Pengertian Talak Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

Cerai Talak

Pengertian Talak Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

Menurut bahasa talak berarti melepas ikatan. Kata asalnya adalah al-Ithlaq yang berarti melepas dan membiarkan. Sedangkan menurut istilah talak adalah melepas ikatan pernikahan, atau menghilangkan ikatan pernikahan pada saat itu juga atau pada saat mendatang setelah iddah dengan ucapan tertentu.

Talak menurut al-Jaziri sebagaimana dikutip oleh Tihami dan Sohari Sahrani Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata tertentu. Sedangkan talak menurut terminologi syariat adalah melepaskan ikatan pernikahan dan mengakhiri hubungan suami-istri.

Jadi, talak menurut hukum Islam adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suami. Ini terjadi pada talak ba’in, sedangkan mengurangi pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang dalam talak raj’i.

Arti talak menurut hukum positif di Indonesia sendiri terdapat dalam Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: Talak adalah ikrar suami di depan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131.

Macam-macam Cerai Talak

Secara garis besar ditinjau dari boleh tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu :

a. Talak Raj’i

Talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan suami kepada isteri yang telah dikumpuli, bukan karena tebusan, bukan pulan talak yang ketiga kalinya. Suami secara langsung dapat kembali kepada isterinya yang dalam masa iddah tanpa harus melakukan akad nikah yang baru.

Yang dimaksud dengan menghadapi iddah dengan wajar adalah istri-istri hendaknya ditalak dalam keadaan suci dan belum dicampuri. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan keji adalah apabila istri melakukan perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan dengan mertua, ipar, dan lain sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan sesuatu yang baru adalah keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaknya baru dijatuhkan sekali atau dua kali.

Dengan demikian telah jelas bahwa suami boleh untuk merujuk istrinya kembali yang telah ditalak sekali, dua kali selama mantan istri masih dalam masa iddah.

Dalam hukum positif di Indonesia talak raj’i dijelaskan dalam Pasal 118 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.

Kategori talak raj’i adalah:
  1. Talak mati, tidak hamil
  2. Talak hidup dan hamil
  3. Talak mati dan hamil Talak untuk perempuan yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil maka masa iddahnya adalah memilih waktu yang terpanjang dari kematian suaminya atau melahirkan.
  4. Talak hidup dan tidak hamil Talak perempuan yang tidak hamil, maka iddahnya adalah tiga kali suci atau tiga kali haid, dan dinamakan juga tiga kali quru.
  5. Talak hidup dan belum haid Talak hidup untuk perempuan yang belum haid sama sekali atau ia sudah sampai usia menopause (tidak haid lagi), maka ia harus beriddah selama tiga bulan. Firman Allah SWT:
b. Talak Ba’in

