai konsep motivasi. Ketika terlibat, karyawan merasa terdoronguntuk berusaha menujutujuan yang menantang, mereka inginberhasilmelampaui dan menanggapisituasi dengan segera, dan karyawan mampu menerimakomitmen pribadi untuk mencapai tujuan tersebut.Work engagement mencerminkan pribadikaryawan yang energik dan antusias menerapkan energi tersebut kedalam pekerjaan mereka. Selain itu, work engagement mencerminkanperhatian yang intens terhadap suatu pekerjaan.

Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (dalam Bakker dan Leiter, 2010) mendefinisikan work engagement sebagai positivitas, pemenuhan kerja dari pusat pikiran yang dikarakteristikkan. Schaufeli, dkk (dalam Man dan Hadi, 2013) menyatakanbahwa work engagementmerupakan keadaan mental seseorang terkait dengan pekerjaan yang bersifat positif dan penuh ditandai denganvigor, dedication, dan absorption.Vigordikarakteristikkan oleh energi yang tinggidan ketahanan mental saat bekerja, keinginan untuk berinvestasi pada suatu pekerjaan dan tetap bertahan walaupun mengalami kesulitan. Dedicationmengacu pada seseorang yang sangat terlibat pada pekerjaannya dan merasakan signifikansi, antusias, terinspirasi, bangga, dan memperoleh tantangan dari pekerjaannya.Absorption dikarakteristikkan dengan berkonsentrasi penuh dan bahagia terlibat dalam pekerjaannya dimana hal ini mengakibatkan waktu terasa berlalu dengan cepat dan sulit memisahkan diri dari pekerjaan.

Schaufeli & Bakker (dalam Indrianti dan Hadi, 2012) menyatakan bahwa keterikatan kerja pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu model JD-R (job demand-resourcesmodel) dan modal psikologis (psychological capital). Model JD-R meliputi beberapa aspekseperti lingkungan fisik, sosial, dan organisasi, gaji, peluang untuk berkarir, dukungan supervisor dan rekan kerja, serta performance feedback.Sedangkan untuk modal psikologis meliputi kepercayaan diri (self efficacy), rasa optimis(optimism), harapan mengenai masa depan (hope), serta resiliensi (resilience).

Brown (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) memberikan definisi work engagement yaitu dimana seorang karyawan dikatakan work engagement dalam pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannyadan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain untuk organisasi. Karyawan dengan work engagement yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis pekerjaan yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu .

Federman(dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) work engagement adalah derajat dimana seorang karyawan mampu berkomitmen pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen tersebut ditentukan pada bagaimana mereka bekerja dan lamanya masa bekerja.

Prasetya dan Kato (dalam Mahendra, 2015) menyatakan bahwa karyawan akan termotivasi untuk bekerja dan dapat menunjukkan kinerja yag baik dengan adanya kompensasi yang akan mereka dapatkan dari perusahaan, seperti gaji yang tinggi dapat mempengaruhi keputusan dalam keterikatan kerja (work engagament), yang membuat karyawandapat bertahan pada pekerjaan mereka karena merasakan lingkungan pekerjaan yang mendukung.Karyawan yang memiliki tingkat keterikatan kerja yang tinggi akan menunjukkan performa terbaik mereka, hal ini karena karyawan tersebut menikmati pekerjaan yang mereka lakukan (Bakker dan Leiter, 2010).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan work engagement merupakankeadaan psikologis individu yang bersifat positif yang ditandai dengan usaha yang kuat secara fisik dan mental dalam bekerja serta perasaan terlibat yang kuat, bangga, dan penuh konsentrasi dalam bekerja.

Dimensi Work Engagement

Secara ringkas Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (dalam Bakker dan Leiter, 2010), menjelaskan mengenai dimensi yang terdapat dalam work engagement, yaitu:
  1. Vigor. Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja. Juga kemauan untuk menginvestasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
  2. Dedication. Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan.
  3. Absorption. Dalam bekerja karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan.
Menurut Macey, Schneider, Barbera & Young (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012), work engagement mencakup dua dimensi penting, yaitu:
  1. Work engagement sebagai energi psikis. Dimana karyawan merasakan pengalaman puncak (peak experience) dengan berada di dalam pekerjaan dan arus yang terdapat di dalam pekerjaan tersebut. Work engagement merupakan tendangan fisik dari perendaman diri dalam pekerjaan (immersion), perjuangan dalam pekerjaan (striving), penyerapan (absorption), fokus (focus) dan juga keterlibatan (involvement).
  2. Work engagement sebagai energi tingkah laku. Bagaimana work engagement terlihat oleh orang lain. Work engagement terlihat oleh orang lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa hasil. Tingkah laku yang terlihat dalam pekerjaan berupa:
    1. Karyawan akan berfikir dan bekerja secara proaktif, akan mengantisipasi kesempatan untuk mengambil tindakan dan akan mengambil tindakan dengan cara yang sesuai dengan tujuan organisasi.
    2. Karyawan yang engaged tidak terikat pada “job description”, mereka fokus pada tujuan dan mencoba untuk mencapai secara konsisten mengenai kesuksesan organisasi.
    3. Karyawan secara aktif mencari jalan untuk dapat memperluas kemampuan yang dimiliki dengan jalan yang sesuai dengan yang penting bagi visi dan misi perusahaan.
    4. Karyawan pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau situasi yang membingungkan.
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement

Menurut Schaufeli (dalam Arta, 2017) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement, diantaranya:
  1. Tuntutan Kerja (Job Demands). Job demands merupakan aspek-aspek fisik, sosial, maupun organisasi dari pekerjaan yang membutuhkan usaha terus menerus baik secara fisik maupun psikologis demi mencapai dan mempertahankannya.
  2. Job Resources. Job Resources merujuk pada aspek fisik, sosial maupun organisasional dari pekerjaan yang memungkinkan individu untuk mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, mencapai target pekerjaan, dan menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan personal.
  3. Salience of Job Resources. Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya pekerjaan yang dimiliki oleh individu.
  4. Personal Resources. Personal resources merujuk kepada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kepribadian, sifat, usia, dan lain-lain. Personal resources merupakan aspek diri dan pada umumnya dihubungkan dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu memanipulasi, mengontrol dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Beberapa tipikal personal resources antara lain: 
    1. Self-efficacy. Self-efficacy merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas/tuntutan dalam berbagai konteks.
    2. Organizational-based self-esteem. Organizational-based self-esteem didefenisikan sebagai tingkat keyakinan anggota organisasi bahwa mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam suatu organisasi.
    3. Optimism. Optimism berkaitan dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa dirinya mempunyai potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam hidupnya.
    4. Personality. Personality (kepribadian)berkaitan erat dengan work engagement dan proses burnout yang juga dapat dikarakteristikkan dengan watak atau perangai, menggunakan dimensi aktivasi dan kesenangan sebagai suatu kerangka kerja.
Ciri ciri Work Engagement

Karyawan yang memilikiwork engagement terhadap organisasi/ perusahaan memiliki karakteristik tertentu. Berbagai pendapat mengenai karakteristik karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi banyak dikemukakan dalam berbagai literatur, diantaranya Federman (dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi dicirikan sebagai berikut:
  1. Fokus dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan juga pada pekerjaan yang berikutnya.
  2. Merasakan diri adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang lebih besar dari pada diri mereka sendiri.
  3. Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam membuat sebuah lompatan dalam pekerjaan.
  4. Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan tingkah laku yang dewasa.
Karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi akan bekerja lebih dari kata “cukup baik”, mereka bekerja dengan berkomitmen pada tujuan, menggunakan intelegensi untuk membuat pilihan bagaimana cara terbaik untuk menyelesaikan suatu tugas, memonitor tingkah laku mereka untuk memastikan apa yang mereka lakukan benar dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dan akan mengambil keputusan untuk mengkoreksi jika diperlukan (Thomas, dalam Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012).
Teknik Komunikasi Terapeutik

Teknik Komunikasi Terapeutik

Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Pieter, 2017), dalam menanggapi pesan yang disampaikan klien, perawat dapat menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik sebagai berikut:
  1. Mendengar (listening. Merupakan dasar utama dalam komunikasi. Perawat harus menjadi pendengar yang aktif dengan tetap kritis dan korektif bila apa yang disampaikan klien perlu diluruskan. Tujuan teknik ini adalah memberi rasa aman klien dalam mengungkapkan perasaannya dan menjaga kestabilan emosi atau psikologis klien.
  2. Pertanyaan terbuka (broad opening. Teknik ini memberi kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya sesuai kehendak klien tanpa membatasi, agar klien merasa aman dalam mengungkapkan perasaannya.
  3. Mengulang (restarting. Mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien dan memberi indikasi perawat mengikuti pembicaraan klien.
  4. Klarifikas. Dilakukan bila perawat ragu, tidak jelas, tidak mendengar atau klien berhenti karena malu mengemukakan informasi, informasi yang diperoleh tidak lengkap atau mengemukakannya berpindah-pindah.
  5. Refleks. Refleksi merupakan reaksi perawat-klien selama berlangsungnya komunikasi. Refleksi ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu refleksi isi yang bertujuan menvalidasi apa yang didengar dan refleksi perasaan yang bertujuan memberirespon pada perasaan klien terhadap isi pembicaraan agar klien mengetahui dan menerima perasaannya.
  6. Memfokuska. Membantu klien bicara pada topik yang telah dipilih dan yang penting serta menjadga pembicaraan tetap menuju tujuan yaitu lebih spesifik, lebih jelas dan berfokus pada realitas.
  7. Membagi perseps. Meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan dan pikirkan, dengan cara ini perawat dapat meminta umpan balik dan memberi informasi.
  8. Identifikasi tem. Mengidentifikasi latar belakang masalah yang dialami klien yang muncul selama percakapan. Gunanya untuk meningkatkan pengertian dan mengeksplorasi masalah yang penting.
  9. Diam (silence. Cara yang sukat, biasayanya dilakukan setelah mengajukan pertanyaan. Tujuannya untuk memberi kesempatan berpikir dan memotivasi klien untuk bicara. Pada klien yang menarik diri, teknik diam berarti perawat menerima klien.
  10. Informin. Teknik ini bertujuan memberi informasi dan fakta untuk pendidikan kesehatan bagi klien, misalnya perawat menjelaskan tentang penyebab panas yang dialami klien.
  11. Sara. Memberi alternatif ide untuk pemecahan masalah. Tepat dipakai pada fase kerja dan tidak tepat pada fase awal hubungan.