Pelaksanaan Pemberian Pembiayaan Murabahah

Pengertian Murabahah

Secara bahasa, kata murabahah berasal dari kata (Arab)rabaha, yurabihu, murabahatan, yang berarti untung atau menguntungkan, seperti ungkapan “tijaratun rabihah, wa baa’u asy-syai murabahatan” artinya perdagangan yang menguntungkan, dan menjual sesuatu barang yang memberi keuntungan Kata murabahah juga berasal dari kata ribhu yang berarti keuntungan.

Murabahah dalam Fikih Islam berarti suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut, dan tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan.

Sedangkan secara istilah, menurut para ahli hukum Islam (fuqaha), pengertian murabahah adalah “al-bai’ bira’sil maal waribhun ma’lum” artinya jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan yang diketahui. Ibn Jazi menggambarkan jenis transaksi ini “penjual barang memberitahukan kepada pembeli harga barang dan keuntungan yang akan diambil dari barang tersebut”. Para fuqaha mensifati murabahahsebagai bentuk jual beli atas dasar kepercayaan (dhaman buyu’ al-amanah). Hal ini mengingat penjual percaya kepada pembeli yang diwujudkan dengan menginformasikan harga pokok barang yang akan dijual berikut dengan keuntungannya kepada pembeli.





Landasan Hukum Syariah
  1. Al-Qur’an. “..Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..” (QS. Al-Baqarah : 275). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu...” (QS. An-Nisaa’ :29)
  2. Al-Hadits عَنْ رِفاَﻋَﺔَبْنِرَاﻓِﻊٍرَضِيَﷲُعَنْهُأَنﱠالنَّبِىَّصَلَّىﷲُعَلَيْهِﻮَسَلَّمْسُٕلَ : أَىُّﺍلْکَسْبِأَطْيَبُ؟قاَلَ : عَمَلُالرَّجُلِبِيَدِهِوَکُلُّبَيْعٍمَبْرُورٍ٠ }رَوَاهُالْبَزَّارُوَصَحَّحَهُﺍلْحَاکِمُ} Artinya : Dari Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallaahu’anhu bahwa Nabi saw. Pernah ditanya, “pekerjaan apa yang paling baik?” beliau bersabda, “pekerjaaan seseorang dengan tangannnya sendiri dan setiap jual beli yang baik”.(HR.al-Bazzar Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim) عَنْصُهَيْبٍرَضِيَﷲُعَنْهُأَنَّالنَّبِيَّصَلَّىﷲُعَلَيْهِوَسَلَّمَقَالَ:ثَلاَ ثٌفِيْهِنَّالْبَرَکَةُ،اَلْبَيْعُإِلَىأَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ،وَخَلْطُالْبُرِّباِلشَّعِيْرِلِلْبَيْتِلاَلِلْبَيْعِ٠ }رَوَاهُﺍبْنُمَاجَحْ{ Artinya :Dari Suhaib ar-Rumi r.a bahwa Rasulullahsaw. Bersabda, “Ada tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah)
Macam macam Murabahah

Murabahah dapat dibedakan berdasarkan jenis dan cara pembayarannya, sebagai berikut :

Murabahah berdasarkan jenisnya :
  • Murabahah dengan Pesanan (Murabahah to the purchase order). Dalam murabahah jenis ini, penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli. Murabahah dengan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat pembeli untuk membeli barang yang dipesannya. Kalau bersifat mengikat, berarti pembeli harus membeli barang yang dipesannya dan tidak dapat membatalkan pesanannya. Jika aset murabahah yang telah dibeli oleh penjual, dalam murabahah pesanan mengikat, mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut menjadi beban penjual dan akan mengurangi nilai akad 
  • Murbabah Tanpa pesanan . Murabahah tanpa pesanan bersifat tidak mengikat, sehingga dapat membatalkan pesanannya.
Murabahah berdasarkann cara pembayarannya :
  • Murabahah Tunai. Murabahah tunai adalah murabahah dengan cara pembayarannya sekaligus sesuai dengan harga barang yang telah disepakati keduanya.
  • Murabahah Tangguh. Murabahah tangguh adalah murbahah dengan cara pembayarannya dilakukan secara tangguh atau secara cicil atau angsuran sesuai dengan yang disepakati keduanya.
Rukun Bai’ Al Murabahah

Adapun rukun murabahah ialah :
  1. Ba’iu (Penjual) dan Musytari (Pembeli).
  2. Mabi’ (Barang yang diperjualbelikan).
  3. Tsaman (hargabarang).
  4. Ijab qabul (Pernyataan serah terima).
Syarat Bai’ Al Murabahah
  1. Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
  2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
  3. Kontrak harus bebas dari riba.
  4. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
  5. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
Secara prinsip, jika syarat dalam (a), (d), atau (e) tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan :
  • Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
  • Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual.
  • Membatalkan kontrak.
Standarisasi Akad