Talak ba’in adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami istri. Talak bain terbagi menjadi dua, yaitu :
  1. Talak ba’in sughra adalah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada istri bekas istrinya itu. Sedangkan dalam hukum positif di Indonesia juga dijelaskan mengenai talak ba’in sughra yang terdapat dalam Pasal 119. Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi:
    • Talak Ba’in Sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
    • Talak Ba’in Sughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah:
      • talak yang terjadi qabla dukhul
      • talak dengan tebusan atau khulu’
      • talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. 
  2. Talak ba’in kubra adalah talak yang mengakibatkan hilangnya hak rujuk kepada bekas istri, walaupun kedua bekas suami istri itu ingin melakukannya, baik diwaktu iddah atau sesudahnya. Sedangkan pengertian talak ba’in kubra menurut hukum positif di Indonesia sendiri terdapat dalam Pasal 120, yang berbunyi: Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis masa iddahnya. Hukum talak ba’in kubra, adalah:
    • sama dengan hukum talak ba’in sughra nomor 1, 2, dan 4
    • suami haram kawin lagi dengan istrinya kecuali bekas istri telah kawin dengan laki-laki lain.
Ditinjau dari segi syariatnya, talak terbagi menjadi dua, yaitu:
  1. Talaq Sunni. Talak sunni adalah talak yang terjadi sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang suami mentalak istrinya yang telah dicampurinya dengan sekali talak di masa bersih dan belum ia sentuh kembali di masa sucinya, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah: 229. Talak sunni juga dijelaskan dalam Pasal 121 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Dikatakan talak sunni mempunyai tiga syarat, adalah:
    • Istri yang ditalak sudah pernah dikumpuli. Bila talak jatuh pada istri yang belum pernah dikumpuli, tidak termasuk talak sunni.
    • Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak yaitu istri dalam keadaan suci dari haid.
    • Talak dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci. Dalam masa suci itu suami tidak pernah mengumpuli. Para ulama sepakat bahwa talak sunni adalah talak yang dijatuhkan, dimana istri dalam keadaan suci yang belum dicampuri atau dalam keadaan istri telah jelas hamilnya, tidak dalam masa haid.
  2. Talak bid’i. Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang tidak tepat. Talak bid’i merupakan talak yang dilakukan bukan menurut petunjuk syariat, baik mengenai waktunya maupun cara-cara menjatuhkannya. Dari segi waktu, ialah talak terhadap istri yang sudah dicampuri dalam waktu ia bersih atau terhadap istri yang sedang haid. Dari segi jumlah talak adalah tiga talak yang dijatuhkan sekaligus. Ulama sepakat bahwa talak bid’i dari segi jumlah talak adalah tiga sekaligus, mereka juga sepakat bahwa talak bid’i itu haram dan melakukannya berdosa. Talak bid’i juga dijelaskan dalam Pasal 122 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: Talak bid’i adalah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri dalam keadaan suci tersebut. Talak bid’i antara lain:
    • Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu istri tersebut haid.
    • Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu istri dalam keadaan suci, tetapi sudah pernah dikumpuli suaminya ketika istri dalam keadaan suci.
Para ulama berbeda pendapat tentang jatuh tidaknya talak bid’i , adalah :
  1. Pendapat madzab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali menyatakan bahwa talak bid’i walaupun talaknya haram, tetapi hukumnya adalah sah dan talaknya jatuh. Namun, sunah untuk merujuknya kembali. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, sedangkan menurut Imam Maliki hukum merujuknya adalah wajib.
  2. Segolongan ulama yang lain berbeda pendapat bahwa tidak sah. Mereka menolak memasukkan talak bid’i dalam pengertian talak pada umumnya, karena talak bid’i bukan talak yang diijinkan oleh Allah, bahkan diperintahkan oleh Allah untuk meninggalkannya.
Hukum Cerai Talak

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum talak. Pendapat yang lebih benar adalah makruh jika tidak ada hajat yang menyebabkannya, karena talak berarti kufur terhadap nikmat Allah SWT.

Ulama Syafi‟i dan Hanabilah berpendapat mengenai hukum talak secara rinci. Menurut mereka hukum talak terkadang wajib, haram dan sunah. Al-Baijarami berkata: “Hukum talak ada lima, yaitu adakalanya wajib seperti talak orang yang bersumpah ila atau dua utusan dari keluarga suami dan istri, adakalanya haram seperti talak bid’i , dan adakalanya sunah seperti talaknya orang yang lemah, tidak mampu melaksanakan hak-hak pernikahan. Demikian juga sunah, talaknya suami yang tidak ada kecenderungan hati kepada istri, karena perintah salah satu dua orang tuanya yang bukan memberatkan, karena buruk akhlaknya dan ia tidak tahan hidup bersama.

Sesungguhnya talak dibenci tanpa ada hajat, namun Nabi menyebutnya sebagai barang halal. Karena talak menghilangkan nikah yang mengandung banyak maslahat yang dianjurkan, maka talak hukumnya makruh. Demikian menurut Imam Syafi‟i. Talak mubah adalah talak karena hajat seperti akhlak wanita yang tidak baik, interaksi pergaulannya yang tidak baik dan merugikan. Apabila pernikahan dilanjutkan tidak akan mendapat apa-apa.

