Perkara yang Diharamkan Wanita Haid

Pengerian Haid

Secara lughawi haid dapat diartikan menurut tiga bahasa yaitu, dalam Kamus Bahasa Inggris haid biasa disebut dengan menstruation. Dalam Kamus Bahasa Indonesia haid adalah datang bulan atau wanita yang sudah akil balik. Sedangkan menurut Kamus Bahasa Arab haid yaitu haidhu. Para ulama mengatakan bahwa makna asal dari haid (al-haidhu) adalah “as-sailaan” yang berarti aliran. Jika dikatakan “haadhol waadii”, maka maksudnya pada lembah tersebut mengalir air, jika dikatakan “haadhot as-syajaroh”, maka maksudnya adalah pohon tersebut mengalir getahnya, dan suatu darah dikatakan sebagai darah haid sebab darah tersebut mengalir.

Dari sisi tinjauan ilmu syariat, haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita yang telah baligh (dewasa) selama beberapa hari tertentu, bukan karena faktor melahirkan dan bukan pula karena faktor penyakit, dimana warna merah hitam, jika disentuh terasa hangat seolah terbakar, dan aromanya tidak sedap.

Adapun definisi menurut ilmu medis, para ilmuan spesialis mengatakan bahwa haid adalah sekresi rutin darah yang disertai lendir dari sel-sel usang yang keluar dari mucosa yang tersembunyi di dalam rahim. Warna darah haid adalah kehitam-hitaman. Adapun jika warnanya merah segar, maka itu bukanlah darah haid, dan darah haid itu tidak bisa membeku.

Sedangkan menurut bahasa, haid adalah sebagaimana dikatakan hadhatil mar’atu tahidhu haydhan wa mahidhan wa mahadhan fahiya ha’idhun wa ha’idhatun (artinya: seorang wanita telah haid, sedang haid, dan sedang terkena haid maka dia disebut wanita yang sedang haid), yaitu wanita dikatakan haid jika darahnya mengalir. Menurut istilah syara’ adalah darah yang keluar dari pangkal rahim wanita setelah berumur sembilan tahun atau telah menginjak masa baligh dan bukan karena sakit atau melahirkan.

Adapun haid secara istilah diberikan beragam definisi walaupun dalam satu mazhab. Dalam buku Shahih bin Abdullah menyebutkan definisi yang diberikan oleh setiap mazhab, kemudian menyebutkan definisi yang terpilih yaitu:

Ibnul Hummam dari mazhab Hanafi menyebutkan bahwa haid adalah darah yang mengalir dari rahim wanita yang tidak memiliki penyakit dan dia telah dewasa.

Ibnu Jauzi dari mazhab Malik mendefinisikan haid dengan darah yang keluar dari rahim wanita yang secara kebiasaan ia dapat hamil dan tidak dalam keadaan melahirkan atau sakit.

Asy-Syarbini dari mazhab Syafi’i mendefinisikan haid dengan darah yang keluar dari rahim wanita dalam keadaan sehat dan tidak karena melahirkan.

Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali mengatakan bahwa haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita yang sudah baligh dan keluar pada masa yang tertentu.

Sementara Imam Al-Muwaffiq mendefinisikan bahwa haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah balig kemudian hal ini menjadi kebiasaan yang akan terjadi pada hari-hari yang telah diketahui.

Imam Al-Bahwati mengartikan bahwa haid adalah darah alamiah yang keluar dari rahim seorang wanita yang sudah balig pada hari-hari tertentu yang telah diketahui.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa haid adalah darah kebiasaan dan alami (tidak dalam keadaan sakit) yang keluar dari rahim wanita pada waktu tertentu atau ketetapan Allah SWT kepada seluruh anak perempuan Nabi Adam a.s yang telah menginjak usia baligh.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang perempuan tidak mengalami haid, kecuali pada umur tertentu. Haid tidak terjadi di bawah umur sembilan tahun. Jika seorang perempuan mengeluarkan darah sebelum umur sembilan tahun, maka itu bukanlah darah haid, melainkan darah penyakit atau darah yang rusak (fasad). Masa keluarnya darah haid bisa jadi seumur hidup. Tidak ada dalil bahwa haid akan berhenti pada masa tertentu. Jika seorang perempuan yang sudah tua masih mengeluarkan darah, maka itu masih disebut sebagai darah haid.