Akad-akad yang telah distandarisasi menjadi petunjuk bagi bank syariah di Indonesia sebagai landasan operasinya. Hal ini juga berguna sebagai dasar pembuatan regulasi yang hati-hati bagi bank syariah yang fungsinya menjadi instrumen pengaturan untuk menjamin kepatuhan operasional perbankan syariah terhadap prinsip-prinsip dasarnya. Standarisasi akad murabahahberdasarkan Fatwa DSN-MUI No. 04/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Murabahah :

Pertama: Ketentuan umum Murabahah dalam Bank Syari’ah
  1. Bank dan nasabah harus melakukan akad Murabahah yang bebas riba.
  2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.
  3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
  4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama Bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
  5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
  6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
  7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
  8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak Bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
  9. Jika Bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual-beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik Bank.
Kedua: Ketentuan murabahah kepada nasabah
  1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada Bank.
  2. Jika Bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
  3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli) nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat, kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual-beli.
  4. Dalam jual-beli ini Bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
  5. Jika kemudian nasabah menolak membeli barang tersebut, biaya riil Bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
  6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, Bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
  7. Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka :
    • Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
    • Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik Bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh Bank akibat pembatalan tersebut, dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Ketiga: Jaminan dalam Murabahah
  1. Jaminan dalam Murabahah dibolehkan agar nasabah serius dengan pesanannya.
  2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Keempat: Utang dalam Murabahah
  1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada Bank. 
  2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
  3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
Kelima: Penundaan Pembayaran dalam Murabahah
  1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
  2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam: Bangkrut dalam Murabahah
  1. Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, Bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
Pengakuan Denda

Lembaga keuangan syariah dapat mengenakan denda kepada mitra usaha dengan indikasi antara lain :
  1. Adanya unsur kesengajaan, yaitu mitra usaha mempunyai dana, tetapi tidak melakukan pembayaran.
  2. Adanya unsur penyalahgunaan dana, yaitu mitra usaha mempunyai dana, tetapi digunakan terlebih dahulu untuk hal lain.
  3. Pengakuan denda pada pembiayaan murabahah diakui sebagai dana kebajikan saat diterima.
Pelaksanaan Pemberian Pembiayaan Murabahah

Pembiayaan murabahah merupakan bentuk penyaluran dana yang dilakukan Bank (lembaga keuangan)Syariah dengan prinsip jual beli, yang mana pihak Bank (lembaga keuangan)Syariah bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli, dengan harga jual dari bank adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan dalam persentase tertentu bagi bank (lembaga keuangan) syariah sesuai dengan kesepakatan. Kepemilikan barang akan berpindah kepada nasabah segera setelah perjanjian jual beli ditandatangani dan nasabah akan membayar barang tersebut dengan cicilan tetap yang besarnya sesuai kesepakatan sampai dengan pelunasannya.

Transaksi murabahah ini lazim dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut di tambah keuntungan yang disepakati. Karena dalam definisinya disebut adanya “keuntungan yang disepakati”, karakteristik murabahahadalah si penjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.

Pelaksanaan pemberian pembiayaan bukanlah kegiatan yang jalan pintas. Namun harus dilakukan secara sistematis dan hati-hati. Oleh karena itu, pelaksanaan pembiayaan akan melewati proses yang panjang. Adapun proses dalam pemberian pembiayaan meliputi :

Proses Pembiayaan Murabahah
  1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
    • Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas.
    • Penentuan pihak yang berjanji tentang lembaga tertentu dalam pembelian barang tersebut.
  2. Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan nasabah.
  3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
  4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.
    • Mengadakan perjanjian mengikat.
    • Membayarsejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji.
  5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).
  6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
  7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.
    • Penetuan harga barang.
    • Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan ke dalam harga.
    • Penentuan nisbah keuntungan (profit).
    • Penentuan syarat-syarat pembayaran.
    • Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.
Prinsip Analisis Pembiayaan

Analisis pembiayaan dilakukan dengan tujuan pembiayaan yang diberikan mencapai sasaran dan aman. Artinya pembiayaan tersebut harus diterima pengembaliannya secara tertib, teratur, dan tepat waktu, sesuai dengan perjanjian antara bank dan nasabah sebagai penerima dan pemakai pembiayaan. Hal ini seperti yang terdapat dalam Q.S Ali ‘Imran (3) : 75 dan Q.S Al-Hasyr (59) :7, yang Artinya : “Di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya...”(Q.s Ali ‘Imran :75). “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”(Q.S Al-Hasyr : 7)

Untuk mewujudkan pembiayaan yang aman dan sesuai dengan yang dianjurkan oleh Allah SWT, perlu dilakukan persiapan pembiayaan, yaitu dengan mengumpulkan informasi dan data untuk bahan analisis. Kualitas hasil analisis bergantung pada kualitas SDM, data yang diperoleh, dan teknik analisis.

Untuk mempertimbangkan pemberian pembiayaan kepada customer, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi, yang dikenal dengan prinsip 6 C, yaitu sebagai berikut :
  1. Character. Character ialah keadaan watak atau sifat customer, baik dalam kehidupan pribadi maupun lingkungan usaha. Kegunaan dari penelitian terhadap karakter ini adalah mengetahui sampai sejauh mana iktikad / kemampuan customer untuk memenuhi kewajibannya (willingness to pay) sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan. Pemberian pembiayaan harus atas dasar kepercayaan, sedangkan yang mendasari suatu kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak Bank (Lembaga Keuangan) bahwa peminjam mempunyai moral, watak, dan sifat-sifat pribadi yang positif dan kooperatif. Di samping itu, customer juga mempunyai rasa tanggung jawab, baik dalam kehidupan pribadi sebagai manusia, kehidupannya sebagai anggota masyarakat maupun dalam menjalankan kegiatan usahanya.
  2. Capacity. Analisis terhadap capacity ditujukan untuk mengetahui kemampuan keuangan calon nasabah dalam memenuhi kewajibannya sesuai jangka waktu pembiayaan. Lembaga keuangan perlu mengetahui dengan pasti kemampuan keuangan calon customer dalam memenuhi kewajibannya setelah lembaga keuangan memberikan pembiayaan. Kemampuan keuangan calon customer sangat penting karena merupakan sumber utama pembayaran. Semakin baik kemampuan keuangan customer, maka akan semakin baik kemungkinan kualitas pembiayaan , artinya dapat dipastikan bahwa pembiayaan yang diberikan lembaga keuangan dapat dibayar sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan.
  3. Capital. Capital atau modal yang perlu disertakan dalam objek pembiayaan perlu dilakukan analisis yang lebih mendalam. Modal merupakan jumlah modal yang dimiliki oleh calon customer atau jumlah dana yang akan disertakan dalam proyek yang dibiayai. Semakin besar modal yang dimiliki dan disertakan calon customer dalam objek pembiayaan akan semakin meyakinkan bagi lembaga keuangan akan keseriusan calon customer dalam mengajukan pembiayaan dan pembayaran kembali.
  4. Collateral . Collateral adalah barang yang diserahkan oleh calon customer sebagai agunan terhadap pembiayaan yang diterimanya. Agunan merupakan sumber pembayaran kedua. Dalam hal nasabah tidak dapat membayar angsurannya, maka lembaga keuangan dapat melakukan penjualan terhadap agunan. Hasil penjualan agunan digunakan sebagai sumber pembayaran kedua untuk melunasi pembiayaannya. Lembaga keuangan tidak akan memberikan pembiayaan yang melebihi dari nilai agunan, kecuali untuk pembiayaan tertentu yang dijamin pembayarannya oleh pihak tertentu. Dalam analisis agunan, faktor yang sangat penting dan harus diperhatikan adalah purnajual dari agunan yang diserahkan kepada lembaga keuangan. Lembaga kuangan syariah perlu mengetahui minat pasar terhadap agunan yang diserahkkan oleh calon customer. Bila agunan merupakan barang yang diminati oleh banyak orang (marketable), maka lembaga keuangan yakin bahwa agunan yang diserahkan calon customer mudah diperjualbelikan. Pembiayaan yang ditutup oleh agunan yang purnajualnya bagus, resikonya rendah. Secara terperinci pertimbangan atas collateral dikenal dengan MAST :
    • Marketability. Agunan yang diterima oleh lembaga keuangan haruslah agunan yang mudah diperjualbelikan dengan harga yang menarik dan meningkat dari waktu ke waktu.
    • Ascertainability of value. Agunan yang diterima memiliki standar harga yang lebih pasti.
    • Stability of value. Agunan yang diserahkan memiliki harga yang stabil, sehingga ketika agunan dijual, maka hasil penjualan bisa mengcover kewajiban debitur(calon customer).
    • Transferability. Agunan yang diserahkan mudah dipindahtangankan dan mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya.
  5. Condition of Economy. Condition of Economy adalah situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya yang mempengaruhi keadaan perekonomian yang kemungkinan suatu saat akan mempengaruhi kelancaran usaha calon customer. Beberapa analisis terkait dengan condition of economy antara lain :
    • Kebijakan pemerintah. Perubahan kebijakan pemerintah digunakan sebagai pertimbangan bagi lembaga keuangan untuk melakukan analisis condition of economy.
    • Lembaga keuangan syariah tidak terlalu fokus terhadap analisis condition of economy pada pembiayaan konsumsi. Lembaga keuangan akan mengaitkan antara tempat kerja calon customer dan kondisi ekonomi saat ini dan saat mendatang, sehingga dapat diestimasikan tentang kondisi perusahaan di mana calon nasabah bekerja.
  6. Constraints. Constraints adalah batasan dan hambatan yang tidak memungkinkan suatu bisnis untuk dilaksanakan di tempat tertentu.
Keputusan Pembiayaan