Akibat Putusnya Cerai Talak

Ikatan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai akibat hukum berdasarkan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, adalah: Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: 
  1. Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda , kecuali bekas istri qabla dukhul.
  2. Memberi nafkah, maskan, dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
  3. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qabla dukhul.
  4. Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.
Pasal 151 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: “Bekas istri selama dalam masa iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.” Karena pada hakikatnya istri selama dalam masa iddah, masih ada ikatan nikah dengan suaminya. Firman Allah dalam surat at-Talaq: 1 yang sudah penulis jelaskan di atas.

Terhadap wanita yang dalam pinangan orang lain saja dilarang untuk meminangnya, apalagi terhadap wanita yang masih berada dalam masa tunggu. Suamilah yang paling berhak merujukinya. Nabi saw. Bersabda yang artinya: “ Makki bin Ibrahim menyampaikan kepada kami dari Ibnu Juraij yang mengatakan, aku mendengar dari Nafi‟ bahwa Ibnu Umar berkata, Nabi saw. Melarang dari sebagian dari kalian melakukan jual beli atas barang yang telah dibeli oleh sebagian yang lain , beliau juga melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang saudaranya kecuali jika saudaranya itu membatalkan pinangannya atau mengizinkannya untuk meminang wanita pinangannya.(Muttafaqun alaih).