Tidak ada masa minimal atau maksimal di dalam haid. Artinya, tidak ada batasan waktu di dalam haid. Tidak ada dalil yang bisa dijadikan sandaran. Akan tetapi, jika ada kebiasaan (masa haid) yang terjadi secara berkesinambungan, maka hal itu bisa dijadikan rujukan untuk menentukan masa haid. Jika tidak ada kebiasaan yang bisa dijadikan rujukan, maka yang harus diperhatikan adalah hitungan-hitungan dari (keluarnya) darah.

Sifat darah haid adalah darah kental yang berwarna hitam kemerah-merahan dan berbau anyir yang keluar dari dasar rahim wanita disertai rasa sakit pada hari-hari tertentu yang biasanya telah diketahui setiap bulannya atau dari tempat tertentu dan pada waktu-waktu tertentu. Termasuk hikmah haid adalah darah yang mengucur dari rahim wanita baligh, nantinya akan menjadi darah kebiasaan yang keluar pada waktu tertentu. Allah tetapkan hal ini demi sebuah hikmah bagi tumbuh kembang janin (dalam perut). Tatkala seorang wanita hamil, darah tersebut dengan ijin Allah berubah menjadi asupan gizi baginya. Oleh karena itu, wanita hamil tidak mengalami haid, dan tatkala masa bayi menyusui, Allah membalikkan darah tadi dengan hikmah-Nya menjadi air susu, sehingga bayi mendapatkan asupan gizi darinya. Oleh karenanya, hanya sedikit wanita menyusui yang mengalami haid. Tatkala wanita tidak lagi hamil dan menyusui, darah tersebut tetap berada dalam rahim tidak mengalami perubahan kemudian keluar seperti biasanya setiap bulannya.

Untuk itu janganlah bersedih, ridhalah dengan takdir Allah untuk para wanita karena membawa hikmah, kebaikan, dan maslahat, serta keadilan-Nya meliputi segala sesuatu walaupun terkadang akal manusia tidak dapat menjangkau karena keterbatasannya.