Atas dasar laporan hasil analisis pembiayaan, pihak pemutus pembiayaan, yaitu pejabat-pejabat yang mempunyai wewenang memberikan pembiayaan, dapat memutuskan apakah permohonan pembiayaan tersebut layak untuk dikabulkan atau tidak. Dalam hal tidak feasible, permohonan tersebut harus segera ditolak. Isi surat penolakan tersebut biasanya bernada diplomatis, tetapi cukup jelas.

Apabila permohonan tersebut layak untuk dikabulkan, segera pula dituangkan dalam Surat Keputusan Pembiayaan yang biasanya disertai persyaratan tertentu.

Persoalan Hukum Dalam Murabahah
  1. Penyerahan Barang. Penyerahan benda yang diperjualbelikan dalam hukum Islam merupakan kewajiban. Akad jual beli dinilai tidak memenuhi syarat (fasid) dan dapat dibatalkan apabila benda yang menjadi objek akad tidak diserahkan. Akad yang tidak dibarengi dengan penyerahan objek akad dinilai sebagai gharar. Hal ini termasuk transaksi yang dilarang pada zaman Rasulullah SAW.
  2. Risiko Atas Barang. Dalam pembiayaan bentuk bai’ al-murabahah, lembaga keuangan syariah menghadapi berbagai resiko antara lain berkaitan dengan barang dan pembayaran. Berkaitan dengan resiko atas barang adalah adanya kerusakan atas barang sebagai objek pertukaran. Adanya kerusakan yang timbul terhadap objek pertukaran merupakan tanggung jawab para pihak yang melakukan perusakan terhadap objek tersebut dan akad dapat diteruskan atau dibatalkan sesuai dengan tingkat resiko yang timbul dan atas kesepakatan dari para pihak yang berakad tersebut. Apabila kerusakan objek pertukaran itu terjadi sebelum diserahkan kepada pembeli dan bukan oleh pembeli maka pertukaran itu batal. Akan tetapi, apabila kerusakan tersebut oleh pembeli, maka pembeli bertanggung jawab untuk mengganti benda tersebut atau membayar harganya. Adapun apabila kerusakan tersebut setelah diserahkan kepada pembeli dan kerusakan tersebut bukan oleh penjual, maka pertukaran telah terjadi, sedangkan apabila kerusakan tersebut oleh penjual, maka penjual harus mengganti benda itu atau pembeli membatalkan akadnya.
  3. Penyelesaian Utang Murabahah. Adapun resiko berkaitan dengan pembayaran, yaitu nasabah tidak melakukan pembayaran baik sebagian atau sepenuhnya sesuai dengan jadwal pembayaran. Syariah menghindari risiko ini antara lain dengan adanya agunan, penanggungan (jaminan pihak ketiga), dan syarat perjanjian yang menyatakanbahwa semua hasil barang murabahahyang dijual kepada pihak ketiga (baik tunai maupun angsuran) harus atas sepengetahuan lembaga keuangan hingga kewajiban pembayaran kepada lembaga keuangan dibayar secara penuh. Dalam lembaga keuangan syariah, nasabah harus diberi waktu toleransi untuk melunasi jika ia tidak mampu, sesuai dengan perintah Al-Qur’an yang Artinya :“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan...”(QS.Al-Baqarah : 280). Penundaan semacam ini harus diberikan, tanpa menambahkan beban tambahan kepada debitur atas waktu yang diberikan untuk pembayaran. Hanya saja, di dalam praktiknya, Bank-Bank Islam dengan dukungan Dewan Syariah mereka telah mempersempit makna perintah Al-Qur’an. Penerapan perintah tersebut secara umum, menurut Bank-Bank Islam adalah celah potensial bagi para mereka yang mungkin lalai untuk melunasi utang merekapadahal mereka mampu melunasinya. Untuk menutupi penyalahgunaan celah potensial ini, Dewan Syari’ah telah mengadopsi konsep “denda” terhadap mereka yang tidak melunasi utang tepat waktu, khususnya jika si nasabah mampu melunasinya. Makna definitif dari “mampu membayar” sulit untuk ditentukan dalam konteks ini, karena Bank Islam umunya sejak awal kontrak murabahahtelah memastikan bahwa dana-dana pinjaman mereka akan cukup aman, dan sedemikian rupa dijamin terlindung dari segala resiko kegagalan atau penundaan pembayaaran. Hal ini karena diberlakukannya “denda” atas keterlambatan pembayaran dari nasabah, yang tentu diwajibkan mematuhinya.