Hak-Hak Mantan Isteri Akibat Cerai Talak

Mut’ah
  1. Pengertian Mut’ah dalam Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia. Kata mut’ah dengan dhammah mim (mut’ah) atau kasrah (mit’ah) akar kata dari Al-Matta’, yaitu sesuatu yang disenangi. Maksudnya materi yang diserahkan suami kepada istri yang dipisahkan dari kehidupannya sebab talak atau semakna dengannya dengan syarat yaitu belum ditetapkannya mahar bagi istri bakda dukhul dan perceraian atas kehendak suami. Dalam Islam, mut’ah dikenal dengan pemberian dari suami terhadap istri yang telah diceraikan. Adapun pemberian mut’ah diberikan sesuai dengan kemampuan. Dalam hukum positif arti mut’ah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Buku I Bab I Pasal I huruf (j) yang berbunyi, Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada istri yang dijatuhi talak, berupa benda atau uang dan lainnya. Menurut Hussein Bahreisjh sebagaimana yang dikutip oleh Sudarsono ditegaskan bahwa seorang istri yang telah dicerai berhak menerima hadiah perceraian dengan cara yang pantas, sebagaimana dalam Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: 241. Adapun besar kecilnya hadiah tersebut tidak dibatasi disamping istri tercerai akan memperoleh uang belanja dan rumah.
  2. Dasar Hukum Mut’ah. Mut’ah adalah pemberian suami kepada istrinya yang telah diceraikan, baik berupa uang, pakaian, atau pembekalan apa saja. Mut’ah berarti pesangon yang diberikan suami kepada istrinya akibat dari perceraian. Dasar hukum mut’ah diatur dalam hukum Islam dan hukum positif. Dasar hukum mut’ah menurut hukum Islam diatur dalam QS. Al-Baqarah: 241, yang berbunyi: Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S Al-Baqarah:241). Ayat di atas merupakan perwujudan hukum Islam dalam mendapatkan mut’ah setelah nafkah iddah habis. Tujuan pemberian mut’ah suami kepada mantan istrinya adalah dengan adanya pemberian tersebut dapat menghibur atau menyenangkan hati istri yang telah diceraikan dan menjadi bekal hidup mantan istrinya. Kewajiban memberikan nafkah istri yang telah diceraikan tidak membatasi masa pemberian nafkah. Mut’ah juga diatur dalam hukum positif sebagaimana dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 158 dengan syarat: Belum ditetapkan mahar bagi istri bakda dukhul, Perceraian itu atas kehendak suami. Adapun ketentuan lain yang mengatur pemberian mut’ah terdapat dalam Pasal 149 huruf a Kompilasi Hukum Islam. Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang, atau benda kecuali bekas istri tersebut qabla dukhul.
  3. Ukuran Mut’ah. Mengenai ukuran pemberian mut’ah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, yaitu: Ulama Hanafiyah dan Zahiriyah berpendapat bahwa mut’ah mempunyai ukuran yang ditentukan, yaitu tiga helai pakaian; baju kurung, kerudung, dan rangkapan. Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa mut’ah tidak memiliki ukuran tertentu, tetapi disunnahkan tidak kurang dari 30 dirham atau seharga dengan benda itu. Ukuran ini mengambil dalil dari hadis yang diriwayatkan dari Abi Majlaz berkata: Aku berkata kepada Ibnu Umar: beritakan kepadaku tentang mut’ah, ia pun memberitakan kepadaku tentang ukuran mut’ah dan aku orang yang dimudahkan. Ia berkata: berikan pakaian begini, berikan pakaian begini, dan berikan pakaian begini, Abu Majlaz berkata: cukuplah, aku dapati kira-kira seharga 30 dirham. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa mut’ah yang paling tinggi diberi pembantu, yang pertengahan diberi pakaian, dan yang paling rendah diberi pakaian yang cukup untuk shalat, yaitu baju kurung dan kerudung. Ukuran mut’ah tidak diterangkan dalam syara‟. Mut’ah berada di antara sesuatu yang membutuhkan ijtihad maka wajib dikembalikan kepada hakim sebagaimana halhal lain yang memerlukan ijtihad. Ukuran nafkah mut’ah berbeda sesuai dengan perbedaan zaman dan tempat. Mut’ah yang layak dan rasional pada suatu zaman terkadang tidak layak pada zaman lain. Demikian juga mut’ah yang layak di suatu tempat terkadang tidak layak ditempat lain. Pendapat yang kuat adalah pendapat Imam Syafi‟i, bahwa hakim ketika berijtihad tentang ukuran mut’ah hendaknya melihat kondisi suami, apakah tergolong mudah atau susah, kaya atau miskin, sebagaimana firman Allah SWT. Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S Al-Baqarah: 236).
Nafkah Selama Masa Iddah
  1. Pengertian Nafkah Iddah dalam Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia. Menurut bahasa Arab kata iddah berasal dari masdar yang berarti menghitung. Dalam hal ini perempuan menghitung hari-hari masa bersihnya setelah terjadi perceraian. Iddah artinya satu masa di mana perempuan yang telah diceraikan, baik cerai hidup atau cerai mati, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau kosong dari kandungan. Dalam kitab fikih ditemukan definisi iddah yang pendek dan sederhana diantaranya adalah masa tunggu yang dilalui oleh seorang perempuan. Karena kata yang sederhana itu, maka dibutuhkan penjelasan mengenai apa yang ditunggu, kenapa dia menunggu dan untuk apa dia menunggu. Untuk menjawab semua itu, Al-Shan’aniy sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin mengemukakan definisi yang lebih lengkap yaitu Iddah adalah nama bagi suatu masa yang seorang perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena wafatnya suami atau bercerai dari