Perkara yang Diharamkan Wanita Haid

Adapun beberapa hal yang diharamkan bagi wanita yang sedang haid adalah sebagai berikut:
  • Shalat. Shalat bagi wanita haid hukumnya adalah haram. Shalat yang di kerjakannya tidaklah sah, baik itu shalat wajib maupun shalat sunnah bahkan dia berdosa jika tetap melakukannya. Bagi wanita yang haid, shalat yang ditinggalkan ketika haid, tidak wajib diganti (qadha). Ini merupakan kasih sayang Alah kepada kaum wanita, sebab dalam kondisi ini seorang wanita berada di luar tabiat aslinya. Maka Allah mencurahkan sikap lembut-Nya pada kaum wanita dan memberi keringanan, mengugurkan kewajiban shalat atasnya dan melarangnya untuk melakukan shalat.
  • Puasa. Para ulama bersepakat bahwa berpuasa hukumnya haram bagi wanita yang sedang haid, baik puasa wajib maupun puasa sunnah. Jika dilakukan maka dia berdosa dan puasanya tidak sah.Akan tetapi puasa wajib yang terlewati pada waktu haid maka harus diganti (qadha). Artinya: “Dahulu kami mengalami haid. Kami diperintah untuk mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat”.(HR Muslim). Hadis di atas menjeaskan perbedaan antara shalat dan puasa adalah bahwa puasa itu diganti di hari lain sedangkan shalat tidak. Ini merupakan karunia Allah dan kasih sayangnya. Selaras dengan hikmah sebab selalu berulang setiap bulan sedangkan sebagian perempuan mengalami masa haid yang panjang. Maka ini merupakan tindakan meringankan jika seorang wanita tidak dituntut mengganti shalat. Karena shalat berbeda dengan puasa yang hanya datang sekali dalam setahun dan untuk menggantinya tidak ada kesulitan.
  • Thawaf di Ka’bah. Diantara yang diharamkan pada seorang wanita yang sedang haid adalah melakukan thawaf di Ka’bah. Baik thawaf wajib maupun sunnah, dilakukan saat haji ataupun umrah. Ini berdasarkan hadis Aisyah ra, ketika ia sedang haid pada waktu haji, Nabi SAW bersabda kepadanya: Artinya: “Lakukanlah segala yang dilakukan oleh orang yang melaksanakan haji, hanya saja engkau tidak boleh melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci“.(HR Bukhari). Hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah memberi keringanan bagi seorang wanita yang sedang haid untuk keluar dari Mekkah walaupun tidak melakukan thawaf. 
  • Jima’. Adapun bersenggama dalam kemaluan (pada saat istri haid) hukumnya haram berdasarkan dalil nash Al-Qur’an. “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”. (Al-Baqarah: 22). Diharamkannya jima’ bagi wanita pada saat haid merupakan rahmat Allah bagi wanita tentang badannya, jiwa dan psikologisnya yang tidak biasa. Sehingga Allah menggugurkan hak suaminya untuk menggaulinya sebagai bentuk kasih sayang pada satu sisi dan agar terhindar dari kotoran dan penyakit dari sisi yang lain.
  • Talak. Seorang suami diharamkan mentalak istri di saat haid. Berdasarkan firman Allah SWT: Artinya: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (secara wajar), dan hitunglah waktu iddah itu, serta bertaqwalah kepada Allah Tuhanmu”. (QS. At-Thalaq 65: 1). Iddah adalah batas waktu menunggu bagi seorang istri untuk memastikan bahwa ia tidak hamil setelah dicerai suaminya yaitu selama 3 quru’ (3 kali siklus haid) atau jika dicerai dalam kondisi hamil maka masa iddahnya sampai melahirkan. Sehingga waktu yang diperbolehkan bagi suami untuk mentalak istrinya yaitu pada saat: Pertama, istri sedang hamil. Jika istri sedang hamil maka masa iddahnya jelas yaitu sampai melahirkan. Kedua, mencerai istri dimasa suci (masa di luar haid) dan idak ada hubungan badan selama masa suci tersebut. Ketiga, istri sedang haid tapi sama sekali belum pernah disetubuhi. Tatkala kondisi seperti ini, tidak ada iddah bagi istri melainkan seperti pengantin baru yang dicerai.
Hal-Hal yang Dibolehkan bagi Wanita Haid
  • Berdzikir. Telah dijelaskan bahwasannya wanita yang sedang haid boleh berdzikir dan tidak idak ada peselisihan di antara para ulama bahwa wanita yang haid boleh berzikir kepada Allah dengan zikir apapun, baik tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dzikir pagi dan sore, doa ketika hendak tidur dan bangun tidur, serta membaca kitab-kitab ilmu, fikih, hadits, tafsir, maupun basmalah. Basmalah bahkan tetap dianjurkan ketika hendak melakukan setiap pekerjaan. Wanita haid juga boleh bershalawat kepada Nabi dan dia tetap mendapat pahala. Ini karena ibadah-ibadah tersebut tidak disyaratkan untuk bersuci. Ibnu Hazm berkata, “Membaca Al-Qur’an, sujud ketika mendengar ayat sajadah, dan dzikir kepada Allah SWT adalah perbuatan baik dan dianjurkan, bagi yang melaksanakan akan dibalas dengan pahala. Barang siapa yang mengklaim bahwa hal itu dilarang dalam beberapa keadaan, maka harus berdasarkan dalil kuat yang mendasarinya. Apabila ikhlas dalam berdzikir dan sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW sehingga menimbulkan rasa takut kepada Allah SWT maka perbuatan keji dan munkar akan tertolak dari hatinya. Karena dzikir merupakan amal dan amal-amal shalih itu senantiasa disertai dengan dzikir.
