AHLI SUNNAH WAL-JAMA’AH : ASY’ARIAH DAN MUTURIDIAH
Aliran Asy’ariah
Riwayat Al-asy’ari
Namanya Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy’ari, dilahirkan di kota basrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M, keturuna Abu Musa al-Asy’ari. Seorang sahabat dan perantara dalam sengketa antara Ali dan Mu’awiyah. Pada waktu kecilnya, al-Asy’ari berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah yakni Abu Ali al-Jubbai, untuk mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan memahaminya. Aliran ini dianutnya sampai ia berusia 40 tahun dan semasa hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku Mu’tazilahan.
Ketika berusia 40 tahun, ia mengasingkan diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari .Kemudian ia pergi ke mesjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham aliran Mu’tazilah, antara lain tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan keburukan. Kemudian ia mengatakan sebagai berikut : ”Saya tidak lagi mengikuti paham-paham Mu’tazilah tersebut dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya”.
Al-Asy’ari meninggalkan aliran Mu’tazilah karena ia melihat ada perpecahan di kalangan kaum muslimin yang bisa melemahkan mereka, kalau tidak segera diakhiri. Al-asy’ari sangat mengkhawatirkan, kalau Al-quran dan hadis-hadis Nabi akan menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena hanya didasarkan atas kekuatan akal pikiran.
Ada beberapa faktor yang menguntungkan bagi Al-Asy’ari, sehingga ia dapat mengalahkan aliran mu’tazilah. Faktor-faktor itu antara lain :
1. Kaum muslimin pada waktu itu sudah bosan menghadapi dan mendengarkan perbedaan sekitar persoalan Al-quran yang dicetuskan oleh aliran Mu’tazilah, sehingga mengakibatkan ketidak senangan mereka terhadap aliran tersebut.
2. Al-Asy’ari adalah seorang yang ahli dalam perdebatan dan mempunyai ilmu yang cukup mendalam, terkenal pula sebagai orang yang shaleh dan taqwa, sehingga ia bisa menarik orang banyak dan mendapat kepercayaan mereka.
3. Sejak masa al-mutawakkil, pemerintahan telah meninggalkan aliran Mu’tazilah. Kebanyakan orang dimanapun juga, selalu mengikuti sikap pemerintahnya dan takut memeluk sesuatu paham yang tidak disukai oleh pemerintah itu.Oleh karena itu aliran Mu’tazilah mereka tinggalkan.
4. Al-Asy’ari mempunyai pengikut-pengikut yang kuat yang selalu menyebarkan ajaran-ajarannya. Karena kedudukan mereka yang besar di kalangan masyarakat, maka orang banyak lebih tertarik kepada aliran Asy’ariah.
5. Pemerintahan Banu Buwaihi yang bercorak Syi’ah yang menjadi tulang punggung aliran Mu’tazilah telah digantikan oleh pemerintahan Saljuk Turki yang bercorak Sunni dan membantu aliran Ahlussunnah, yang mempunyai seorang menteri yang pandai dan kuat yaitu Nizamul Mulk. Diantara usahanya ialah mendirikan sekolah dan mengumpulkan orang-orang pandai untuk mengajarkan mazhab Ahlussunnah, sedangkan mazhab-mazhab lainnya tidak diajarkan. Dengan demikian, maka gerakan Syi’ah dan Mu’tazilah menjadi surut dengan sendirinya.
Karya Al-Asy’ari
Cara pemikiran Al-Asy’ari adalah berdasarkan atas pemikiran akal dan argumentasi pikiran. Ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama merupakan suatu kesalahan. Imam Al-Asy’ari di kenal sebagai seorang muslim yang ikhlas membela kepercayaan dan mempercayai isi Al-quran dan Hadis dengan menempatkannya sebagai dasar (pokok), disamping menggunakan akal pikiran,dimana tugasnya tidak lebih daripada memperkuat Nash-nash tersebut.
Karangan-karangannya yang terkenal dan sampai pada umat islam ada tiga, yaitu :
1. Mawalatul Islamiyyin
2. Al-Ibanah ‘an Usulid Diyanah
3. Al-Luma’
Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ariah
Suatu unsur utama bagi kemajuan aliran Asy’ariah ialah karena aliran ini mempunyai tokoh-tokoh yang cerdas dan terkenal. Tokoh-tokoh tersebut antara lain :
1. Al-Baqillani
2. Ibnu Faurak
3. Ibnu Ishak Al-Isfaraini
4. Abdul Kahir al-Bagdadi
5. Imam al-Haramain al-Juwaini
6. Abdul-Mudzaffar al-Isfaraini
7. Al-Ghazali
8. Ibnu Tumart
9. As-Syihristani
10. Ar-Razi
11. Al-Iji
12. As-Sanusi
Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari
Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Perbedaan pendapat dikalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-quran, antara lain Wujud, Qidam, Baqa, Qudrat, Iradat dan lain-lain. Di lain pihak,ia berhadapan dengan kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
Kekuasaan tuhan dan perbuatan manusia
Pendapat Al-asy’ari dalam soal ini juga berada di tengah-tengah antara aliran Jabariah dan aliran Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Menurut aliran jabariah manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tidak memperoleh sesuatu, bakan manusia laksana daun yang bergerak kesana kemari mengikuti arah angin yang meniupnya. Kemudian muncullah al-asy’ari yang mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu tetapi berkuasa memperoleh sesuatu perbuatan.