suaminya. Dari definisi di atas, maka hakikat dari iddah adalah masa yang harus ditunggu oleh seorang perempuan yang telah dicerai dari suaminya supaya dapat kawin lagi untuk mengetahui bersih rahimnya atau untuk melaksanakan perintah dari Allah. Dalam kamus disebutkan, iddah wanita berarti harihari kesucian wanita dan pengkabungannya dengan suami. Dalam istilah fuqaha iddah adalah masa menunggu wanita sehingga halal bagi suami lain. Iddah diantara kekhususan kaum wanita walaupun disana ada kondisi tertentu seorang laki-laki juga memiliki masa tunggu, tidak halal menikah kecuali habis masa iddah wanita yang dicerai. Iddah secara terminologi Islam adalah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara‟ bagi wanita untuk tidak melakukan perkawinan dengan laki-laki lain, sebagai akibat ditinggal mati oleh suaminya ataupun dicerai oleh suaminya. Menurut Sayuti Thalib, pengertian kata iddah dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: Pertama, dilihat dari segi kemungkinan perkawinan yang telah ada, suami dapat rujuk dengan istrinya. Dengan demikian, kata iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah dijatuhi talak, dalam waktu pihak suami dapat rujuk dengan istrinya. Kedua, dilihat dari segi istri, masa iddah itu akan berarti sebagai suatu tenggang waktu dalam waktu dimana istri belum dapat melangsungkan perkawinan dengan pihak laki-laki lain. Seorang wanita yang telah dijatuhi talak oleh suaminya, dilarang melakukan perkawinan dengan lelaki lain selama masa yang telah ditentukan oleh syari’at. Masa iddah hanya berlaku bagi istri yang telah dukhul, sedangkan bagi istri yang belum di dukhul dan putusannya bukan karena kematian suami maka tidak berlaku baginya masa iddah. Kata nafkah di sini adalah belanja atau pendapatan suami yang diberikan kepada istrinya untuk memenuhi kebutuhan hidup baik berupa makanan, minuman, pakaian, dan segala kebutuhan rumah tangga. Sedangkan kata iddah adalah masa menunggu seorang istri yang telah ditinggal suaminya baik karena cerai ataupun karena mati. Nafkah iddah menurut hukum Islam adalah nafkah yang diberikan oleh suami kepada mantan istrinya setelah dicerai atau tinggal mati suaminya. Hukum positif sendiri tidak mengatur tentang pengertian nafkah iddah, akan tetapi pada hakikatnya pengertian nafkah iddah tidak berbeda jauh dengan hukum Islam. Nafkah iddah diberikan setelah pengadilan memutuskan perceraian dan disesuaikan dengan kemampuan suami. Istri yang berada dalam masa iddah, apabila iddahnya adalah talak raj’i maka suami berhak merujuk kembali selama masa iddahnya belum habis. Istri yang ditalak ba’in, maka suami tidak boleh rujuk kembali kecuali dengan akad yang baru. Sedangkan istri yang ditalak bain kubra, suami dilarang kembali dengan mantan istrinya, kecuali istri sudah menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya, tanpa ada niat nikah tahlil.Yang menjalani masa iddah adalah perempuan yang bercerai dari suaminya bukan laki-laki atau suaminya. Perempuan yang bercerai dari suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, wajib menjalani masa iddah.. Masa iddah hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri yang menjadi dasarnya adalah Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan pasal 153 Kompilasi Hukum Islam, yakni sebagai berikut: Pasal 11 UUP : Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Tenggang waktu/jangka waktu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.
  2. Hak-hak Isteri dalam Masa Iddah. Bagi istri dalam masa iddah karena talak raj’i, atau iddah hamil, dia berhak mendapatkan nafkah, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‟an, “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal, menurut kemampuanmu.” (Qs. at-Talaq: 6). Ayat tersebut menunjukkan wajibnya memberikan nafkah kepada wanita yang sedang hamil, baik wanita itu dalam masa iddah karena talak raj’i atau talak ba’in, atau pun iddah karena suami wafat. Adapun wanita yang ditalak ba’in, para fuqaha berbeda pendapat tentang wajibnya nafkah, jika tidak dalam keadaan hamil. Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu:
    • Dia berhak mendapatkan tempat tinggal, tapi tidak berhak mendapatkan nafkah. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan Syafi‟i yang disandarkan pada surat At-Talaq ayat 6. Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (Q.S At-Talaq:6)
    • Istri tersebut berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Ini merupakan pendapat dari Umar bin Al- Khattab, Umar bin Abdul Aziz, At-Tsauri, dan Imam Abu Hanifah yang disandarkan pada surat At-Talaq ayat 6. Ayat tersebut menunjukkan wajibnya memberikan tempat tinggal kepada istri yang otomatis secara syari‟at juga wajib memberikan nafkah.