  • Membaca Al-Qur’an. Pendapat terkuat dikalangan para ulama adalah diperboehkan bagi seorang yang berhadats besar (seperti junub, haid, dan nifas) ataupun orang yang berhadats kecil untuk membaca al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf. Pendapat ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dikalangan madzab Syafi’i dan Ahmad. Adapun Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa membaca al-Qur’an bagi wanita yang sedang haid serta nifas tanpa memegang mushaf al-Qur’an adalah diperbolehkan sehingga mereka tidak terlupa dari hafalan al-Qur’annya. Tidak ada dalil shahih dari Nabi SAW yang melarang orang yang berhadas untuk membaca al-Qur’an. Hadis yang menyebutkan larangan bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh membaca al-Qur’an adalah hadis lemah sehingga tidak bisa dijadikan sandaran. 
  • Sujud Tilawah. Sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan ketika mendengar ayat sajadah. Wanita haid diperbolehkan sujud tilawah, tidak ada dalil yang melarang wanita haid bersujud, yaitu ketika mendengar ayat sajadah. Berdasarkan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sujud tilawah tatkala membaca surat An Najm, lalu kaum muslimin, orang-orang musyrik, jin dan manusia pun ikut sujud.” (HR. Bukhari). Sujud tilawah yang dimaksud tidaklah sama dengan sujud ketika shalat, dan tidak disyaratkan untuk suci baginya. Bisa dikatakan bahwa mustahil jika mereka semua dalam keadaan suci, karena sujud tilawah bukan dikategorikan sebagai shalat.
  • Mendatangi Majelis Ilmu yang diadakan di tempat selain Masjid. Wanita haid diperbolehkan mendatangi majelis ilmu atau majelis tahhfidzul Qur’an yang diadakan di rumah, sekolah, dan tempat lainnya selain masjid. Karena ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya seorang wanita haid memasuki Masjid untuk tujuan selain shalat. Sebagian besar ulama mengatakan bahwa haram hukumnya bagi wanita haid memasuki Masjid kecuali karena keperluan mendesak, dan sebagian ulama mengatakan bahwa boleh wanita haid memasuki Masjid. Oleh sebab itu, sebagai bentuk penghormatan Masjid, adab, dan tata krama sebaiknya wanita haid mendatangi majelis yang diadakan di tempat selain Masjid.
  • Menghadiri Shalat Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Shalat Hari Raya disyariatkan pada tahun ke-1 Hijriyah, hukumnya sunnah mu’akkadah. Nabi memerintahkan kaum pria dan wanita untuk menghadirinya. Pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha kaum wanita dan anak-anak disunahkan keluar ke tempat pelaksanaan shalat tanpa membeda-bedakan gadis, janda, dan wanita yang sedang haid. Hal ini didasarkan pada hadits Ummu Athiyah: Artinya: “Kami telah diperintah untuk mengeluarkan para gadis dan wanita-wanita yang sedang haid pada kedua hari raya supaya mereka bisa menghadiri kebaikan dan doa untuk umat Islam, namun wanita-wanita yang sedang haid menjauh dari tempat pelaksanaan shalat”. (Muttafaqun ‘alaih). Hadis ini menjelaskan bahwa kaum wanita yang sedang haid boleh menghadiri kedua shalat hari raya, tetapimeraka dilarang untuk mengikuti shalat, dianjurkan untuk keluar menyaksikan shalat Id, Hal ini bertujuan untuk memperoleh kebaikan serta dakwah kaum muslimin.
SUMBER :
  • Muhammad Utsman Al-Khasyt, Fikih Wanita Empat Madzhab, (Bandung: Ahsan Publishing, 2010)
  • Shalih bin Abdullah Al-Laahim, Fiqih Darah Wanita, (Surabaya: Pustaka Elba, 2015)
  • Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah: Kitab Ibadah Sepanjang Masa, (Depok: Fathan Media Prima)
  • Umi Farikhah Abdul Mu’ti, Panduan Praktis Wanita Haid, (Wanita Salihah. Com, 1437 H/2017)
  • Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, Shahih fikih sunnah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
  • Ali bin Sa’id bin Ali Al-Hajjaj Al-Ghamidi, Fikih Wanita, (Jakarta: Aqwam, 2012)
  • Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan fikih sunnah, (Jakarta: Beirut Publishing, 2014)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »


EmoticonEmoticon