  4. Agunan/ Jaminnan Pembayaran. Pembayaran yang timbul dari jual beli merupakan piutang/ tagihan (receivables) dan untuk menjamin pembayaran atas piutang/ tagihan (receivables) tersebut lembaga keuangan dapat meminta kepada nasabah untuk memberikan jaminan. Jaminan tersebut menurut Ashraf Usmani dapat berupa agunan barang maupun penjaminan/ penanggungan oleh orang atau korporasi. Bila diterapkan hukum Indonesia, agunan tersebut dapat berupa hak-hak jaminan atas barang seperti hak tanggungan, hipotek, gadai, dan fidusia. Bila didasarkan ketentuan KUH Perdata, jaminan yang berupa penjaminan/ penanggungan adalah penjaminan/ penanggunan sebagaimana diatur dalam pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUH Perdata. Lembaga keuangan biasanya mengikat barang yang diperjualbelikan itu sebagai agunan bagi pelunasan kewajiban nasabah. Dalam istilah perbankan, agunan yang berupa barang yang dibiayai disebut agunan pokok. Pengikatan agunan tersebut dilakukan oleh bank sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Lembaga keuangan diperkenankan pula untuk meminta agunan yang bukan berupa barang yang dibiayai dari nasabah,namun berupa harta kekayaan lain milik nasabah atau harta kekayaan milik pihak ketiga. Agunan tersebut disebut agunan tambahan. Lembaga keuangan juga tidak dilarang untuk menerima atau meminta jaminan lain misalnya berupa penanggungan oleh penanggung atas pelaksanaan kewajiban nasabah. Dalam hal cidera janji atas pembayaran oleh nasabah, maka penjual/ bank dapat meminta agar penjamin / penanggung untuk melunasi tagihan tersebut. Penjaminan / penanggungan di dalam praktik perbankan dapat berupa perorangan atau berupa perusahaan atau suatu badan hukum lainnya. Mengambil agunan untuk menjamin utang, menurut Al-Qur’an dan Sunnah, pada dasarnya bukan suatu yang tercela. Al-Qur’an menganjurkan muslim untuk menuliskan kewajiban, dan jika perlu, mengambil agunan untuk utang tersebut. Nabi dalam beberapa kesempatan mempersilahkan kreditornya untuk mengambil agunan untuk utangnya. Agunan adalah suatu cara untuk menjamin hak-hak kreditor/ pemberi fasilitas agar tidak dilanggar dan menghindari memakan harta orang lain secara tidak benar. Hal ini juga ditegaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional berikut : “Jaminan dalammurabahah dibolehkan agar nasabah serius dengan pesanannya. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapatdipegang”.
SUMBER :
  • Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), cet. Ke-1
  • Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2012), cet.Ke-1, Ed.1
  • Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 20018)
  • Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Aditil Ahkam, (Jakarta : Gema Insani, 2013), cet.Ke.I
  • Kahar Masyhur, Bulughul Maram, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991)
  • Djoko Muljono, Buku Pintar Akuntansi Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Andi Offset, 2015)
  • Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta : Salemba Empat, 2016), cet. Ke-2, Ed. 4
  • Veithzal Rivai, Islamic Financial Management, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008), cet. Ke-1, Ed.1
  • Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), cet. Ke-1
  • Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2011), cet. Ke-1
  • Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), cet.Ke-2, Ed.1
  • Adiwarman A Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013), cet.Ke-9, Ed.5
  • Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2014), cet.Ke-1, Ed.1
  • Khaerul Umam, Manajemn perbankan syariah , (Bandung: Pustaka Setia, 2013)
  • Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta : UPP STIM YKPN, 2016), cet. Ke-1
  • Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah : Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya, (Jakarta: Prenada Media, 2014), cet. Ke-1

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »


EmoticonEmoticon