    • Istri tidak mendapatkan tempat tinggal sekaligus nafkah. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad yang disandarkan pada hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Fatimah binti Qais ra, yang artinya: “Qutaibah bin Said telah memberitahukan kepada kami , Abdul Aziz ibnu Abu Hazim telah memberitahukan kepada kami, Qutaibah juga berkata, Ya‟qub Ibnu Abdurrahman Al-qari telah memberitahukan kepada kami, keduanya dari Abu Hazim, dari Abu Salamah dari Fatimah binti Qais, bahwasanya suaminya telah mentalaknya pada Nabi saw. Dan memberikan nafkah yang sedikit kepadanya. Ketika Fatimah melihat hal tersebut ia berkata, Demi Allah, sungguh aku akan memberitahukan kepada Rasulullah , apabila aku berhak mendapatkan nafkah maka aku akan mengambil nafkah yang layak untukku, apabila aku tidak berhak mendapatkannya, aku tidak akan mengambil sesuatu apapun darinya, Fatimah berkata, aku pun menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah beliau bersabda, tidak ada nafkah dan tempat tinggal untukmu .” (HR. Bukhori dan Muslim). Sedangkan menurut Muhammad Baqir Al-Habsyi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rofiq ada empat hak perempuan yang berada dalam masa iddah:
      • Perempuan dalam masa iddah talak raj’i berhak menerima tempat tinggal dan nafkah, mengingat bahwa statusnya masih sebagai istri yang sah dan karenanya masih memiliki hak-hak sebagai istri.
      • Perempuan dalam masa iddah talak ba’in apabila ia dalam keadaan hamil, berhak juga atas tempat tinggal dan nafkah.
      • Perempuan dalam masa iddah talak ba’in yang sedang tidak mengandung, baik akibat khuluk atau talak tiga hanya berhak memperoleh tempat tinggal. Ini menurut pendapat Imam Maliki dan Syafi‟i. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ia berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal selama menjalani masa iddah.
      • Perempuan dalam masa iddah akibat suaminya wafat menurut sebagian ulama tidak mempunyai hak nafkah maupun tempat tinggal, mengingat bahwa harta peninggalan suaminya kini telah menjadi hak ahli waris, termasuk istri dan anak-anaknya. Perempuan yang ditalak suaminya sebelum dikumpuli (qabla dukhul) tidak memiliki iddah, tetapi berhak mendapatkan mut’ah atau pemberian. Hal ini ditegaskan dalam surat al-Ahzab: 49. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (Q.S Al-Ahzab:49)
Nafkah Madhiyah (Nafkah Terutang)
  1. Pengertian Nafkah Madhiyah. Nafkah madhiyah terdiri dari dua kata yaitu nafkah dan madhiyah. Nafkah berarti belanja dan madhiyah berasal dari kata isim madhi dalam bahasa arab yang mempunyai arti lampau atau terdahulu. Nafkah madhiyah adalah nafkah yang terhutang. Nafkah madhiyah merupakan nafkah yang tidak ditunaikan oleh suami atau nafkah yang telah lewat waktu yang belum dibayarkan oleh suami kepada istrinya. Apabila akad nikah telah sah, maka suami istri telah terikat perkawinan. Adanya ikatan perkawinan tersebut berarti istri telah terikat oleh kewajiban-kewajibannya sebagai seorang istri kepada suaminya, sehingga istri tidak dapat lagi melakukan hal-hal lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu istri berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.
  2. Dasar Hukum Nafkah Madiyah. Agama telah mewajibkan suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya karena adanya ikatan perkawinan yang sah. Istri wajib taat kepada suami, tinggal dirumahnya, mengatur rumah tangganya, memelihara dan mendidik anaknya. Sebaliknya bagi suami wajib memenuhi kebutuhan dan memberikan nafkah kepada istrinya selama ikatan suami istri masih berjalan, dan istri tidak nusyuz terhadap suaminya yang bisa menghalangi penerimaan nafkah. Dasar tentang kewajiban suami memberikan nafkah terhadap istrinya terdapat dalam Al-Qur‟an ayat 233. Keharusan nafkah dari seorang suami tak hanya sewaktu dia menjadi istri sahnya dan terhadap anak-anaknya bahkan suami wajib memberikan nafkah setelah perceraian. Istri yang hidup serumah dengan suaminya, maka suami wajib menanggung nafkah dan mengurus segala keperluan seperti: makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Maka istri tidak berhak meminta nafkah dalam jumlah tertentu selama suami melaksanakan kewajibannya. Jika suami bakhil, tidak memberikan nafkah kepada istri tanpa alasan yang benar, maka istri berhak mengambil sebagian harta suaminya dengan cara yang baik, guna mencukupi keperluan baginya dan anak-anaknya. Alasan tersebut didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam ia berkata: Telah mengabarkan kepada bapakku dari Aisyah bahwa Hindu binti Utbah berkata, “Wahai Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberi kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya.” Maka beliau bersabda: “Ambilllah dari hartanya sekedar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu.”(HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan dalam hukum positif di Indonesia juga diatur tentang nafkah madhiyah meskipun tidak disebutkan secara langsung tentang nafkah madhiyah, namun undang-undang tersebut mengatur tentang pemberian nafkah madhiyah. Aturan yang mengatur tentang nafkah madhiyah terdapat dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam jo. Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Pasal 66 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. Pasal 34 UUP (1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaikbaiknya. (3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Pasal 66 ayat (5) UU Nomor 7 tahun 1989 Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat mengajukan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan. Maksud dari pasal tersebut adalah istri berhak menuntut nafkah bilamana suami telah lalai dalam menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami. Apabila istri nusyuz terhadap suami, maka istri tidak berhak atas nafkah madhiyah.
Gugurnya Hak-hak Mantan Isteri Akibat Cerai Talak

Setelah terpenuhinya syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk kewajiban istri mendapatkan nafkah, berarti ada kriteria istri yang tidak berhak mendapatkan nafkah, adalah :
  1. Istri murtad/ Istri nusyuz. Istri yang nusyuz (membangkang) terhadap suaminya tidak berhak mendapatkan nafkah iddah dan nafkah madhiyah. Nusyuz istri adalah suatu bentuk kedurhakaan atau ketidaktaatan istri terhadap suami baik dalam bentuk perbuatan atau perkataan. Berikut adalah bentuk perbuatan yang tergolong nusyuz:
    • Menolak hubungan suami istri tanpa alasan yang jelas
    • Istri meninggalkan rumah kediaman bersama tanpa alasan yang jelas dan tanpa izin suami
    • Memukul atau menyakiti suami secara fisik
    • Selingkuh
    • Boros membelanjakan harta bersama atau harta suami. Adapun nusyuz istri dalam bentuk perkataan adalah:
      • Istri mengusir suaminya dari rumah
      • Menghina atau menyepelekan suami
      • Berkata kasar atau tidak sopan kepada suaminya
      • Menceritakan rahasia suaminya kepada orang lain.
  2. Istri yang sudah habis masa iddahnya
  3. Apabila nafkah menjadi hutang terhadap istri dan istrinya itu menggugurkan dengan kerelaannya sendiri. Apabila tidak digugurkan hendaknya istri menunggu sampai suami terlepas dari kesulitan ekonomi. Menurut hukum positif di Indonesia juga disebutkan dalam Pasal 149 dan Pasal 152 KHI ada beberapa kriteria istri yang tidak berhak mendapatkan nafkah, adalah:
    • Istri yang qabla dukhul tidak berhak menerima mut’ah dari mantan suaminya.
    • Istri yang nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah iddah dari mantan suaminya.
    • Istri yang ditalak ba’in oleh mantan suaminya tidak berhak mendapatkan nafkah iddah dari mantan suaminya.
SUMBER :
  • Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indomesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995)
  • Beni Ahmad Saebeni, Fiqh Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
  • Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet.II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010
  • Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunah untuk Wanita, Asep Sobari (penerjemah), Cet.I, (Jakarta: Al-I‟tishom Cahaya Umat, 2007)
  • Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah dan Talak), (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009)
  • Abdurrahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003)
  • Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet.III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006)
  • Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih Munakahat 2, cet. I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999)
  • Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1 tahun 1974 sampai KHI, cet. III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004)
  • Chuzimah T. Yanggo dan Hafidz Anshory (editor), Problematika Hukum Islam Kontemporer,( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Buku I, cet. IV
  • Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet.5, (Jakarta: UIPress, 1986)
  • Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, cet.2, (Jakarta: Darus Sunah, 2013)
  • Abdul Manan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Edisi 1 cet. 5, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
  • Harijah Damis, Menguak Hak-Hak Wanita, (Jurnal, http ://digilib. ump. ac.id/ files/ disk1/pdf , 2009)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »


EmoticonEmoticon