Melihat tuhan pada hari kiamat
Menurut aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat di lihat dengan mata kepala, mereka mena’wilkan ayat-ayat yang mengatakan adanya ru’yat, disamping menolak hadis-hadis Nabi yang mengatakan ru’yat, karena tingkatan hadis tersebut menurut mereka adalah Ahad (hadis perseorangan). Menurut golongan Musyabbihah, Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula. Sedangkan Al-asy’ari berpendapat bahwa tuhan dapat dilihat , tetapi tidak menurut cara tertentu dan tidak pula pada arah tertentu.
Dosa Besar
Aliran mu’tazilah mengatakan apabila seseorang berbuat dosa besar tidak bertaubat dari dosanya itu, meskipun ia mempunyai iman dan ketaatan, tidak akan keluar dari neraka. Aliran murjiah mengatakan siapa yang beriman kepada Tuhan dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi imannya. Sedangkan aliran Al-asy’ari mengatakan bahwa orang mu’min yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apaakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk surga, ataukah dijatuhi siksa-siksa karena kefasikannya , tetapi kemudian dimasukkan-Nya kedalam surga.
Aliran Muturidiah
Riwayat Al-Muturidi
Nama aliran Muturidiah diambil dari pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad, kelahiran Maturid kota kecil di daerah Samarkand di wilayah Asia Tengah, kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijriah dan ia meninggal dunia di kota Samarkand pada tahun 333H/944 M.
Ia mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ketiga H, dimana aliran mu’tazilah sudah mulai mengalami kemunduran.diantara gurunya ialah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). Pada masanya negeri tempat ia dibesarkan menjadi arena perdebatan aliran fiqih Hanafiah dengan aliran fiqh Syafiiyah , bahkan upacara-upacara kematian pun tidak terlepas dari perdebatan semacam itu, sebagaimana terjadi juga perdebatan antara para fuqaha dan ahli-ahli hadis di satu pihak dengan aliran mu’tazilah di pihak lain soal-soal theology islam.
Karir pendidikan Al-Muturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam,yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah Kitab tauhid, Makhaz asy-syara’i, Al-jadl, Ushul fi ushul ad-din.
Dalam bidang fiqih, al-muturidi mengikuti mazhab hanafi, dan ia sendiri banyak mendalami soal-soal teology islam dan menyebelah kepada aliran fuqaha dan muhadisin, seperti yang dilakukan oleh al-asy’ari juga, meskipun dalam pendapat-pendapatnya tidak terikat dengan aliran tersebut. Meskipun metode yang dipakai oleh al-muturidi berbeda dengan al-asy’ari, namun hasil pemikirannya banyak yang sama.
Untuk mengetahui sistem pemikiran al-muturidi, kita tidak bisa meninggalkan pikiran-pikiran al-asy’ari dan aliran mu’tazilah, sebab ia tidak bisa terlepas dari suasana masanya. Baik al-asy’ari maupun al-muturidi kedua-duanya hidup semasa dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu membendung dan melawan aliran mu’tazilah.
Pemikiran-pemikiran al-muturidi sebenarnya berisikan pikiran-pikiran Abu hanifah. Pertalian antara kedua tokoh tersebut dikuatkan oleh pengakuan al-muturidi sendiri, bahwa ia menerima (mempelajari) buku-buku Abu hanifah dengan suatu silsilah nama-nama yang dimulai dari gurunya dan seterusnya sampai kepada pengarangnya sendiri.
Kebanyakan ulam-ulama muturidiah terdiri dari orang-orang pengikut aliran fiqih hanifah, seperti Fachruddin al-Bazdawi, at-taftazani, an-nasafi, ibnu hammam dan lain-lainnya.
Doktrin-doktrin Teologi Al-Muturidi
Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-muturidi mendasarkan pada Al-quran dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Muturidi, mengetahui tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan Allah.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Muturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian,wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing, Al-Muturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu :
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Perbuatan Manusia
Menurut Al-Muturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu
dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya.Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya, Dalam hal ini, Al-muturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.
Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Telah diuraikan bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatunya, yang baik atau yang
buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-muturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata.Hal ini karena qudrat tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-muturidi dan Al-Asy’ariah. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’,bashar dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-muturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-asy’ari. Al-asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-muturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya.
Melihat Tuhan
Al-muturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-quran, antara lain firman Allah dalam surat Al-qiyamah ayat 22 dan 23.
Artinya : 22.Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. 23.Kepada Tuhannyalah mereka melihat.
Al-muturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat tuhan, kelak diakhirat tidak dalam bentuknya , karena keadaan akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
Kalam Tuhan
Menurut Al-muturidi, Mu’tazilah memandang Al-quran sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari dzat-Nya. Al-quran sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat ini diterima oleh Al-muturidi, hanya saja Al-muturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai pengganti untuk Al-quran. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga memiliki kesamaan dengan pendapat Al-muturidi, karena yang dimaksud Al-asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-muturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan.
Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dan syariat yang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu, menurut Al-muturidi akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.
Pelaku dosa besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-muturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neaka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-muturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman.